Jumat 05 Juli 2019, 11:15 WIB
Menyelamatkan Lobster Kita
Setelah dua hari berturut-turut membaca tentang penyeludupan benih lobster di Harian Kompas, perasaan saya campur aduk, terkejut, karena lobster sudah disamakan dengan narkoba --penyelundupannya dilakukan oleh mafia. Sedih, karena kita kecolongan benih lobster yang bisa mencapai nilai triliunan rupiah, angka yang sangat fantastik. Gembira, karena ternyata Indonesia kaya dengan benih lobster. Prihatin, karena yang juara memproduksi lobster negara lain, bukan Indonesia. Terakhir ngeri, karena benih lobster terancam punah di bumi tercinta ini. Dari berkecamuknya perasaan yang macam-macam, timbullah satu tekad, lobster harus diselamatkan!
Modus Penyelundupan
Dari apa yang dikemukakan di Kompas sudah sangat jelas modus operandi penyelundupan Lobster. Dari sinilah saya mencoba menganalisis dari sisi yang lain, yaitu dari sisi pola bisnis pada umumnya; ada barang, ada distribusi, dan ada pasar. Secara alami dari dulu lobster merupakan komoditas mewah dan mempunyai nilai jual/ekspor yang tinggi dan pola bisnisnya pun seperti itu adanya. Hanya saja dulu tidak diatur dan bebas untuk pengadaan benih lobster dengan cara menangkap benihnya, kemudian distribusi bisa secara bebas ke mana saja baik di dalam maupun di luar negeri, boleh diekspor atau dijual domestik.
Sebetulnya kalau pola bisnis itu dilakukan secara normal, usaha Lobster akan dapat menguntungkan semua pihak. Namun sifat manusia yang ingin gampang dan untung banyak, maka yang dikerjakan hanya jor-joran ekspor benih lobster saja tanpa mengerjakan segmen bisnis lainnya dan ini sangat berbahaya untuk stok benih lobster, sebab bisa punah. Kondisi inilah yang merangsang pemerintah untuk membenahi pola bisnis lobster.
Pemerintah melarang menangkap benih lobster, tetapi tidak diiringi dengan adanya pusat-pusat benih lobster hasil pembenihan. Dengan kondisi ini, secara otomatis mematikan segmen penyediaan barang, yaitu benih lobster. Distribusi dan pasar dalam negeri juga mati, karena lobster dilarang dijual untuk dibudidayakan dalam negeri. Dengan pengaturan seperti itu, pemerintah bermaksud baik, menyerahkan penyediaan lobster itu kepada alam, biarlah alam yang memelihara induk, benih sampai ukuran 200 gram, manusia tinggal menangkap hasilnya untuk dimakan.
Maksud baik pemerintah ini seyogianya dibarengi dengan riset secara mendalam terhadap lobster, secara teknis, sosial dan ekonomi, karena menurut para ahli laju kehidupan (survival rate) benih lobster di alam hanya bisa mencapai 0,004%, sedangkan kalau dipelihara/dibudidayakan bisa mencapai 1,00%. Jadi kalau dipelihara, benih lobster yang hidup bisa mencapai 250 kali lebih banyak dibanding dibiarkan di alam. Dari segi sosial penangkapan lobster merupakan budaya para nelayan, sehingga merupakan bagian dari hidupnya. Selanjutnya dari segi ekonomi secara turun menurun penangkapan benih lobster itu merupakan mata pencaharian nelayan.
Dengan kondisi tersebut di atas, maka tidak mudah untuk para nelayan meninggalkan kegiatan menangkap benih lobster. Akibatnya walaupun dilarang dan dengan segala risiko, tetap saja benih lobster tersedia, apalagi bisa dijual dengan harga yang jauh lebih tinggi dari sebelum dilarang.
Untuk distribusi benih lobster hingga sampai ke pasar, pemerintah banyak terkecoh dengan pelabuhan-pelabuhan laut dan udara yang resmi, sehingga menjadi target pantauan distribusi benih lobster di dalam dan luar negeri. Ini pun ada hasilnya sepertinya kata Kepala BKIPM KKP, selama 4 tahun bisa menggagalkan penyelundupan benih lobster senilai Rp 1 triliun. Tetapi jangan diabaikan, Indonesia itu banyak memiliki "pelabuhan tikus" yang secara alami sudah ada dan dibuat secara tidak resmi oleh yang membutuhkan untuk kepentingannya, terutama di kabupaten/kota yang berbatasan dengan negara tetangga sebagai tempat transit penyelundupan. Distribusi benih lobster secara ilegal melalui pelabuhan-pelabuhan tikus ini.
