Selasa 09 Juli 2019, 12:48 WIB
Bukan Mencari-Cari Pimpinan KPK
Masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan segera berakhir pada 21 Desember 2019 yang akan datang. Hal ini telah ditandai dengan dibentuknya panitia seleksi (pansel) oleh Presiden pada 17 Mei 2019 yang tercantum dalam keputusan presiden republik Indonesia Nomor 54/P Tahun 2019 tentang pembentukan panitia seleksi calon pimpinan komisi pemberantasan korupsi masa jabatan tahun 2019-2023.
Terlepas dari banyaknya kritik terhadap pansel KPK karena dianggap tidak merepresentasikan semangat antikorupsi serta track record pelanggaran etik dari beberapa anggota pansel, namun optimisme tetap harus digantungkan kepada pansel. Dengan cara, masyarakat aktif sebagai pengawas dan pemberi masukan agar pansel dapat menemukan orang-orang terbaik yang tidak hanya sebagai pimpinan formalitas tanpa visi, tetapi mencari sosok yang mampu menjadi pemimpin pemberantasan korupsi di negeri ini.
Terlepas dari banyaknya kritik terhadap pansel KPK karena dianggap tidak merepresentasikan semangat antikorupsi serta track record pelanggaran etik dari beberapa anggota pansel, namun optimisme tetap harus digantungkan kepada pansel. Dengan cara, masyarakat aktif sebagai pengawas dan pemberi masukan agar pansel dapat menemukan orang-orang terbaik yang tidak hanya sebagai pimpinan formalitas tanpa visi, tetapi mencari sosok yang mampu menjadi pemimpin pemberantasan korupsi di negeri ini.
Sejatinya sejak berdiri sudah 4 (empat) kali pimpinan KPK berganti mulai dari periode 2003-2007 yang diketuai oleh Taufiqurrahman Ruki, periode 2007-2011 yang diketuai oleh Antasari Azhar, periode 2011-2015 yang diketuai oleh Abraham Samad hingga terakhir periode 2015-2019 yang diketuai oleh Agus Rahardjo. Jika dilihat dari latar belakang orang-orang yang pernah memimpin KPK dalam setiap pergantian tersebut sesungguhnya sudah berasal dari latar belakang yang beragam mulai dari jaksa, polisi, advocat hingga aktivis, namun korupsi tetap saja merajalela seolah tak lagi terkendali.
Dengan keadaan demikian, haruskah pansel KPK saat ini mencari sosok manusia setengah dewa agar korupsi benar-benar lenyap? Yang jelas tidak ada sosok yang demikian di dunia ini, sehingga menurut saya pansel KPK harusnya lebih fokus mencari orang-orang yang akan memimpin KPK dengan 3 (tiga) kriteria. Pertama, berintegritas. Integritas calon pimpinan KPK tidak dapat digadaikan dengan kemampuan teknis prosedural ataupun pengalaman kerja sekalipun.
Syarat integritas ini dicantumkan secara eksplisit dalam Pasal 29 Angka 7 UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK sebagai syarat pendaftaran calon pimpinan KPK di samping syarat-syarat formal lainnya. Ini menjadi bukti bahwa KPK sesungguhnya memang benar didirikan karena brutalnya korupsi yang mengakibatkan rusaknya pranata penegakan hukum mulai dari kejaksaan, kepolisian, hingga peradilan di berbagai tingkatan.
Atau, singkat kata KPK ada karena integritas penegak hukum bermasalah karena korupsi. Untuk itu akan sangat paradoks bila pimpinan KPK bukanlah orang-orang berintegritas padahal KPK merupakan lembaga yang akan menjadi role model bagi penegak hukum lain terutama soal integritas yang tak bisa ditawar-tawar.
Integritas tersebut akan terlihat dari sikap yang konsisten untuk tidak terbujuk, terintimidasi, dan menggadaikan penanganan kasus korupsi dengan kekuasaan mana pun. Karena, korupsi merupakan kejahatan yang melibatkan power di dalamnya sehingga tidak jarang muncul banyak tekanan dan serangan dalam berbagai bentuk terhadap pimpinan KPK hingga sudah pasti akan dapat menghambat kinerja KPK secara kelembagaan.
Kedua, pro pemberantasan korupsi. KPK merupakan tonggak penting dalam sejarah kampanye pemberantasan korupsi di Indonesia dengan menggoyang kultur kekebalan hukum bagi para pejabat tinggi negara. Sulit membayangkan bagaimana KPK muncul dengan sendirinya mengingat kegagalan lembaga-lembaga pemberantasan korupsi serupa karena ketiadaan dukungan publik.
