Senin 08 Juli 2019, 12:50 WIB
Bola Liar Penghapusan Pendidikan Agama
Pernyataan Setyono Darmono yang mengkritik tentang fenomena pendidikan agama di sekolah memantik polemik. Ia mengusulkan agar pendidikan agama "dikeluarkan" dari kurikulum. Asumsinya, pendidikan agama secara tidak langsung menanamkan sikap eksklusivisme. Bola liar tentang penghapusan pendidikan agama pun semakin ramai. Apalagi, pada masa kampanye pemilu lalu sempat muncul isu dan hoaks yang menyatakan jika Jokowi terpilih kembali, maka pendidikan agama akan dihapuskan.
Kritikan Darmono tentu bukanya tanpa alasan. Maraknya fenomena radikalisme agama, terorisme, bahkan politisasi agama untuk kepentingan politik praktis menjadi gejala tentang peran dan posisi pendidikan agama. Spiritnya sederhana: pendidikan agama tidak boleh menjadikan umat beragama menjadi eksklusif, tertutup, dan merasa benar.
Pendidikan agama seharusnya mampu menanamkan nilai inklusif, terbuka terhadap berbagai perbedaan. Jika agama justru mengusung sikap fanatisme, menguatkan klaim kebenaran terhadap agamanya sendiri, maka kiranya kurikulum pendidikan agama perlu disegarkan kembali.
Tentang polemik penghapusan agama ini, ada beberapa hal yang perlu ditegaskan. Pertama, kebebasan beragama adalah hak konstitusional. Artinya, setiap warga berhak menganut --dan mempelajari-- agamanya masing-masing. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal kiranya harus memfasilitasi hal tersebut. Sehingga jika pendidikan agama "dihapus" dari kurikulum sekolah, bahkan dilarang --sebagaimana yang pernah diisukan-- maka bertentangan dengan konstitusi.
Hal ini diperkuat dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 12 ayat (1) huruf (a) yang menyebutkan bahwa anak didik berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama. Upaya untuk menghilangkan pendidikan agama dari kurikulum, baik konten maupun metodenya dalam konteks ini menjadi sangat bias dan mentah.
Kedua, jika maraknya fenomena radikalisme dan politisasi agama merupakan akibat secara kausalitas dari variabel pendidikan agama, maka kiranya ada yang perlu dibenahi dengan kurikulum pendidikan agama kita. Namun sekali lagi, hal ini harus dibuktikan dengan riset yang relevan. Berbicara tentang kurikulum pendidikan agama, maka meniscayakan setidaknya tentang empat komponen, yakni tujuan, materi, strategi, dan evaluasi. Artinya, kurikulum bukan hanya menyangkut isi dan konten tekstual materi ajar saja, namun juga membahas tentang tujuan, metodologi pengajaran, serta instrumen evaluasi yang digunakan.
Sampai di sini, maka peran guru agama memiliki posisi yang cukup signifikan dalam implementasi kurikulum. Belum lagi faktor lingkungan, konteks sosial budaya, kebijakan (otonomi) daerah, yang semuanya tentu saja memberi andil dalam mewarnai pembelajaran pendidikan agama.
Ketiga, materi pendidikan agama harus diajarkan secara holistik. Secara garis besar, materi pendidikan agama (Islam misalnya) setidaknya meliputi tiga aspek, yakni aspek aqidah, aspek syariah, dan aspek akhlak. Ada kecenderungan pendidikan agama selama ini lebih tampak pada aspek aqidahdan syariah saja. Pendidikan agama seakan berbicara pada hubungan Tuhan dan aspek syariah atau fiqih-centris. Ini halal, itu haram, ini wajib, itu sunah, ini makruh, yang ketika dimaknai secara tekstual maka akan membentuk karakter formalis. Sementara aspek akhlak, etika berinteraksi dengan orang lain sering kali tidak begitu menonjol, bahkan terkesan terabaikan.
Padahal pendidikan agama sejatinya bermuara pada pembangunan akhlak dan moral peserta didik. Aspek akhlak ini tentunya akan menjadi formalitas jika metode pengajarannya hanya teks book. Aspek akhlak ini harus diajarkan tidak hanya melalui kurikulum yang manifest (senyatanya), namun juga perlu penguatan melalui hidden curriculum atau kurikulum tersembunyi. Sekolah atau madrasah, guru, tenaga kependidikan, lingkungan sekolah, budaya organisasi menjadi kurikulum tersembunyi yang akan membangun akhlak peserta didik, dan tentu saja hal ini bukan semata tugas pendidikan agama saja.
Dengan kata lain, saya mau mengatakan bahwa tidak bisa pembangunan sikap --termasuk sikap beragama-- hanya dibebankan pada pendidikan agama. Durasi alokasi waktu, keterkaitan dengan sistem serta budaya organisasi yang terbangun semuanya berperan penting dalam mengembangkan sikap beragama peserta didik. Jika ada kekurangan dalam pendidikan agama kita, tentunya tidak serta-merta pendidikan agama harus dihapus dan dikeluarkan, namun harus diobati dan disempurnakan.
Bukankah yang menjadikan sikap radikal itu bukan hanya sekolah (formal), namun juga faktor keluarga (informal) dan lingkungan masyarakat (non formal) yang mengitarinya?
Muhamad Mustaqim ; Dosen IAIN Kudus