Selasa 09 Juli 2019, 15:58 WIB
Kasus Baiq Nuril dan Kritik Keadilan Undang-Undang Grasi
Seperti ramai diberitakan, Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh Baiq Nuril. Ini berarti Baiq Nuril sebagai terpidana akan menjalani hukum pidana enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan sesuai putusan Kasasi MA.
Berbagai pendapat publik mengenai putusan PK MA terhadap Baiq Nuril tersebut terus bermunculan. Ada yang menyebutkan putusan tersebut tidak melindungi perempuan, ada pula yang menuturkan bahwa pengadilan tahu hukum, tapi buta akan keadilan. Bahkan tak jarang publik menilai Baiq Nuril adalah korban kriminalisasi.
Namun apa pun kritik publik terhadap putusan PK tersebut, putusan PK tetaplah produk hukum yang bersifat mengikat. Baiq Nuril tetaplah seorang terpidana, yaitu seseorang yang terbukti secara legal telah melakukan kejahatan sehingga harus menjalani hukuman.
Kewenangan Amnesti Pasca PK Baiq Nuril ditolak MA, Presiden Jokowi memberikan tanggapan untuk mempertimbangkan apakah akan memberikan amnesti atau tidak kepada Baiq Nuril.
Hasrat agar memperoleh amnesti dari presiden tentulah sesuatu yang diinginkan oleh banyak terpidana termasuk Baiq Nuril. Sebab dampak yuridis dari pemberian amnesti oleh presiden kepada seorang terpidana akan menghapuskan segala akibat dari ancaman hukum pidana. Ini berarti terpidana yang memperoleh amnesti tidak perlu lagi menjalani pidana yang dijatuhkan oleh pengadilan kepadanya.
Lalu, ketentuan apakah yang disyaratkan oleh undang-undang untuk memperoleh amnesti dari Presiden? Pasal 1 Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 Tanggal 27 Desember 1954 Tentang Amnesti dan Abolisi menerangkan bahwa Presiden atas kepentingan Negara, dapat memberi amnesti kepada orang-orang yang telah melakukan sesuatu tindakan pidana.
Dalam perangkat norma tentang amnesti tidak ada pembatasan yang diberikan oleh aturan hukum mengenai kriteria pidana yang dijatuhkan kepada terpidana sebagaimana yang kita jumpai dalam syarat tentang grasi. Artinya, sekalipun Baiq Nuril dipidana di bawah 2 tahun, ia diberikan hak untuk mengajukan permohonan amnesti kepada Presiden.
Syarat yang diberikan oleh undang-undang kepada Presiden untuk memberikan amnesti kepada terpidana adalah amnesti tersebut diberikan atas kepentingan negara. Timbul pertanyaan, apakah memberikan amnesti kepada Baiq Nuril masuk kategori kepentingan negara?
Dirunut dengan menggunakan optik historikal, amnesti diberikan kepada orang-orang yang tersangkut dengan pemberontakan yang telah insyaf dan kembali ke pangkuan Republik Indonesia. Sebab itu lahirlah Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 449 Tahun 1961 Tentang Pemberian Amnesti Dan Abolisi Kepada Orang-Orang Yang Tersangkut Dengan Pemberontakan.
Memasuki era Reformasi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun pernah memberikan amnesti kepada orang yang terlibat dalam Gerakan Aceh Merdeka. Hai ini tertuang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2005 Tentang Pemberian Amnesti Umum Dan Abolisi Kepada Setiap Orang Yang Terlibat Dalam Gerakan Aceh Merdeka. Pemberian amnesti ini diberikan dengan tujuan untuk kepentingan negara dan kesatuan bangsa.
Dari pendekatan historis itu, kita dapat menyimpulkan bahwa pemberian amnesti tidaklah tepat diberikan kepada Baiq Nuril. Mengapa? Sebab, amnesti secara pendekatan historis ditujukan kepada pelaku tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara (crime against state), seperti makar.
Sedangkan kasus Baiq Nuril bukanlah kejahatan terhadap keamanan negara, melainkan kejahatan terhadap orang (crime against person). Kalau begitu, tampaknya ada masalah ketidakadilan yang serius dalam kondisi Baiq Nuri untuk memperoleh pengampunan dari hukuman pidana.