Untuk mendapatkan dukungan publik secara penuh tentu pimpinan KPK terpilih haruslah orang-orang telah teruji memiliki rekam jejak mendukung maksimal pemberantasan korupsi baik lewat lisan, tulisan, maupun perbuatan --bukan orang-orang yang memiliki rekam jejak berkontribusi melakukan pelemahan terhadap KPK.
Selain itu, pansel juga dapat meneliti mantan pejabat atau penyelenggara negara yang ikut mendaftar sebagai pimpinan KPK dengan melihat tingkat kepatuhan pejabat negara tersebut dalam melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara. Harta kekayaan yang dilaporkan ke KPK secara berkala dan diumumkan ke publik menjadi salah satu indikasi apakah pejabat negara yang bersangkutan melakukan perbuatan korupsi atau tidak. Namun, yang lebih penting tentu sikap patuh ini merupakan bentuk dukungan nyata terhadap pemberantasan korupsi.
Ketiga, tanpa konflik kepentingan. Pansel KPK harus mampu menghasilkan pimpinan KPK yang independen tanpa ada konflik kepentingan di dalamnya, sehingga tidak berlebihan sebenarnya jika pimpinan KPK semuanya diisi oleh orang-orang yang bukan berasal dari institusi-institusi hukum tertentu. Sebab, tidak ada satu pun frasa dalam UU KPK yang mengharuskan pansel memilih atau bahkan harus "jemput bola" pada institusi-institusi tersebut karena yang dibutuhkan dari pimpinan KPK sejatinya adalah keberanian untuk mengungkap kasus-kasus korupsi besar, bukan hanya melakukan pemberantasan korupsi pada level pinggiran dan sarat dengan konflik kepentingan.
Selaian itu, kritik terbesar sesungguhnya juga terkait dengan mekanisme pemilihan pimpinan KPK. Pasal 30 UU KPK mengatur bahwa pimpinan KPK dipilih oleh DPR berdasarkan calon anggota yang diusulkan oleh presiden. Untuk melancarkan proses pemilihan calon, pemerintah membentuk pansel yang terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat. Keterlibatan DPR inilah yang kemudian selalu menimbulkan pesimisme setiap kali terjadi pergantian pimpinan KPK.
Sulit untuk menutup mata bahwa keterlibatan DPR sebagai lembaga politik tidak akan menimbulkan konflik kepentingan. Terlebih saat KPK masuk ke wilayah-wilayah yang selama ini mempunyai posisi politik amat kuat, termasuk penangkapan sejumlah anggota DPR yang terlibat kasus korupsi. Mekanisme seperti ini turut membenamkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. DPR memainkan kartunya dalam rekrutmen komisioner KPK melalui heavy control selama fit and proper test berlangsung.
Situasi ini memunculkan kekhawatiran akan independensi dan integritas komisioner KPK. Di samping itu perlu juga kiranya mewaspadai celah korupsi yang bisa terjadi di DPR saat proses fit and proper test karena DPR memiliki kuasa dalam menentukan jalannya pemilihan banyak pejabat publik, mulai dari Gubernur Bank Indonesia, Panglima TNI, Kapolri, Duta besar, Komisioner KPU hingga Pimpinan KPK. Pengaruh yang dimiliki DPR dapat menggagalkan maupun menyetujui pencalonan pejabat yang diusulkan pemerintah terlebih dengan fungsi supervisi dan anggaran yang melekat padanya. Pelemahan terhadap lembaga-lembaga tersebut dapat dimulai sejak penyusunan pansel hingga saat dilakukan fit and proper test.
Akhirnya, tentu segala harapan untuk pemberantasan korupsi akan ditumpangkan pada siapa saja yang nantinya terpilih sebagai pimpinan KPK. Namun untuk mewujudkan semua itu haruslah dilakukan dengan kesungguhan tekad, dimulai dari pansel yang benar-benar harus menyeleksi orang-orang berintegritas, pro pemberantasan korupsi tanpa punya konflik kepentingan, bukan kemudian hanya berpura seolah mencari-cari pimpinan KPK yang ternyata sudah disiapkan. Semoga.
Helmi Chandra SY ; Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta, peneliti Pusat Kajian Bung Hatta Anti Korupsi (BHAKTI)