Kamis 04 Juli 2019, 14:06 WIB
Kolom
Menguji Kematangan NU
Terpilihnya KH Maruf Amin yang sebelumnya menempati posisi pucuk tertinggi organisasi Nahdlatul Ulama (Rais Aam PBNU) sebagai wakil presiden RI memunculkan kekhawatiran beberapa pihak. Apakah NU telah melanggar khittah 1926 sebagai organisasi sosial keagamaan pada satu sisi, dan apakah NU akan menjadi ideologi keagamaan bagi negara Indonesia pada sisi lain.
Kekhawatiran serupa sebenarnya pernah muncul ketika KH Abdurrahman Wahid yang saat itu menjadi Ketua Umum Tanfidziyah PBNU menjadi presiden. Tak hanya di kalangan non-NU, di internal NU pun muncul gejolak, terutama di arena muktamar Lirboyo (1999).
Sekalipun mendeklarasikan sebagai organisasi sosial-keagamaan, NU tidak pernah bisa lepas dari kegiatan politik, baik politik kebangsaan maupun politik praktis. NU lahir dari rahim politik global sebagai bentuk penolakan terhadap paham dan gerakan wahhabisme di Arab Saudi. Dalam rekaman sejarah juga tercatat, NU pernah menjadi partai politik pada 1952 dengan perolehan suara 18,4 persen.
Pasca Reformasi, NU pun membidani lahirnya partai politik, Partai Kebangkitan Bangsa. Karena itulah, sekalipun NU telah memutuskan menarik diri dari politik praktis pada muktamar NU ke-27 pada 1984. Namun sebagai organisasi islam terbesar bahkan di dunia tak pernah benar-benar lepas dari peristiwa politik. Tak bisa dibantah, keterpilihan KH Maruf Amin sebagai pasangan Joko Widodo tak bisa dilepaskan dari posisinya sebagai orang terpenting di NU. Begitu pun elektabilitasnya sebagai wakil presiden tak luput dari sokongan warga nahdliyin.
Politik Tingkat Tinggi
Untuk menjawab kekhawatiran tersebut, pada 2013 (alm) KH Sahal Mahfuz memberikan arahan agar NU menghindarkan diri dari politik tingkat rendah (low politics), yaitu politik kekuasaan. NU harus bergerak dalam politik kebangsaan, kerakyatan, dan etika berpolitik.
Politik kebangsaan oleh penulis buku Thariqat al-Hushul ila Ghayat al-Ushul ini dimaknai sebagai sikap politik yang berorientasi pada sikap proaktif mempertahankan NKRI dan Pancasila. Sementara politik kerakyatan antara lain bermakna keharusan NU memberikan penyadaran tentang hak dan kewajiban rakyat, melindungi dan membela mereka dari perlakukan sewenang-wenang dari pihak manapun. Dan, etika berpolitik harus menjadi sikap gerak seluruh warga NU untuk terus mengedepankan kesantunan dan moral serta tidak menghalalkan segala cara.
Politik tingkat tinggi (high politics) NU sebagaimana yang dirumuskan oleh Rais Aam PBNU periode 1999-2014 tersebut akan menjadi jawaban atas kekhawatiran sebagian kalangan perihal relasi NU dengan negara seiring dengan terpilihnya KH Maruf Amin sebagai wakil presiden 2019-2024. Juga, dengan cara seperti inilah, NU tidak melanggar Khittah 1926.
Justu, NU akan melakonkan peran penting untuk politik Indonesia. Pasalnya, ketika KH Maruf Amin menjadi wakil presiden, ia tak lagi menjadi milik NU semata, tetapi milik seluruh rakyat Indonesia. Dengan cara pandang ini, NU dapat memberikan kontrol dan kritik kepada pemerintah manakala ada kebijakan yang sekiranya keluar dari landscape NKRI dan Pancasila, memberikan advokasi terhadap warga yang hak-hak warga-negaranya dicaplok.
