Kamis 04 Juli 2019, 16:08 WIB
70 Tahun Todung Mulya Lubis
Siapakah advokat terbaik di Indonesia saat ini? Demikian bunyi sebuah pertanyaan yang ditujukan ke saya dalam sebuah diskusi publik di Jakarta. Saya tidak menunjuk persis pada nama, namun saya memberikan tiga kriteria yang dapat digunakan untuk menemukan kandidat yang tepat. Pertama, tingkat pendidikan dan pengakuan internasional. Kedua, kontribusinya kepada publik. Ketiga, soal jejak rekam dalam mempertahankan prinsip-prinsip profesionalitas advokat, hak asasi manusia, dan negara hukum.
Untuk menjawab pertanyaan pertama, mungkin tidak terlalu sulit mengidentifikasi sejumlah pengacara profesional Indonesia yang mempunyai kualifikasi dan legitimasi secara nasional maupun internasional. Namun jika kita coba masuk pada kategori kedua: apa kontribusinya kepada publik? Jumlah itu akan menyusut secara drastis. Ternyata tidak gampang menginventarisasi advokat yang tidak hanya berorientasi profit, namun juga berkontribusi signifikan bagi publik seperti halnya Yap Thiam Hiem atau Mr. Besar Mertokusumo --pengacara pertama Indonesia.
Padahal, sebagai profesi yang dipandang mulia (noficium nobile), melekat pula tanggung jawab sosial seorang advokat (pro bono). Kewajiban itu tidak hanya soal memberikan bantuan hukum secara gratis per se, namun juga berkontribusi secara struktural terhadap masyarakat. Kontribusi itu bisa berbentuk memberikan sejumlah donasi atau meluangkan waktu untuk terlibat atau mendorong agenda-agenda pembaruan hukum dan kemanusiaan.
Selanjutnya, batu uji yang sulit untuk dijawab adalah kategori ketiga, advokat yang mempertahankan prinsip-prinsip profesionalitas, hak asasi manusia, dan negara hukum. Besar kemungkinan bahwa sulitnya untuk mencari figur advokat yang mempertahankan nilai-nilai profesional disebabkan oleh rapuhnya sistem peradilan Indonesia. Sebagaimana temuan World Justice Project, sistem peradilan perdata di Indonesia berada peringkat 102 dari 114 di dunia atau peringkat 13 dari 15 negara di Asia Tenggara. Sedangkan sistem peradilan pidana Indonesia pada peringkat 86 dari 126 negara atau peringkat 12 dalam skala regional (World Justice Project: 2019).
Untuk membantu dalam menemukan jawaban tersebut, mungkin kita perlu meminjam kajian teraktual peneliti Van Vollenhoven Institute, Universitas Leiden, Santy Kouwagam dan Adriaan Bedner. Dalam salah satu tulisannya, mereka membagi tiga tipologi advokat di Indonesia, yaitu profesional, broker, dan fixer. Dalam kajiannya itu, secara implisit tersimpulkan bahwa hanya advokat dalam kategori profesionallah yang masih mempertahankan nilai-nilai advokat dalam menjalani profesi hukum, sedangkan dua kategori lainnya hanya menggunakan jubah advokat sebagai alat mencari profit atau melayani kepentingan klien dengan membabi buta (Lawyers in 21st Century Societies,2019).
Mempertahankan idealisme profesionalisme advokat di tengah buramnya sistem peradilan di Indonesia seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Hal itu terkonfirmasi pula dengan banyaknya para penegak hukum yang tertangkap KPK. Setidaknya, sejak KPK berdiri hingga tahun 2018, terdapat 50 penegak hukum yang terlibat praktik korupsi. Dari jumlah itu, terdapat 11 advokat atau sekitar 20 persen dari jumlah penegak hukum yang divonis dan berkekuatan hukum tetap (KPK, 2018). Mereka ternyata tidak hanya membantu klien dalam menyelesaikan permasalahan hukumnya, namun juga terlibat jauh sebagai broker, bahkan fixer demi memenangkan kliennya.