Pasar dalam negeri untuk menjual benih lobster boleh saja tutup karena aturan tidak mengizinkan. Kondisi ini justru disambut dengan suka ria oleh pasar di negara tetangga , karena peluang untuk dapat benih lobster dari Indonesia semakin besar, sebab pasar dalam negeri sebagai saingannya sudah tutup. Mereka pinter, tidak mau terjun atas nama negara, tetapi menggunakan asosiasi profesional untuk mengatur supaya benih lobster dari Indonesia sampai di pasar negara mereka, sehingga pasar baby lobster di negara mereka legal dan diakui dunia. Segala risiko yang timbul, pemerintahnya tidak tersentuh.
Mereka berani membeli dengan harga tinggi, biaya distribusi yang tidak murah, serta kalau gagal dan tertangkap, negara bersih. Paling-paling personal yang terpidana dan itu pun susah dilacak sampai ke akarnya. Kondisi ini yang membuat gelap mata penangkap dan penakar benih lobster di Tanah Air, dan dengan ini juga mengubah image penyelundupan benih lobster menjadi bisnis yang menggiurkan. Walaupun risikonya tinggi, tetapi mendatangkan keuntungan melimpah.
Penyelamatan Benih
Seperti telah disebutkan di atas , tidak ada kata lain untuk lobster selain harus diselamatkan. Upaya-upaya untuk menyelamatkan benih lobster menurut hemat saya sebagai berikut. Pertama, buat jera penyelundup lobster sampai ke akar-akarnya. Kepada mereka dan penyeludup lainnya harus ditindak dengan tegas seperti yang telah dilakukan selama ini kepada pelaku illegal fishing; penjarakan orangnya, hancurkan sarana prasarananya, serta bekukan dan telusuri dokumen-dokumennya. Sampai pelaku-pelaku penyeludupan benar-benar jera.
Kedua, hasilkan teknologi. Indonesia harus dapat menghasilkan teknologi untuk membenihkan dan membudidayakan lobster, sehingga selalu tersedia induk, benih, dan lobster ukuran konsumsi secara komersial yang tidak mengandalkan dari alam. Untuk hal ini Indonesia punya pengalaman dari udang windu dan bandeng, yang awalnya dianggap mahal dan tidak efisien, tetapi akhirnya menjadi bisnis yang menguntungkan. Begitu juga dengan lobster, harus berani mencoba dengan target Indonesia menjadi sentra benih lobster hasil budidaya.
Ketiga, izinkan menangkap benih lobster. Izinkan penangkapan benih lobster di alam untuk kepentingan Indonesia dengan sistem zonasi dan kuota seperti yang dilakukan RMFO pada penangkapan tuna . Untuk sistem pemantauan dan aturan mainnya bisa mengadopsi yang digunakan RFMO, tinggal menyesuaikan dengan kondisi Indonesia. Berbarengan dengan itu, tunjuk BUMN Perikanan untuk menjadi buyer dan market tunggal benih lobster hasil tangkapan.
Keempat, izinkan budidaya lobster. Selama ini, pasar benih lobster yang berani buka hanya di luar Negeri, karena pasar di dalam negeri yaitu pembudidaya dilarang. Kuatnya pasar luar negeri luar biasa, walaupun sudah dilarang malah semakin semarak melalui distribusi ilegal yaitu penyelundupan. Oleh karena itu sudah saatnya pasar dalam negeri dibuka kembali dengan mengizinkan pembudidaya lobster membeli benih lobster hasil tangkapan.
Kelima, join bisnis dengan negara tetangga. Untuk menutup akses pelabuhan-pelabuhan tikus yang berhubungan langsung dengan negara tetangga tidaklah mudah, karena butuh SDM, dana, sarana-prasarana, dan energi yang harus dikeluarkan untuk menjaganya. Oleh karena itu akan lebih bijaksana kalau dibuatkan join bisnis lobster dengan negara-negara tetangga yang bergerak di bidang lobster, misalnya dengan Singapura dan Vietnam. Dalam kerja sama itu, harus ditetapkan jual-beli benih lobster dan lobster konsumsi secara legal dan terbuka, dengan kuota dan harga yang jelas serta reward dan punishmentyang tegas. Join bisnis ini untuk mengatur ekspor-impor benih lobster dan lobster sehingga menjadi legal dan menguntungkan semua pihak. Seperti join bisnis salmon yang dilakukan Norwegia dengan negara-negara tetangganya.
