Kamis 11 Juli 2019, 16:02 WIB
Gertak Sambal AS terhadap Iran
Langkah Amerika Serikat (AS) menekan Iran mendapat perhatian banyak pihak. Kira-kira manuver apa yang akan diambil oleh Presiden Donald Trump dalam rangka meredam pengaruh Iran di Timur-Tengah?
Pada mulanya Trump memutuskan untuk menyerang Iran pasca-jatuhya pesawat tanpa awak AS di teritori udara Iran. Tapi keputusan tersebut dicabut sebelum aksi militer dilancarkan ke Iran. Trump berdalih pembatalan keputusannya terkait dengan upaya menghindari jatuhnya korban dalam jumlah yang besar. Namun, para analis memandang sikap Trump tersebut sebenarnya terkait dengan kalkulasi politik yang dapat menyudutkan posisinya jelang Pemilu Presiden AS pada 2020.
Di dalam negeri AS, isu Iran ini ibarat ujung pisau yang bisa menguntungkan sekaligus merugikan. Kubu konservatif yang menjadi basis dukungan Trump selalu menjadikan isu Iran sebagai bagian dari kampanye politik luar negeri yang menjadikan Iran sebagai musuh utama AS. Ancaman Iran terhadap Israel semakin mengukuhkan sikap kubu konservatif untuk menoleransi seluruh upaya negosiasi dan dialog dengan Iran. Karenanya, menurut kubu Trump, berdialog dengan Iran sangat tidak menguntungkan secara politik, karena jika itu dilakukan khawatir dapat menggerus basis kubu konservatif.Sementara itu, kubu demokrat memandang dialog dengan Iran dapat meredam dan mengurai benang kusut konflik di kawasan. Mengingat Iran menjadi salah satu pihak yang paling menentukan arah politik di Timur-Tengah. Karena itu, Obama selama memimpin AS sangat terbuka, bahkan melakukan dialog dan membangun kesepakatan bersejarah yang saling menghormati dan menguntungkan, baik bagi AS maupun Iran.
Sampai saat ini, kubu demokrat di AS masih bersikukuh menentang segala aksi militer terhadap Iran. Kalkulasi politik dan ekonomi sama sekali tidak menguntungkan AS. Jika AS bersikukuh menyerang Iran, maka akan menciptakan masalah besar, sebagaimana serangan ke Irak dan beberapa konflik politik yang belakangan terjadi di kawasan Timur-Tengah.
Dalam konteks tersebut, gertak sambal Donald Trump tidak semudah membalikkan kedua belah tangan. Langkah Trump membatalkan serangan AS ke Iran semakin mengukuhkan posisi Iran di kawasan sekaligus AS. Iran tidak bisa dianggap sebelah mata, karena posisi politik dan militer Iran sudah terbukti mampu memperluas pengaruh Iran di kawasan. Sebaliknya, pengaruh AS terus melemah di tengah amburadulnya peta jalan politik luar negeri AS di kawasan. Trump terjepit pada tekanan Israel dan Arab Saudi yang menyebabkan sikap AS tidak populer.
Faktor Rusia dan Turki yang memberikan dukungan penuh pada Iran semakin mengukuhkan posisi Iran. Intinya, saat ini Iran tidak sendirian. Dukungan yang solid dari mitra strategis, khususnya warga Iran merupakan salah satu kekuatan penuh Iran yang setiap saat pimpinan tertinggi Iran dalam mengambil langkah-langkah penting dalam konteks melawan AS dan sekutunya di kawasan.
Karena itu, AS berpikir seribu kali untuk menyerang Iran. Setidaknya hingga Pemilu 2020, Trump dipaksa untuk mengambil opsi yang sangat realistis, yaitu memilih jalur sanksi ekonomi terhadap Iran. Opsi ini sangat realistis bagi AS untuk melemahkan posisi politik dalam negeri Iran.
Meskipun langkah tersebut tidak selamanya benar, karena setiap sanksi ekonomi yang diberikan AS biasanya justru dapat membangkitkan kesadaran revolusiner warga Iran. Revolusi 1979 telah menjadi inspirasi bagi Iran untuk menyingsingkan lengan, memberikan perlawanan yang bermartabat terhadap AS. Faktanya, dukungan warga Iran terhadap Ayatullah Ali Khamenei terus membesar karena sikap AS secara umum tidak berubah, yaitu memusuhi Iran.
