Kasus Baiq Nuril, Ironi Korban Pelecehan Seksual
SUDAH jatuh tertimpa tangga. Inilah nasib yang dialami Baiq Nuril Maknun, ibu muda satu anak yang menjadi korban tindak pelecehan seksual atasannya, tetapi justru ia yang dihukum penjara 6 bulan oleh Mahkamah Agung (MA). Pengajuan PK Baiq Nuril ditolak MA. Nuril yang merekam omongan mesum Kepala SMAN 7 Mataram dinilai telah melanggar Undang-Undang ITE sehingga meskipun sempat divonis bebas oleh PN Mataram, tetapi justru divonis bersalah oleh MA dengan tambahan denda Rp500 juta.
Banyak pihak menyayangkan keputusan MA yang dinilai mencederai rasa keadilan dan tidak berempati memahami Nuril dalam posisi sebagai korban. Sebagai perempuan, menerima telepon dari kepala sekolah tempat ia bekerja dan kemudian terpaksa harus mendengar omongan berbau mesum dan menggoda, sudah sewajarnya merasa tersinggung, malu, dan juga waswas. Untuk berjaga-jaga dan agar tidak berkembang menjadi fitnah, Nuril kemudian merekam perkataan mesum atasannya itu agar ia tidak disalahtafsirkan, baik oleh keluarga, teman kantor, maupun masyarakat umum.
Korban
Peristiwa yang dialami Nuril, telah menggugah perhatian dan simpati banyak pihak. Lebih dari sekadar kasus hukum yang seolah-olah dipraktikkan begitu saja tanpa hati, apa yang dialami Nuril sesungguhnya ialah imbas dari dominasi ideologi patriarki yang selama ini telah ter-internalized di benak masyarakat.
Peristiwa yang dialami Nuril, telah menggugah perhatian dan simpati banyak pihak. Lebih dari sekadar kasus hukum yang seolah-olah dipraktikkan begitu saja tanpa hati, apa yang dialami Nuril sesungguhnya ialah imbas dari dominasi ideologi patriarki yang selama ini telah ter-internalized di benak masyarakat.
Memperlakukan perempuan tidak dengan rasa hormat dan mengembangkan bahasa tubuh serta perilaku yang menjurus kepada pemberian perhatian seksual, apa pun alasannya ialah tindak pelecehan yang merendahkan martabat perempuan. Pelecehan seksual ialah sebuah bentuk pemberian perhatian seksual, baik secara lisan, tulisan, maupun fisik terhadap diri perempuan (Adrina, 1995). Sementara itu, menurut Michael Rubenstein (1992), yang dimaksud pelecehan seksual ialah sifat perilaku seksual yang tidak diinginkan atau tindakan yang didasarkan pada seks yang menyinggung si penerima.
Persamaan antara tindak pelecehan seksual dan pemerkosaan ialah keduanya sama-sama tidak diiinginkan perempuan yang menjadi korban, tapi acap kali kaum perempuan tak bisa berbuat apa-apa karena di sana terdapat dan sedang berlaku nilai atau konstruksi sosial masyarakat yang seolah-olah membenarkan peristiwa di atas atau minimal menuntut korban untuk selalu bersikap pasrah (Rohan Collier, 1998).
Cara pandang menyudutkan perempuan sebagai pihak yang inferior dan sekaligus ikut andil menstimulasi terjadinya tindak pelecehan seksual seperti inilah, tampaknya yang kemudian membuat sebagian aparat penegak hukum kurang berempati dan bahkan memperlakukan korban layaknya terdakwa yang ikut bersalah.
Untuk memahami secara baik faktor penyebab dan dampak terjadinya tindak pelecehan dan tindak kekerasan seksual yang menimpa perempuan menurut Kathryn Chadwick dan Catherine Little (1993)--harus ditempatkan pada konteks yang lebih luas, yang mana posisi kaum perempuan dan perilakunya secara sosial didefinisikan dan dikontrol. Artinya, kenapa tindak pelecehan seksual terjadi sesungguhnya tidak cukup hanya dikatakan sebagai ekspresi dari ulah mesum laki-laki yang sulit dikontrol, tetapi karena di sana ada relasi yang asimetris yang mensubordinasi perempuan.