Keenam, road map lobster. Oleh karena lobster merupakan komoditas ekspor yang menjanjikan, maka pemerintah harus berani menata kembali tentang perlobsteran ini, dengan mengubah dari lobster sebagai barang selundupan menjadi lobster sebagai penghasil devisa nomor dua setelah tuna. Untuk mewujudkan hal ini, tentunya harus dimulai dari membuat road map lobster dari hulu ke hilir, memperhatikan faktor internal dalam negeri serta faktor eksternal luar negeri, sehingga jadilah road map yang komprehensif dan holistik untuk mewujudkan Indonesia sebagai penghasil lobster nomor satu di dunia.
Pada akhirnya panjang pantai, luas laut dan keanekaan hayati yang dimiliki Indonesia tidak saja membuat kagum dunia dan euforia jargon semata, tetapi harus diiringi dengan kemampuan mewujudkan negara Indonesia sebagai penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar di dunia. Lobster adalah salah satu anugerah Tuhan sebagai komoditas yang dapat mewujudkan itu semua, tinggal tergantung kemauan kita mau sampai ke sana atau tidak. Jangan sampai kufur nikmat!
Dedy Heryadi Sutisna ; Dosen sekolah Tinggi Perikanan
Modus Penyelundupan
Dari apa yang dikemukakan di Kompas sudah sangat jelas modus operandi penyelundupan Lobster. Dari sinilah saya mencoba menganalisis dari sisi yang lain, yaitu dari sisi pola bisnis pada umumnya; ada barang, ada distribusi, dan ada pasar. Secara alami dari dulu lobster merupakan komoditas mewah dan mempunyai nilai jual/ekspor yang tinggi dan pola bisnisnya pun seperti itu adanya. Hanya saja dulu tidak diatur dan bebas untuk pengadaan benih lobster dengan cara menangkap benihnya, kemudian distribusi bisa secara bebas ke mana saja baik di dalam maupun di luar negeri, boleh diekspor atau dijual domestik.
Sebetulnya kalau pola bisnis itu dilakukan secara normal, usaha Lobster akan dapat menguntungkan semua pihak. Namun sifat manusia yang ingin gampang dan untung banyak, maka yang dikerjakan hanya jor-joran ekspor benih lobster saja tanpa mengerjakan segmen bisnis lainnya dan ini sangat berbahaya untuk stok benih lobster, sebab bisa punah. Kondisi inilah yang merangsang pemerintah untuk membenahi pola bisnis lobster.
Pemerintah melarang menangkap benih lobster, tetapi tidak diiringi dengan adanya pusat-pusat benih lobster hasil pembenihan. Dengan kondisi ini, secara otomatis mematikan segmen penyediaan barang, yaitu benih lobster. Distribusi dan pasar dalam negeri juga mati, karena lobster dilarang dijual untuk dibudidayakan dalam negeri. Dengan pengaturan seperti itu, pemerintah bermaksud baik, menyerahkan penyediaan lobster itu kepada alam, biarlah alam yang memelihara induk, benih sampai ukuran 200 gram, manusia tinggal menangkap hasilnya untuk dimakan.
Maksud baik pemerintah ini seyogianya dibarengi dengan riset secara mendalam terhadap lobster, secara teknis, sosial dan ekonomi, karena menurut para ahli laju kehidupan (survival rate) benih lobster di alam hanya bisa mencapai 0,004%, sedangkan kalau dipelihara/dibudidayakan bisa mencapai 1,00%. Jadi kalau dipelihara, benih lobster yang hidup bisa mencapai 250 kali lebih banyak dibanding dibiarkan di alam. Dari segi sosial penangkapan lobster merupakan budaya para nelayan, sehingga merupakan bagian dari hidupnya. Selanjutnya dari segi ekonomi secara turun menurun penangkapan benih lobster itu merupakan mata pencaharian nelayan.
Dengan kondisi tersebut di atas, maka tidak mudah untuk para nelayan meninggalkan kegiatan menangkap benih lobster. Akibatnya walaupun dilarang dan dengan segala risiko, tetap saja benih lobster tersedia, apalagi bisa dijual dengan harga yang jauh lebih tinggi dari sebelum dilarang.