Dengan rasa ingin tahu, saya kemudian tergelitik untuk menanyakan satu nama pada salah seorang peneliti dari Univesitas Leiden itu: Todung Mulya Lubis. Menurut pandangan saya, Mulya Lubis punya kualifikasi sebagai salah salah satu pengacara terbaik di Indonesia. Setidaknya, ia banyak terlibat dalam mendorong sejumlah agenda reformasi hukum di Indonesia. Beberapa lembaga masyarakat yang dibidaninya atau ia pernah terlibat di dalamnya sampai saat ini masih bertahan dan berkontribusi besar terhadap publik, seperti Indonesia Corruption Watch (ICW), Transparansi International Indonesia (TII), Imparsial, Amnesty Internasional Indonesia (AII), Yayasan Yap Thiam Hien, dan sejumlah lembaga lainnya.
Demikian juga dengan kontribusinya di level internasional. Tidak banyak advokat yang berhasil mengawinkan kualifikasi internasional sebagai advokat dan akademik seperti dirinya. Ia mendapat gelar profesor hukum dari Melbourne University, Doktor Honoris Causa dari Murdoch University, dan menerima Elise and Walter A Haas International Award dari Universitas Berkeley --sebuah penghargaan prestisius untuk alumni terbaik universitas terkemuka itu. Pada titik ini, sulit bagi kita untuk tidak menempatkan Mulya Lubis sebagai salah satu advokat yang spesial dan berpengaruh dalam sejarah hukum Indonesia.
Deretan itu belum masuk dengan sejumlah gelar akademik yang dimilikinya, seperti master hukum dari Universitas Berkeley dan Universitas Harvard serta gelar doktor hukum dari Universitas Berkeley. Kontribusi Ketua Umum DPP IKADIN nonaktif ini makin menonjol jika menelusuri jejak rekamnya dalam mendorong pembentukan sejumlah lembaga masyarakat sipil di masa transisi demokrasi, seperti University Network for Free and Fair Election (UNFREL) dan CETRO, atau ketika dipercaya sebagai sekretaris Forum Demokrasi (Fordem) yang diketuai Gus Dur pada awal tahun 90-an.
Meskipun Mulya Lubis mendapat sejumlah pengakuan internasional, namun apresiasi terhadapnya di level nasional terhitung masih minim. Satu-satunya jabatan publik yang ia duduki adalah ketika ia diminta Presiden Jokowi sebagai Duta Besar Norwegia, yang saat ini masih dipegangnya. Saya tidak tahu apa alasan ia memilih posisi itu meskipun ia sangat layak untuk diapresiasi lebih: apakah untuk menapaktilas mantan rekomendator akademiknya, (alm) Soedjatmoko, mantan duta besar Indonesia untuk Amerika Serikat itu? Atau bisa jadi, tes politik dari Jokowi guna mendapatkan kepercayaan yang lebih besar untuk membenahi negara hukum Indonesia yang retak?
Tidak ada yang bisa menjawab secara akurat. Yang pasti, meminjam bahasa Refly Harun, ada atau tidak ada posisi publik yang ia tempati, ia adalah salah seorang legenda hukum Indonesia, seperti halnya sejumlah mentornya di Lembaga Bantuan Hukum (LBH), seperti Adnan Buyung Nasution, Yap Thiam Hien, Suardi Tasrif, atau HJ Princen. Mantan Ketua YLBHI ini telah meninggalkan standar yang tinggi bagi siapa pun sarjana hukum Indonesia yang ingin melompati kontribusinya bagi penguatan prinsip-prinsip negara hukum, demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia.
