Kamis 11 Juli 2019, 13:10 WIB
Menyempurnakan Makro Pariwisata Kita
Sektor pariwisata Indonesia mengalami pertumbuhan yang apik dalam lima tahun terakhir. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah wisatawan mancanegara pada periode 2014-2018 tumbuh sebesar 67,6 persen. Naik hampir dua kali lipat dibandingkan pertumbuhan periode 2009-2013 yang sebesar 39,2 persen. Selain itu, menurut Travel and Tourism Competitiveness Index yang dikeluarkan World Economic Forum, daya saing pariwisata Indonesia merangsek naik dari peringkat 81 di 2009 menjadi urutan 42 pada 2017.
Kinerja pariwisata yang apik turut mendongkrak penerimaan devisa negara di mana pada 2018 angka sementaranya mencapai 16,11 miliar dolar AS. Lebih tinggi dibandingkan 2017 yang sebesar 15,24 miliar dolar AS. Tentu, menurut Kemenpar, berbagai capaian tersebut tidak lepas dari berbagai strategi yang dilakukan. Di antaranya program empat destinasi super prioritas "Bali Baru" yakni Danau Toba, Candi Borobudur, Mandalika, dan Labuan Bajo, serta penerapan strategi branding, advertising, dan selling. Penguatan branding Wonderful Indonesia juga terus digalakkan di mana selama periode 2016 sampai Maret 2019 berhasil mendapatkan 150 penghargaan
BPS mencatat kunjungan turis asing Januari-Mei 2019 sebesar 6,37 juta orang, meningkat 2,7% dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar 6,2 juta kunjungan. Adapun realisasi 6,37 juta wisatawan tersebut baru mencapai sekitar 35% terhadap total wisatawan mancanegara yang ditargetkan pemerintah tahun ini sebanyak 18 juta orang. Sementara pada tahun lalu, total kunjungan turis asing juga hanya mencapai 15,81 juta orang. Angka itu meleset dari target yang ditetapkan sebesar 17 juta kunjungan.
Jumlah kunjungan pada Mei 2019 ini terdiri dari wisman yang berkunjung melalui pintu masuk udara sebanyak 713,88 ribu kunjungan, melalui pintu masuk laut sebanyak 337,41 ribu kunjungan, dan pintu masuk darat sebanyak 205,04 ribu kunjungan. Namun terjadi penurunan kunjungan wisman yang melalui pintu masuk udara dibanding April 2019, yakni sebesar 7,75 persen. Penurunan terjadi di hampir seluruh pintu masuk udara dengan persentase penurunan paling besar terjadi di Bandara Husein Sastranegara, Jawa Barat yaitu sebesar 45,52% dan penurunan paling kecil terjadi di Bandara Sultan Badarudin II, Sumatera Selatan yaitu sebesar 1,89%.
Sementara itu, kenaikan kunjungan wisman tercatat hanya di Bandara Ngurah Rai, Bali sebesar 2,02%. Sebaliknya, jumlah kunjungan wisman yang datang melalui pintu masuk laut pada Mei 2019 mengalami kenaikan sebesar 46,62% dibanding Mei 2018, yaitu dari 230,12 ribu kunjungan menjadi 337,41 ribu kunjungan. Persentase kenaikan tertinggi tercatat di Pelabuhan Tanjung Uban, Kepulauan Riau sebesar 75,44%, sedangkan persentase penurunan tertinggi terjadi di Pelabuhan Tanjung Benoa, Bali sebesar 98,34%.
Dari sisi negara asal, kunjungan wisman yang datang ke Indonesia paling banyak berasal dari negara Malaysia sebanyak 252,8 ribu kunjungan atau 20,12%, Tiongkok 165,1 ribu kunjungan atau 13,14 persen, Singapura 136,3 ribu kunjungan yaitu 10,85%, Australia 108,1 ribu kunjungan atau 8,60% dan Timor Leste 100,3 ribu kunjungan atau 7,99 persen. Namun dilihat dari sisi kewilayahan, dari 1,26 juta kunjungan, wisman yang datang dari wilayah ASEAN memiliki persentase kenaikan paling tinggi dibanding Mei 2018, yaitu sebesar 20,20%, sedangkan penurunan tertinggi terjadi pada wisman yang datang dari wilayah Timur Tengah, yaitu sebesar 13,84%.
Secara kumulatif dari Januari–Mei 2019, wisman yang datang dari wilayah ASEAN memiliki persentase kenaikan paling tinggi, yaitu sebesar 17,27% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, sedangkan wilayah Timur Tengah memiliki persentase penurunan paling besar, yaitu sebesar 13,27%. Dan secara semesteran, semester I 2019, jumlah kunjungan ditargetkan mencapai 8 juta wisatawan mancanegara. Artinya, jumlah kunjungan turis asing pada Juni 2019 harus sebesar 1,63 juta orang untuk menggenapi target 8 juta tersebut. Dan nampaknya, pemerintah dan stake holder pariwisata harus bekerja ekstra keras untuk meraih angka tersebut, mengingat banyaknya persoalan yang sedang menimpa ekosistem pariwisata kita di satu sisi dan perlambatan ekonomi dunia di sisi lain.