Peran kontrol dan kritik seperti ini sebenarnya telah dilakukan NU kepada pemerintah sejak dahulu, bahkan pada saat salah satu petinggi NU menjadi presiden ataupun wakil presiden. Ketika KH Abdurrahman Wahid terpilih sebagai presiden, ataupun Jusuf Kalla yang notabene sebagai mustasyarPBNU, NU tidak serta merta membebek kepada negara. Sebaliknya NU tetap berdiri tegak untuk melancarkan kritik terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai tidak sesuai dengan kepentingan rakyat banyak.
Dengan demikian, terpilihnya KH Maruf Amin sebagai wakil presiden tak akan mengurangi dosis saran, nasihat, dan bahkan kritik terhadap kebijakan negara.
Yang Lebih Penting dari Politik
Pernyataan KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, "Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan," semakin menemukan momentumnya pada saat orang per orang semakin mendegradasi nilai-nilai kemanusiaan akibat keserakahan, egoisme, dan kepentingan sesaat. Hanya demi merebut kekuasaan, seseorang tak jarang menghalalkan segala cara. Politik hanya dimaknai sebagai seni perebutan kekuasaan.
Lalu, apa yang lebih penting dari soal politik ini bagi NU? Ada dua persoalan krusial yang perlu dilakukan NU. Pertama, di internal sendiri, NU memiliki pekerjaan rumah yang tidak ringan, mulai dari peningkatan kualitas warga nahdliyin baik pada aspek pendidikan maupun ekonomi sampai pada perbaikan managerial demi terwujudnya good governance.
Dalam bidang pendidikan, NU memiliki kuantitas lembaga pendidikan yang sangat banyak. Lebih dari 25 ribu pondok pesantren dengan lebih dari 5 juta santri yang berada di bawah Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI), dan terdapat lebih dari 48 ribu madrasah yang berada di bawah naungan Lembaga Pendidikan Maarif NU, dan lebih dari 30 Perguruan Tinggi. Lembaga-lembaga pendidikan tersebut perlu menjadi perhatian yang cukup serius bagi NU, bukan hanya dari segi kuantitas tetapi juga peningkatan kualitas pendidikannya.
Ini penting, karena kualitas pendidikan kita secara nasional masih kalah bersaing dengan pendidikan-pendidikan di negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia. Kajian dari CFEE Annual Research Digest 2016/2017 menyimpulkan bahwa anak Indonesia akan siap menghadap abad ke-21 nanti pada abad ke-31. Artinya, kita tertinggal 1000 tahun. Untuk itu, perlu kerja-kerja tak biasa untuk memperbaiki kualitas pendidikan di NU.
Secara ekonomi, warga NU berada di lapisan terbawah. Mereka adalah kelompok yang paling rentan terhadap pembangunan, bencana alam, bencana sosial, dan bahkan bencana politik. Karena itulah, mengentaskan kemiskinan warga NU sama halnya dengan mengentaskan kemiskinan sebagian besar rakyat Indonesia.
Kedua, secara eksternal, NU memiliki mandat moral, kebangsaan dan kenegaraan yang tidak ringan. Tak bisa disanggah bahwa moral bangsa berada dalam titik nadir. Kerusuhan, fitnah, penyebaran hoaks, ujaran kebencian, narkoba, dan korupsi adalah wujud dari rendahnya moral bangsa. Beragam krisis itu menurut Schumacher (1997) berpangkal dari krisis spiritual dan krisis pengenalan kita terhadap Tuhan yang berkaitan dengan kepercayaan (belief) dan makna hidup (meaning of life).
Tenun kebangsaan kita nyaris saja sobek karena politik. Kedewasaan untuk menerima perbedaan pilihan politik tampaknya masih menjadi PR yang tak bisa dianggap enteng. Hal ini semakin diperparah dengan semakin menguatnya paham intoleransi, radikalisme, dan ekstremisme yang tidak saja tumbuh di kalangan masyarakat umum, tetapi juga di internal Aparatur Sipil Negara. ***