Karena itu, marilah kita coba lacak apa penyebab ketidakadilan ini.
Melacak Ketidakadilan
Sebetulnya, upaya memperoleh keadilan tidak berakhir dengan putusan Peninjauan Kembali (PK).
Memang, PK adalah upaya hukum terakhir dalam sistem peradilan pidana, tetapi bukan akhir dari upaya memperoleh keadilan. Secara yuridis Baiq Nuril adalah seorang terpidana, namun hak atas keadilan tidak dapat dicabut hanya karena ia seorang terpidana.
Guna menjamin hak terpidana atas keadilan tersebut, negara telah memberikan perlindungan normatif bagi terpidana untuk memenuhi keadilannya, di antaranya adalah melalui amnesti dan grasi. Amnesti ditujukan kepada pelaku kejahatan terhadap negara dengan tujuan atas kepentingan negara, sedangkan grasi ditujukan kepada kejahatan terhadap orang dengan tujuan kepentingan individu guna memperoleh keadilan.
Lalu muncul pertanyaan, apakah Baiq Nuril sebagai terpidana yang dipidana 6 bulan penjara berhak mendapatkan grasi dari Presiden Jokowi?
Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (UU Grasi) memberikan jawabannya dengan menerangkan bahwa Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi hanyalah pidana mati, penjara seumur hidup, penjara paling rendah 2 (dua) tahun.
Keberadaan Pasal 2 ayat 2 UU Grasi merupakan tembok hukum bagi Baiq Nuril sebagai terpidana yang divonis 6 bulan penjara yang akan menghalangi perempuan asal Mataram tersebut untuk mengajukan permohonan grasi kepada Presiden. Kondisi ini disebabkan karena adanya pembatasan hukum yang diberikan oleh UU Grasi.
Bila melacak penyebab ketidakadilan bagi Baiq Nuril, maka bukanlah norma dalam undang-undang yang mengatur amnesti penyebabnya. Melainkan ketentuan Pasal 2 ayat 2 UU Grasi-lah yang menjadi penghalang bagi terpidana di bawah 2 tahun memperoleh hak mengajukan permohonan grasi kepada Presiden.
Realitas hukum dalam kasus Baiq Nuril ini sepatutnya dapat dijadikan refleksi hukum oleh pembuat undang-undang untuk melakukan pembaharuan hukum tentang grasi. Hal ini disebabkan eksistensi Pasal 2 ayat 2 UU Grasi sebagai suatu norma hukum telah mengakibatkan tertutupnya akses keadilan bagi pencari keadilan yang dipidana di bawah 2 tahun untuk meminta hak atas keadilan kepada Presiden berupa pengampunan dari pelaksanaan pidana.
Bila terpidana dipidana mati, dipidana seumur hidup, atau pun dipidana di atas 2 tahun saja diberikan hak untuk mengajukan grasi kepada Presiden, lalu mengapa terpidana yang dihukum pidana di bawah 2 tahun justru ditutup hak atas keadilan oleh undang-undang?
Dengan kata lain UU Grasi memberikan hak permohonan grasi kepada terpidana yang dipidana mati, tetapi mematikan hak permohonan grasi Baiq Nuril yang dipidana 6 bulan penjara (di bawah 2 tahun). Sepatutnya, hukum sebagai senjata pencari keadilan harus memberi ruang khusus bagi seluruh terpidana untuk memperoleh hak-hak atas keadilan agar dapat tercapai melalui saluran hukum.
Semestinya, hak atas keadilan itu tidak hanya diberikan kepada terpidana mati, terpidana seumur hidup, ataupun terpidana dengan pidana di atas 2 tahun, tetapi hukum juga harus membuka akses keadilan bagi terpidana dengan hukuman pidana di bawah 2 tahun, seperti Baiq Nuril.
Salah satu tugas Presiden Jokowi adalah menyingkirkan segala aturan hukum yang tidak berkeadilan dan menciptakan norma-norma hukum yang melahirkan keadilan. Sejatinya, sesama terpidana haruslah memiliki kesamaan hak terhadap akses keadilan tampa membeda-bedakan vonis hukuman agar prinsip equality before of the law dapat terpenuhi sehingga senyuman keadilan dapat terlihat di wajah hukum negeri ini.