Memang, sejak beberapa tahun lalu, pariwisata Indonesia sempat menorehkan angka pertumbuhan yang luar biasa. Pada 2015, kunjungan wisman tercatat sebanyak 9,7 juta, lalu 2016 menjadi 11,5 juta, dan 2017 sebanyak 14 juta. Pertumbuhan total kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) Indonesia pada 2017 tercatat sebesar 22% atau lebih tinggi daripada regional ASEAN (7%) dan dunia (6,4%). Sementara itu, sumbangan devisa dari sektor pariwisata pun ikut meningkat sejak 2015 yang dari 12,2 miliar dolar AS menjadi 13,6 miliar dolar AS pada 2016, dan satu tahun berikutnya naik lagi menjadi 15 miliar dolar AS.
Tahun ini ditargetkan meraup devisa 17 miliar dolar AS dan 20 miliar dolar AS di 2020. Namun, pertumbuhan wisman pada 2017 menjadi puncak tersendiri, di mana untuk tahun selanjutnya justru melandai menjadi sekitar 7 persen. Jika dirunut lima tahun ke belakang, rata-rata pertumbuhan wisman tercatat sekira 12 persen dan rata-rata pertumbuhan devisa dalam rentang waktu yang sama sekitar 9 persen. Dengan kata lain, angka pertumbuhan progresif kunjungan pariwisata Indonesia terjadi satu dua tahun saja, kemudian melandai. Kondisi tersebut kemudian sangat berkorelasi positif dengan penurunan nilai belanja wisman, pun dengan length of stay mereka.
Penurunan angka spending dan length of stay masih bisa dijelaskan dengan perkembangan data yang ada. Sebut saja misalnya peningkatan wisman dari kawasan ASEAN adalah salah satu penyebabnya mengingat wisman dari negara-negara tetangga terdekat cenderung melakukan kunjungan dengan range waktu yang pendek, karena kedekatan geografis. Pun dengan peningkatan jumlah kunjungan wisman dari negeri Tiongkok, yang sempat masif dibicarakan beberapa waktu lalu. Namun sisi detail angka tersebut masih belum representatif untuk menjelaskan pelandaian yang cukup drastis dari tingkat kunjungan wisman nasional.
Terdapat banyak alasan yang bisa dijadikan penyebab perlambatan pertumbuhan wisman sejak 2018 sampai kuartal satu 2019, jika memang ingin dicarikan alasannya. Beberapa hal yang sering disebutkan adalah bencana alam. Atau ada juga yang menyebut faktor tiket pesawat yang mahal, walaupun sebenarnya untuk penerbangan internasional (konteks untuk wisman), sebenarnya harga tiket pesawat terbilang cukup rendah. Atau boleh jadi pula lonjakan kunjungan wisman pada tahun-tahun lalu adalah awalan yang tidak menghasilkan repeated visit karena faktor ketidakpuasan. Semuanya alasan bisa saja menjadi penyebab, namun agaknya kurang baik jika tetap bersembunyi di balik itu semua.
Oleh karena itu, pemerintah bersama dengan stake holder pariwisata lainnya sebaiknya mulai menggunakan pendekatan ekosistem dan makro ekonomi pariwisata untuk setiap destinasi unggulan yang ingin dikedepankan. Pembenahan destinasi, mulai dengan melengkapi kebutuhan 3 A di kawasan destinasi, menyiapkan aksi intervensi (regulasi dan insentif/disentif), menentukan pengelola (destination management organisation/DMO), menyesuaikan tipe pengembangan destinasi dengan nature of destination-nya (mass tourism/special interest tourism), menyusun ulang strategi pemasaran yang didasarkan atas hasil market mapping yang sesuai, sampai dengan merumuskan jurus-jurus promosi dan pemasaran yang tepat. Setelah melakukan hal-hal fundamental tersebut, baru kemudian kita berbicara tentang target yang ingin diraih, baik optimis maupun pesimis, dengan rencana belanja yang akan alokasikan.
Dengan kata lain, total belanja untuk sektor pariwisata yang telah dialokasikan, harus dikonfrontasikan dengan total wisman dan devisa yang akan diraih. Semisal, dengan anggaran Rp 5 triliun yang dialokasikan untuk Kementerian Pariwisata, dibagi dengan total wisman sekira 17 juta, maka dibutuhkan sekitar Rp 294 ribuan untuk biaya mendatangkan satu wisman, yang rata-rata belanjanya hanya tersisa sekira 1000-an dolar AS per visit. Angka tersebut agaknya terlalu mahal, mengingat raihan pajak dari belanja wisman tidak terlalu besar dibandingkan dengan belanja Rp 294 ribu itu tadi. Artinya, belanja rata-rata untuk mendatangkan satu wisman tadi belum terlalu efisien. Jika mampu menekan sampai le level Rp 150 ribuan, misalnya, maka hasilnya dipastikan akan jauh lebih besar.
Jadi pendeknya, saya kira, pemerintah dan semua stake holder pariwisata harus benar-benar mulai fokus kembali untuk menata ulang ekosistem dan makro ekonomi pariwisata kita, agar benar-benar bisa menjadi tulang punggung devisa dan menjadi quick win dalam menghadapi ketidakseimbangan neraca pembayaran kita dalam peta perdagangan internasional. Dan, bagi Jokowi-Maruf, inilah kesempatan emas untuk membuktikan bahwa Indonesia benar-benar layak untuk "menonjol" di dalam peta pariwisata global dengan meraup devisa sebesar-besarnya dari potensi puluhan juta wisman yang akan datang ke negeri ini. Semoga!
Dony Oskaria ; Ketua Pokja Pariwisata Komite Ekonomi Industri Nasional