Secara teoretis, dapat dikatakan di sini bahwa tindak pelecehan dan kekerasan seksual terhadap perempuan oleh laki-laki pada hakekatnya ialah gejala yang sangat kompleks, mengakar dalam hubungan kekuasaan yang berbasis gender, seksualitas, identitas diri, serta dipengaruhi pranata-pranata sosial yang berkembang di komunitas itu. Kekerasan dan tindak pelecehan seksual, dalam banyak kasus dianggap sebagai suatu perpanjangan kontinum keyakinan yang memberi hak kepada laki-laki untuk mengendalikan perilaku perempuan, membuat perempuan tidak memiliki kebebasan terhadap kehidupan seksual dan peran reproduktifnya sendiri.
Apa yang dialami Nuril, misalnya, kalau menurut logika akal sehat tentu posisinya ialah sebagai korban yang seharusnya didengar suaranya dan dilindungi agar tidak menjadi korban ulah laki-laki mesum yang sengaja menggoda dan memancing kesempatan. Pandangan serampangan yang mengatakan bahwa pelecehan dan kekerasan seksual terjadi karena semakin banyak perempuan yang berani berpakaian mini dan ketat serta dengan sengaja menonjolkan keindahan tubuhnya harus benar-benar ditepis. Seorang ibu yang lugu dan tidak berdaya, justru sering menjadi korban tindak pelecehan seksual oleh orang-orang yang berkuasa di sekitarnya karena ideologi patriarki yang berkembang dominan.
Mendekonstruksi cara pandang
Untuk menyelamatkan Nuril agar tidak menjadi korban keputusan hukum yang mencederai rasa keadilan, salah satu jalan yang direkomendasikan sejumlah pakar hukum ialah melalui mekanisme peninjauan kembali (PK) atau pemberian amnesti oleh Presiden. Amnesti dari Presiden ini lebih direkomendasikan sebab prosesnya lebih singkat. Begitu dikeluarkan Presiden dan disetujui DPR, maka keputusan amnesti otomatis akan diberlakukan.
Untuk menyelamatkan Nuril agar tidak menjadi korban keputusan hukum yang mencederai rasa keadilan, salah satu jalan yang direkomendasikan sejumlah pakar hukum ialah melalui mekanisme peninjauan kembali (PK) atau pemberian amnesti oleh Presiden. Amnesti dari Presiden ini lebih direkomendasikan sebab prosesnya lebih singkat. Begitu dikeluarkan Presiden dan disetujui DPR, maka keputusan amnesti otomatis akan diberlakukan.
Bagi Nuril, apa pun jalan keluar yang bakal ditempuh dan direkomendasikan, semua tergantung pada berbagai pihak yang mendampingi dan juga kepedulian para elite politik yang memiliki kewenangan memutuskan nasib dan masa depannya. Sebagai seorang ibu yang memiliki anak masih kecil dan juga sebagai keluarga yang sehari-hari hidup pas-pasan, vonis hukuman 6 bulan penjara plus denda Rp500 juta jelas sama sekali di luar bayangan dan kemampuannya.
Dari segi prosedur hukum yang berlaku, keputusan memang telah dikeluarkan dan vonis telah pula dijatuhkan. Namun, kalau melihat solidaritas dan dukungan yang bermunculan di berbagai daerah, sebetulnya dibutuhkan keberanian dari aparat penegak hukum dan elite politik untuk menempuh jalan alternatif sebagai koreksi atas vonis yang mencederai asas keadilan.
Mencuatnya kasus Nuril menjadi perbincangan hangat di media massa, bagaimanapun ini ialah sebuah momentum untuk melakukan dekonstruksi dan kemudian merekonstruksi kembali cara pandang baru yang lebih adil memperlakukan kaum perempuan. Hukum bukanlah teks-teks aturan yang kaku dan tidak memiliki roh yang menyuarkan nurani. Hukum ialah produk aturan yang dalam implementasinya membutuhkan muatan kepedulian, kejujuran, dan empati yang mendalam kepada orang-orang yang menjadi korban tindak pelecehan seksual. Tanpa didukung rasa empati yang mendalam, niscaya masih akan terus bermunculan Nuril-Nuril yang lain. ***