Dalam hal ini, gertak sambal AS terhadap Iran ibarat buah simalakama yang makin mempermalukan wajah AS yang selama ini dikenal sebagai negara adidaya itu. AS di bawah kepemimpinan Trump terbukti gagal memahami peta politik Timur-Tengah yang terus mengalami perubahan, khususnya gagal dalam memahami Iran.
AS memandang Iran sebagai negara yang mampu didikte dan digertak begitu saja untuk mengikuti kemauan AS. Faktanya sekarang berbeda seratus persen, ketika Iran digertak, justru Iran menunjukkan kehebatannya dari segi persenjataan militer. Iran mampu menjatuhkan pesawat tanpa awak tercanggih yang dimiliki AS. Dalam beberapa kesempatan sebelumnya, Iran mampu menjatuhkan rudal-rudal Israel yang ingin menyerang pangkalan militer Iran di Suriah.
Maka dari itu, faktanya Iran tidak bisa dianggap sebelah mata oleh AS dan sekutunya di Timur-Tengah. Iran telah terbukti memperluas pengaruhnya di kawasan, meningkatkan kapasitas militernya, serta membangun kemitraan strategis dengan Eropa, Rusia, China, India, Jepang dan lain-lain.
Ironisnya, negara-negara lain mampu membangun kemitraan strategis dengan Iran, tapi kenapa AS justru mengambil jarak, bahkan bersikap keras terhadap Iran. Di sini dapat dipahami, bahwa sebenarnya yang bermain bukan hanya AS, tetapi Israel dan Arab Saudi yang tidak ingin melihat Iran menjadi negara besar.
Yang aneh memang Arab Saudi yang justru memilih bermitra dengan Israel daripada Iran. Bahkan Arab Saudi bertahun-tahun melobi AS untuk menekan dan menyerang Iran. Ironisnya lagi, Arab Saudi justru menjadikan isu Palestina sebagai pertaruhan untuk melemahkan Iran.
Dengan demikian, konflik AS-Iran ini tidak akan mereda. Sampai 2020, AS akan terus menekan Iran, khususnya sanksi ekonomi yang saat ini diperlakukan bagi Iran. Sementara, Iran terus membangun kemitraan strategis dengan Rusia, China, dan Jepang. Belakangan Iran berharap negara-negara Eropa masih dalam jalur kesepakatan nuklir, sehingga sanksi ekonomi AS tidak memberikan dampak yang luas.
Zuhairi Misrawi ; Intelektual muda Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta
Pada mulanya Trump memutuskan untuk menyerang Iran pasca-jatuhya pesawat tanpa awak AS di teritori udara Iran. Tapi keputusan tersebut dicabut sebelum aksi militer dilancarkan ke Iran. Trump berdalih pembatalan keputusannya terkait dengan upaya menghindari jatuhnya korban dalam jumlah yang besar. Namun, para analis memandang sikap Trump tersebut sebenarnya terkait dengan kalkulasi politik yang dapat menyudutkan posisinya jelang Pemilu Presiden AS pada 2020.
Di dalam negeri AS, isu Iran ini ibarat ujung pisau yang bisa menguntungkan sekaligus merugikan. Kubu konservatif yang menjadi basis dukungan Trump selalu menjadikan isu Iran sebagai bagian dari kampanye politik luar negeri yang menjadikan Iran sebagai musuh utama AS. Ancaman Iran terhadap Israel semakin mengukuhkan sikap kubu konservatif untuk menoleransi seluruh upaya negosiasi dan dialog dengan Iran. Karenanya, menurut kubu Trump, berdialog dengan Iran sangat tidak menguntungkan secara politik, karena jika itu dilakukan khawatir dapat menggerus basis kubu konservatif.Sementara itu, kubu demokrat memandang dialog dengan Iran dapat meredam dan mengurai benang kusut konflik di kawasan. Mengingat Iran menjadi salah satu pihak yang paling menentukan arah politik di Timur-Tengah. Karena itu, Obama selama memimpin AS sangat terbuka, bahkan melakukan dialog dan membangun kesepakatan bersejarah yang saling menghormati dan menguntungkan, baik bagi AS maupun Iran.
Sampai saat ini, kubu demokrat di AS masih bersikukuh menentang segala aksi militer terhadap Iran. Kalkulasi politik dan ekonomi sama sekali tidak menguntungkan AS. Jika AS bersikukuh menyerang Iran, maka akan menciptakan masalah besar, sebagaimana serangan ke Irak dan beberapa konflik politik yang belakangan terjadi di kawasan Timur-Tengah.