Pada 4 Juli tahun ini, Bang Mulya (panggilan akrabnya) genap berusia 70 tahun. Sebuah anugerah yang luar biasa bagi setiap insan dalam mensyukuri hidup. Sebagai ucapan selamat, saya ingin mengutip jawaban dari salah seorang peneliti Leiden di atas: Ia (Todung) masuk dalam kategori advokat profesional! Selamat ulang tahun ke-70 tahun, Bang!
Erwin Natosmal Oemar ; Deputi Direktur Indonesian Legal Roundtable
Untuk menjawab pertanyaan pertama, mungkin tidak terlalu sulit mengidentifikasi sejumlah pengacara profesional Indonesia yang mempunyai kualifikasi dan legitimasi secara nasional maupun internasional. Namun jika kita coba masuk pada kategori kedua: apa kontribusinya kepada publik? Jumlah itu akan menyusut secara drastis. Ternyata tidak gampang menginventarisasi advokat yang tidak hanya berorientasi profit, namun juga berkontribusi signifikan bagi publik seperti halnya Yap Thiam Hiem atau Mr. Besar Mertokusumo --pengacara pertama Indonesia.
Padahal, sebagai profesi yang dipandang mulia (noficium nobile), melekat pula tanggung jawab sosial seorang advokat (pro bono). Kewajiban itu tidak hanya soal memberikan bantuan hukum secara gratis per se, namun juga berkontribusi secara struktural terhadap masyarakat. Kontribusi itu bisa berbentuk memberikan sejumlah donasi atau meluangkan waktu untuk terlibat atau mendorong agenda-agenda pembaruan hukum dan kemanusiaan.
Selanjutnya, batu uji yang sulit untuk dijawab adalah kategori ketiga, advokat yang mempertahankan prinsip-prinsip profesionalitas, hak asasi manusia, dan negara hukum. Besar kemungkinan bahwa sulitnya untuk mencari figur advokat yang mempertahankan nilai-nilai profesional disebabkan oleh rapuhnya sistem peradilan Indonesia. Sebagaimana temuan World Justice Project, sistem peradilan perdata di Indonesia berada peringkat 102 dari 114 di dunia atau peringkat 13 dari 15 negara di Asia Tenggara. Sedangkan sistem peradilan pidana Indonesia pada peringkat 86 dari 126 negara atau peringkat 12 dalam skala regional (World Justice Project: 2019).
Untuk membantu dalam menemukan jawaban tersebut, mungkin kita perlu meminjam kajian teraktual peneliti Van Vollenhoven Institute, Universitas Leiden, Santy Kouwagam dan Adriaan Bedner. Dalam salah satu tulisannya, mereka membagi tiga tipologi advokat di Indonesia, yaitu profesional, broker, dan fixer. Dalam kajiannya itu, secara implisit tersimpulkan bahwa hanya advokat dalam kategori profesionallah yang masih mempertahankan nilai-nilai advokat dalam menjalani profesi hukum, sedangkan dua kategori lainnya hanya menggunakan jubah advokat sebagai alat mencari profit atau melayani kepentingan klien dengan membabi buta (Lawyers in 21st Century Societies,2019).
Mempertahankan idealisme profesionalisme advokat di tengah buramnya sistem peradilan di Indonesia seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Hal itu terkonfirmasi pula dengan banyaknya para penegak hukum yang tertangkap KPK. Setidaknya, sejak KPK berdiri hingga tahun 2018, terdapat 50 penegak hukum yang terlibat praktik korupsi. Dari jumlah itu, terdapat 11 advokat atau sekitar 20 persen dari jumlah penegak hukum yang divonis dan berkekuatan hukum tetap (KPK, 2018). Mereka ternyata tidak hanya membantu klien dalam menyelesaikan permasalahan hukumnya, namun juga terlibat jauh sebagai broker, bahkan fixer demi memenangkan kliennya.