Windu Wijaya, SH, MH ; Advokat, peneliti hukum pada Pusat Studi Filsafat Hukum
Berbagai pendapat publik mengenai putusan PK MA terhadap Baiq Nuril tersebut terus bermunculan. Ada yang menyebutkan putusan tersebut tidak melindungi perempuan, ada pula yang menuturkan bahwa pengadilan tahu hukum, tapi buta akan keadilan. Bahkan tak jarang publik menilai Baiq Nuril adalah korban kriminalisasi.
Namun apa pun kritik publik terhadap putusan PK tersebut, putusan PK tetaplah produk hukum yang bersifat mengikat. Baiq Nuril tetaplah seorang terpidana, yaitu seseorang yang terbukti secara legal telah melakukan kejahatan sehingga harus menjalani hukuman.
Kewenangan Amnesti Pasca PK Baiq Nuril ditolak MA, Presiden Jokowi memberikan tanggapan untuk mempertimbangkan apakah akan memberikan amnesti atau tidak kepada Baiq Nuril.
Hasrat agar memperoleh amnesti dari presiden tentulah sesuatu yang diinginkan oleh banyak terpidana termasuk Baiq Nuril. Sebab dampak yuridis dari pemberian amnesti oleh presiden kepada seorang terpidana akan menghapuskan segala akibat dari ancaman hukum pidana. Ini berarti terpidana yang memperoleh amnesti tidak perlu lagi menjalani pidana yang dijatuhkan oleh pengadilan kepadanya.
Lalu, ketentuan apakah yang disyaratkan oleh undang-undang untuk memperoleh amnesti dari Presiden? Pasal 1 Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 Tanggal 27 Desember 1954 Tentang Amnesti dan Abolisi menerangkan bahwa Presiden atas kepentingan Negara, dapat memberi amnesti kepada orang-orang yang telah melakukan sesuatu tindakan pidana.
Dalam perangkat norma tentang amnesti tidak ada pembatasan yang diberikan oleh aturan hukum mengenai kriteria pidana yang dijatuhkan kepada terpidana sebagaimana yang kita jumpai dalam syarat tentang grasi. Artinya, sekalipun Baiq Nuril dipidana di bawah 2 tahun, ia diberikan hak untuk mengajukan permohonan amnesti kepada Presiden.
Syarat yang diberikan oleh undang-undang kepada Presiden untuk memberikan amnesti kepada terpidana adalah amnesti tersebut diberikan atas kepentingan negara. Timbul pertanyaan, apakah memberikan amnesti kepada Baiq Nuril masuk kategori kepentingan negara?
Dirunut dengan menggunakan optik historikal, amnesti diberikan kepada orang-orang yang tersangkut dengan pemberontakan yang telah insyaf dan kembali ke pangkuan Republik Indonesia. Sebab itu lahirlah Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 449 Tahun 1961 Tentang Pemberian Amnesti Dan Abolisi Kepada Orang-Orang Yang Tersangkut Dengan Pemberontakan.
Memasuki era Reformasi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun pernah memberikan amnesti kepada orang yang terlibat dalam Gerakan Aceh Merdeka. Hai ini tertuang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2005 Tentang Pemberian Amnesti Umum Dan Abolisi Kepada Setiap Orang Yang Terlibat Dalam Gerakan Aceh Merdeka. Pemberian amnesti ini diberikan dengan tujuan untuk kepentingan negara dan kesatuan bangsa.
Dari pendekatan historis itu, kita dapat menyimpulkan bahwa pemberian amnesti tidaklah tepat diberikan kepada Baiq Nuril. Mengapa? Sebab, amnesti secara pendekatan historis ditujukan kepada pelaku tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara (crime against state), seperti makar.
Sedangkan kasus Baiq Nuril bukanlah kejahatan terhadap keamanan negara, melainkan kejahatan terhadap orang (crime against person). Kalau begitu, tampaknya ada masalah ketidakadilan yang serius dalam kondisi Baiq Nuri untuk memperoleh pengampunan dari hukuman pidana.
Karena itu, marilah kita coba lacak apa penyebab ketidakadilan ini.