Dalam konteks tersebut, gertak sambal Donald Trump tidak semudah membalikkan kedua belah tangan. Langkah Trump membatalkan serangan AS ke Iran semakin mengukuhkan posisi Iran di kawasan sekaligus AS. Iran tidak bisa dianggap sebelah mata, karena posisi politik dan militer Iran sudah terbukti mampu memperluas pengaruh Iran di kawasan. Sebaliknya, pengaruh AS terus melemah di tengah amburadulnya peta jalan politik luar negeri AS di kawasan. Trump terjepit pada tekanan Israel dan Arab Saudi yang menyebabkan sikap AS tidak populer.
Faktor Rusia dan Turki yang memberikan dukungan penuh pada Iran semakin mengukuhkan posisi Iran. Intinya, saat ini Iran tidak sendirian. Dukungan yang solid dari mitra strategis, khususnya warga Iran merupakan salah satu kekuatan penuh Iran yang setiap saat pimpinan tertinggi Iran dalam mengambil langkah-langkah penting dalam konteks melawan AS dan sekutunya di kawasan.
Karena itu, AS berpikir seribu kali untuk menyerang Iran. Setidaknya hingga Pemilu 2020, Trump dipaksa untuk mengambil opsi yang sangat realistis, yaitu memilih jalur sanksi ekonomi terhadap Iran. Opsi ini sangat realistis bagi AS untuk melemahkan posisi politik dalam negeri Iran.
Meskipun langkah tersebut tidak selamanya benar, karena setiap sanksi ekonomi yang diberikan AS biasanya justru dapat membangkitkan kesadaran revolusiner warga Iran. Revolusi 1979 telah menjadi inspirasi bagi Iran untuk menyingsingkan lengan, memberikan perlawanan yang bermartabat terhadap AS. Faktanya, dukungan warga Iran terhadap Ayatullah Ali Khamenei terus membesar karena sikap AS secara umum tidak berubah, yaitu memusuhi Iran.
Dalam hal ini, gertak sambal AS terhadap Iran ibarat buah simalakama yang makin mempermalukan wajah AS yang selama ini dikenal sebagai negara adidaya itu. AS di bawah kepemimpinan Trump terbukti gagal memahami peta politik Timur-Tengah yang terus mengalami perubahan, khususnya gagal dalam memahami Iran.
AS memandang Iran sebagai negara yang mampu didikte dan digertak begitu saja untuk mengikuti kemauan AS. Faktanya sekarang berbeda seratus persen, ketika Iran digertak, justru Iran menunjukkan kehebatannya dari segi persenjataan militer. Iran mampu menjatuhkan pesawat tanpa awak tercanggih yang dimiliki AS. Dalam beberapa kesempatan sebelumnya, Iran mampu menjatuhkan rudal-rudal Israel yang ingin menyerang pangkalan militer Iran di Suriah.
Maka dari itu, faktanya Iran tidak bisa dianggap sebelah mata oleh AS dan sekutunya di Timur-Tengah. Iran telah terbukti memperluas pengaruhnya di kawasan, meningkatkan kapasitas militernya, serta membangun kemitraan strategis dengan Eropa, Rusia, China, India, Jepang dan lain-lain.
Ironisnya, negara-negara lain mampu membangun kemitraan strategis dengan Iran, tapi kenapa AS justru mengambil jarak, bahkan bersikap keras terhadap Iran. Di sini dapat dipahami, bahwa sebenarnya yang bermain bukan hanya AS, tetapi Israel dan Arab Saudi yang tidak ingin melihat Iran menjadi negara besar.
Yang aneh memang Arab Saudi yang justru memilih bermitra dengan Israel daripada Iran. Bahkan Arab Saudi bertahun-tahun melobi AS untuk menekan dan menyerang Iran. Ironisnya lagi, Arab Saudi justru menjadikan isu Palestina sebagai pertaruhan untuk melemahkan Iran.
Dengan demikian, konflik AS-Iran ini tidak akan mereda. Sampai 2020, AS akan terus menekan Iran, khususnya sanksi ekonomi yang saat ini diperlakukan bagi Iran. Sementara, Iran terus membangun kemitraan strategis dengan Rusia, China, dan Jepang. Belakangan Iran berharap negara-negara Eropa masih dalam jalur kesepakatan nuklir, sehingga sanksi ekonomi AS tidak memberikan dampak yang luas.
Zuhairi Misrawi ; Intelektual muda Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta