Kamis 11 Juli 2019, 15:00 WIB
Mencukupkan Konsumsi Daging
Mengonsumsi daging itu terkait dengan banyak faktor, di antaranya dengan selera dan standar hidup, pendapatan masyarakat, harga, maupun kondisi makroekonomi. Tak heran ketika harga daging, khususnya sapi dan ayam yang seringkali bergejolak dan meroket bisa berdampak langsung pada tingkat konsumsi masyarakat terhadap komoditas daging. Padahal ketika harganya "normal" saja daging yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia masih termasuk sedikit.
Menurut data Organisation for Economic Co-operation and Development(OECD) yang dirilis pada 2018, konsumsi daging pada masyarakat Indonesia pada 2017 baru mencapai rata-rata 1,8 kg untuk daging sapi, 7 kg daging ayam, 2,3 kg daging babi, dan 0,4 kg daging kambing.
Menurut data Organisation for Economic Co-operation and Development(OECD) yang dirilis pada 2018, konsumsi daging pada masyarakat Indonesia pada 2017 baru mencapai rata-rata 1,8 kg untuk daging sapi, 7 kg daging ayam, 2,3 kg daging babi, dan 0,4 kg daging kambing.
Jumlah tersebut jika dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN lainnya, Indonesia jauh tertinggal. Mengacu pada data OECD dalam periode yang sama, negara tetangga seperti Malaysia tingkat konsumsinya mencapai 4,8 kg daging sapi, 46 kg daging ayam, 2,6 daging babi, dan 1 kg daging kambing. Sementara Filipina mencapai 3,1 kg daging sapi, 12,6 kg daging ayam, 15,4 kg daging babi, dan 0,5 kg daging kambing. Thailand angka konsumsinya mencapai 1,7 kg daging sapi, 14,5 daging ayam, dan 10,4 daging babi, sedangkan Vietnam tingkat konsumsinya 9,9 kg daging sapi, 13 kg daging ayam, 30,4 kg daging babi dan 1,7 kg daging kambing.
Rata-rata tingkat konsumsi daging di Indonesia juga masih jauh di bawah rata-rata tingkat konsumsi dunia yang mencapai 6,4 kg daging sapi, 14 kg daging ayam, 12,2 daging babi, dan 1,7 kg daging kambing. Tentu saja dengan rendahnya tingkat konsumsi daging ini juga berpengaruh pada rendahnya tingkat asupan protein hewani pada masyarakat Indonesia, terutama untuk golongan ekonomi menengah ke bawah.
Data Food and Agriculture Organization (FAO) menyebutkan bahwa tingkat konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia pada 2017 masih tertinggal dari negara-negara maju bahkan dengan beberapa negara ASEAN. Dari total konsumsi protein, konsumsi protein hewani Indonesia baru mencapai 8 persen, sementara Malaysia mencapai 30 persen, Thailand 24 persen, dan Filipina mencapai 21 persen. Padahal protein hewani merupakan sumber pangan yang sangat baik untuk masa pertumbuhan dan perkembangan anak-anak karena kandungan asam aminonya yang lengkap.
Dengan kondisi seperti ini jika tidak segera ditangani, maka akan timbul bencana yang lebih besar, yaitu hilangnya generasi penerus bangsa akibat kekurangan protein. Kekurangan protein, terutama protein hewani, bisa berakibat pada lambannya pertumbuhan badan dan juga tingkat kecerdasan anak-anak. Oleh karena itu, mau tak mau kita harus meningkatkan konsumsi masyarakat terhadap protein hewani. Salah satunya adalah melalui kecukupan tingkat konsumsi daging dengan segala nilai gizi dan nutrisi yang dikandungnya.
Kendala
Ada beberapa kendala mengapa tingkat konsumsi masyarakat Indonesia terhadap komoditas daging ini rendah. Kendala utama penyebab rendahnya tingkat konsumsi daging secara umum adalah daya beli masyarakat yang rendah, dan daging selama ini masih menjadi komoditas pangan yang mewah dengan harga yang relatif mahal. Ini dua hal yang saling terkait dan pengaruhnya besar terhadap konsumsi daging karena secara umum tidak semua masyarakat Indonesia mempunyai pendapatan yang memadai untuk membeli komoditas daging.
Kemudian kendala berikutnya adalah adanya pertambahan jumlah penduduk Indonesia dari tahun ke tahun dan sekaligus bertambahnya kelompok masyarakat dengan tingkat pendapatan yang lebih tinggi. Hal ini tentu menyebabkan pola konsumsi terhadap komoditas daging juga mengalami perubahan, yang salah satu indikatornya adalah kebutuhan atau permintaan terhadap daging meningkat dari waktu ke waktu. Namun demikian, tingginya permintaan daging ini belum bisa diimbangi dengan kecukupan produksi daging, khususnya daging sapi yang berasal dari ternak dalam negeri.
Ketidakcukupan produksi daging secara langsung akan berdampak pada ketersediaan di pasar. Dampaknya akan berpengaruh pada pola konsumsi daging karena sesuai dengan hukum ekonomi, jika terjadi kelangkaan maka harga cenderung meningkat sehingga menjadi tambahan beban masyarakat.