Melacak Ketidakadilan
Sebetulnya, upaya memperoleh keadilan tidak berakhir dengan putusan Peninjauan Kembali (PK).
Memang, PK adalah upaya hukum terakhir dalam sistem peradilan pidana, tetapi bukan akhir dari upaya memperoleh keadilan. Secara yuridis Baiq Nuril adalah seorang terpidana, namun hak atas keadilan tidak dapat dicabut hanya karena ia seorang terpidana.
Guna menjamin hak terpidana atas keadilan tersebut, negara telah memberikan perlindungan normatif bagi terpidana untuk memenuhi keadilannya, di antaranya adalah melalui amnesti dan grasi. Amnesti ditujukan kepada pelaku kejahatan terhadap negara dengan tujuan atas kepentingan negara, sedangkan grasi ditujukan kepada kejahatan terhadap orang dengan tujuan kepentingan individu guna memperoleh keadilan.
Lalu muncul pertanyaan, apakah Baiq Nuril sebagai terpidana yang dipidana 6 bulan penjara berhak mendapatkan grasi dari Presiden Jokowi?
Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (UU Grasi) memberikan jawabannya dengan menerangkan bahwa Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi hanyalah pidana mati, penjara seumur hidup, penjara paling rendah 2 (dua) tahun.
Keberadaan Pasal 2 ayat 2 UU Grasi merupakan tembok hukum bagi Baiq Nuril sebagai terpidana yang divonis 6 bulan penjara yang akan menghalangi perempuan asal Mataram tersebut untuk mengajukan permohonan grasi kepada Presiden. Kondisi ini disebabkan karena adanya pembatasan hukum yang diberikan oleh UU Grasi.
Bila melacak penyebab ketidakadilan bagi Baiq Nuril, maka bukanlah norma dalam undang-undang yang mengatur amnesti penyebabnya. Melainkan ketentuan Pasal 2 ayat 2 UU Grasi-lah yang menjadi penghalang bagi terpidana di bawah 2 tahun memperoleh hak mengajukan permohonan grasi kepada Presiden.
Realitas hukum dalam kasus Baiq Nuril ini sepatutnya dapat dijadikan refleksi hukum oleh pembuat undang-undang untuk melakukan pembaharuan hukum tentang grasi. Hal ini disebabkan eksistensi Pasal 2 ayat 2 UU Grasi sebagai suatu norma hukum telah mengakibatkan tertutupnya akses keadilan bagi pencari keadilan yang dipidana di bawah 2 tahun untuk meminta hak atas keadilan kepada Presiden berupa pengampunan dari pelaksanaan pidana.
Bila terpidana dipidana mati, dipidana seumur hidup, atau pun dipidana di atas 2 tahun saja diberikan hak untuk mengajukan grasi kepada Presiden, lalu mengapa terpidana yang dihukum pidana di bawah 2 tahun justru ditutup hak atas keadilan oleh undang-undang?
Dengan kata lain UU Grasi memberikan hak permohonan grasi kepada terpidana yang dipidana mati, tetapi mematikan hak permohonan grasi Baiq Nuril yang dipidana 6 bulan penjara (di bawah 2 tahun). Sepatutnya, hukum sebagai senjata pencari keadilan harus memberi ruang khusus bagi seluruh terpidana untuk memperoleh hak-hak atas keadilan agar dapat tercapai melalui saluran hukum.
Semestinya, hak atas keadilan itu tidak hanya diberikan kepada terpidana mati, terpidana seumur hidup, ataupun terpidana dengan pidana di atas 2 tahun, tetapi hukum juga harus membuka akses keadilan bagi terpidana dengan hukuman pidana di bawah 2 tahun, seperti Baiq Nuril.
Salah satu tugas Presiden Jokowi adalah menyingkirkan segala aturan hukum yang tidak berkeadilan dan menciptakan norma-norma hukum yang melahirkan keadilan. Sejatinya, sesama terpidana haruslah memiliki kesamaan hak terhadap akses keadilan tampa membeda-bedakan vonis hukuman agar prinsip equality before of the law dapat terpenuhi sehingga senyuman keadilan dapat terlihat di wajah hukum negeri ini.
Windu Wijaya, SH, MH ; Advokat, peneliti hukum pada Pusat Studi Filsafat Hukum