Dengan rasa ingin tahu, saya kemudian tergelitik untuk menanyakan satu nama pada salah seorang peneliti dari Univesitas Leiden itu: Todung Mulya Lubis. Menurut pandangan saya, Mulya Lubis punya kualifikasi sebagai salah salah satu pengacara terbaik di Indonesia. Setidaknya, ia banyak terlibat dalam mendorong sejumlah agenda reformasi hukum di Indonesia. Beberapa lembaga masyarakat yang dibidaninya atau ia pernah terlibat di dalamnya sampai saat ini masih bertahan dan berkontribusi besar terhadap publik, seperti Indonesia Corruption Watch (ICW), Transparansi International Indonesia (TII), Imparsial, Amnesty Internasional Indonesia (AII), Yayasan Yap Thiam Hien, dan sejumlah lembaga lainnya.
Demikian juga dengan kontribusinya di level internasional. Tidak banyak advokat yang berhasil mengawinkan kualifikasi internasional sebagai advokat dan akademik seperti dirinya. Ia mendapat gelar profesor hukum dari Melbourne University, Doktor Honoris Causa dari Murdoch University, dan menerima Elise and Walter A Haas International Award dari Universitas Berkeley --sebuah penghargaan prestisius untuk alumni terbaik universitas terkemuka itu. Pada titik ini, sulit bagi kita untuk tidak menempatkan Mulya Lubis sebagai salah satu advokat yang spesial dan berpengaruh dalam sejarah hukum Indonesia.
Deretan itu belum masuk dengan sejumlah gelar akademik yang dimilikinya, seperti master hukum dari Universitas Berkeley dan Universitas Harvard serta gelar doktor hukum dari Universitas Berkeley. Kontribusi Ketua Umum DPP IKADIN nonaktif ini makin menonjol jika menelusuri jejak rekamnya dalam mendorong pembentukan sejumlah lembaga masyarakat sipil di masa transisi demokrasi, seperti University Network for Free and Fair Election (UNFREL) dan CETRO, atau ketika dipercaya sebagai sekretaris Forum Demokrasi (Fordem) yang diketuai Gus Dur pada awal tahun 90-an.
Meskipun Mulya Lubis mendapat sejumlah pengakuan internasional, namun apresiasi terhadapnya di level nasional terhitung masih minim. Satu-satunya jabatan publik yang ia duduki adalah ketika ia diminta Presiden Jokowi sebagai Duta Besar Norwegia, yang saat ini masih dipegangnya. Saya tidak tahu apa alasan ia memilih posisi itu meskipun ia sangat layak untuk diapresiasi lebih: apakah untuk menapaktilas mantan rekomendator akademiknya, (alm) Soedjatmoko, mantan duta besar Indonesia untuk Amerika Serikat itu? Atau bisa jadi, tes politik dari Jokowi guna mendapatkan kepercayaan yang lebih besar untuk membenahi negara hukum Indonesia yang retak?
Tidak ada yang bisa menjawab secara akurat. Yang pasti, meminjam bahasa Refly Harun, ada atau tidak ada posisi publik yang ia tempati, ia adalah salah seorang legenda hukum Indonesia, seperti halnya sejumlah mentornya di Lembaga Bantuan Hukum (LBH), seperti Adnan Buyung Nasution, Yap Thiam Hien, Suardi Tasrif, atau HJ Princen. Mantan Ketua YLBHI ini telah meninggalkan standar yang tinggi bagi siapa pun sarjana hukum Indonesia yang ingin melompati kontribusinya bagi penguatan prinsip-prinsip negara hukum, demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia.
Pada 4 Juli tahun ini, Bang Mulya (panggilan akrabnya) genap berusia 70 tahun. Sebuah anugerah yang luar biasa bagi setiap insan dalam mensyukuri hidup. Sebagai ucapan selamat, saya ingin mengutip jawaban dari salah seorang peneliti Leiden di atas: Ia (Todung) masuk dalam kategori advokat profesional! Selamat ulang tahun ke-70 tahun, Bang!
Erwin Natosmal Oemar ; Deputi Direktur Indonesian Legal Roundtable