Ketidakcukupan produksi daging secara langsung akan berdampak pada ketersediaan di pasar. Dampaknya akan berpengaruh pada pola konsumsi daging karena sesuai dengan hukum ekonomi, jika terjadi kelangkaan maka harga cenderung meningkat sehingga menjadi tambahan beban masyarakat.
Secara umum kelangkaan daging di Indonesia selama ini disebabkan oleh dua hal, yaitu karena produksi yang lebih rendah daripada tingkat konsumsi dan karena adanya berbagai permasalahan, terutama dalam saluran distribusi atau tataniaganya. Dari sisi produksi, kita memang belum bisa memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat. Tingkat produksi kita masih jauh dari harapan atau cita-cita swasembada daging. Untuk daging unggas dan daging selain daging sapi, saat ini tidak terlalu menjadi persoalan krusial karena produksinya relatif mencukupi meskipun belum merata di seluruh Indonesia.
Khusus masalah daging sapi, sampai saat ini masih menjadi persoalan rumit. Tidak saja dengan masyarakat pengonsumsinya, melainkan juga sudah masuk ke ranah politik dan banyak pihak yang berkepentingan dengan masalah ini. Apalagi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2010-2014 lalu, daging sapi merupakan salah satu komoditas strategis, yang kemudian pada 2014 pemerintah mencanangkan swasembada daging sejak ditetapkan pada 2000.
Kemudian dari sisi teknologi produksi daging sapi, Indonesia juga masih dihadapkan produksi ternak tanpa penggunaan teknologi yang memadai dan merata. Masalah lain adalah dari sisi kelembagaan produksi maupun distribusinya. Kelembagaan produksi selama ini misalnya kurang membuat peternak mandiri, terutama dalam penyediaan bibit, sarana dan prasarana, maupun input-input produksi lainnya.
Sementara kelembagaan distribusi, terutama tata niaga yang menghubungkan produsen dan konsumen belum efisien dan terlalu banyak pemburu rentenya. Struktur pasar pun ditengarai hanya dikuasai segelintir orang atau kelompok (oligopoli) yang mengejar keuntungan sepihak.
Sementara kelembagaan distribusi, terutama tata niaga yang menghubungkan produsen dan konsumen belum efisien dan terlalu banyak pemburu rentenya. Struktur pasar pun ditengarai hanya dikuasai segelintir orang atau kelompok (oligopoli) yang mengejar keuntungan sepihak.
Ternak Kecil
Dengan berbagai kondisi tersebut, untuk mencukupkan konsumsi daging salah satu hal yang bisa kita lakukan adalah melirik dan mengoptimalkan kembali peternakan rakyat. Ternak-ternak kecil seperti peternakan kelinci, marmut, ayam kampung, dan semacamnya yang dulu pernah menjadi penopang kebutuhan daging di tingkat rumah tangga perlu lebih dioptimalkan. Tidak perlu berpikir jauh untuk kepentingan ekonomi ataupun bisnis, meskipun itu memungkinkan.
Setidaknya ternak-ternak kecil seperti ini jika diberdayakan secara serentak dan massal akan mampu untuk mencukupi kebutuhan daging di tingkat ruma tangga, bahkan nasional yang dari tahun ke tahun kebutuhannya terus meningkat. Dengan cara itu pula, maka ketergantungan terhadap ternak besar ataupun ternak unggas yang diproduksi dengan input produksi yang sebagian besar impor dapat dikurangi.
Selama ini peternakan rakyat dengan ternak hewan kecil umumnya tidak menggunakan input-input produksi yang mahal dan apalagi impor. Terutama di desa, semua bahan-bahan tersedia berlimpah dan murah. Secara ekologi pun ternak-ternak kecil lebih ramah lingkungan dibanding misalnya sapi yang selama ini ditengarai menimbulkan dampak yang kurang baik terhadap lingkungan.
Setidaknya ternak-ternak kecil seperti ini jika diberdayakan secara serentak dan massal akan mampu untuk mencukupi kebutuhan daging di tingkat ruma tangga, bahkan nasional yang dari tahun ke tahun kebutuhannya terus meningkat. Dengan cara itu pula, maka ketergantungan terhadap ternak besar ataupun ternak unggas yang diproduksi dengan input produksi yang sebagian besar impor dapat dikurangi.
Selama ini peternakan rakyat dengan ternak hewan kecil umumnya tidak menggunakan input-input produksi yang mahal dan apalagi impor. Terutama di desa, semua bahan-bahan tersedia berlimpah dan murah. Secara ekologi pun ternak-ternak kecil lebih ramah lingkungan dibanding misalnya sapi yang selama ini ditengarai menimbulkan dampak yang kurang baik terhadap lingkungan.
Oleh karena itu, kita perlu terus menggalakkan peternakan-peternakan seperti ini untuk bisa tumbuh di masyarakat. Kita harus mampu menciptakan ketahanan pangan (daging) dan terutama pemenuhan protein hewani tanpa biaya tinggi. Cara murah dan mudah dapat dimulai dari lingkungan kita sendiri dengan lebih memberdayakan sumberdaya-sumberdaya yang ada di masyarakat.
Junaedi ; Peminat masalah sosial ekonomi pertanian, tinggal di Jombang
Junaedi ; Peminat masalah sosial ekonomi pertanian, tinggal di Jombang