Untuk distribusi benih lobster hingga sampai ke pasar, pemerintah banyak terkecoh dengan pelabuhan-pelabuhan laut dan udara yang resmi, sehingga menjadi target pantauan distribusi benih lobster di dalam dan luar negeri. Ini pun ada hasilnya sepertinya kata Kepala BKIPM KKP, selama 4 tahun bisa menggagalkan penyelundupan benih lobster senilai Rp 1 triliun. Tetapi jangan diabaikan, Indonesia itu banyak memiliki "pelabuhan tikus" yang secara alami sudah ada dan dibuat secara tidak resmi oleh yang membutuhkan untuk kepentingannya, terutama di kabupaten/kota yang berbatasan dengan negara tetangga sebagai tempat transit penyelundupan. Distribusi benih lobster secara ilegal melalui pelabuhan-pelabuhan tikus ini.
Pasar dalam negeri untuk menjual benih lobster boleh saja tutup karena aturan tidak mengizinkan. Kondisi ini justru disambut dengan suka ria oleh pasar di negara tetangga , karena peluang untuk dapat benih lobster dari Indonesia semakin besar, sebab pasar dalam negeri sebagai saingannya sudah tutup. Mereka pinter, tidak mau terjun atas nama negara, tetapi menggunakan asosiasi profesional untuk mengatur supaya benih lobster dari Indonesia sampai di pasar negara mereka, sehingga pasar baby lobster di negara mereka legal dan diakui dunia. Segala risiko yang timbul, pemerintahnya tidak tersentuh.
Mereka berani membeli dengan harga tinggi, biaya distribusi yang tidak murah, serta kalau gagal dan tertangkap, negara bersih. Paling-paling personal yang terpidana dan itu pun susah dilacak sampai ke akarnya. Kondisi ini yang membuat gelap mata penangkap dan penakar benih lobster di Tanah Air, dan dengan ini juga mengubah image penyelundupan benih lobster menjadi bisnis yang menggiurkan. Walaupun risikonya tinggi, tetapi mendatangkan keuntungan melimpah.
Penyelamatan Benih
Seperti telah disebutkan di atas , tidak ada kata lain untuk lobster selain harus diselamatkan. Upaya-upaya untuk menyelamatkan benih lobster menurut hemat saya sebagai berikut. Pertama, buat jera penyelundup lobster sampai ke akar-akarnya. Kepada mereka dan penyeludup lainnya harus ditindak dengan tegas seperti yang telah dilakukan selama ini kepada pelaku illegal fishing; penjarakan orangnya, hancurkan sarana prasarananya, serta bekukan dan telusuri dokumen-dokumennya. Sampai pelaku-pelaku penyeludupan benar-benar jera.
Kedua, hasilkan teknologi. Indonesia harus dapat menghasilkan teknologi untuk membenihkan dan membudidayakan lobster, sehingga selalu tersedia induk, benih, dan lobster ukuran konsumsi secara komersial yang tidak mengandalkan dari alam. Untuk hal ini Indonesia punya pengalaman dari udang windu dan bandeng, yang awalnya dianggap mahal dan tidak efisien, tetapi akhirnya menjadi bisnis yang menguntungkan. Begitu juga dengan lobster, harus berani mencoba dengan target Indonesia menjadi sentra benih lobster hasil budidaya.
Ketiga, izinkan menangkap benih lobster. Izinkan penangkapan benih lobster di alam untuk kepentingan Indonesia dengan sistem zonasi dan kuota seperti yang dilakukan RMFO pada penangkapan tuna . Untuk sistem pemantauan dan aturan mainnya bisa mengadopsi yang digunakan RFMO, tinggal menyesuaikan dengan kondisi Indonesia. Berbarengan dengan itu, tunjuk BUMN Perikanan untuk menjadi buyer dan market tunggal benih lobster hasil tangkapan.
Keempat, izinkan budidaya lobster. Selama ini, pasar benih lobster yang berani buka hanya di luar Negeri, karena pasar di dalam negeri yaitu pembudidaya dilarang. Kuatnya pasar luar negeri luar biasa, walaupun sudah dilarang malah semakin semarak melalui distribusi ilegal yaitu penyelundupan. Oleh karena itu sudah saatnya pasar dalam negeri dibuka kembali dengan mengizinkan pembudidaya lobster membeli benih lobster hasil tangkapan.
Kelima, join bisnis dengan negara tetangga. Untuk menutup akses pelabuhan-pelabuhan tikus yang berhubungan langsung dengan negara tetangga tidaklah mudah, karena butuh SDM, dana, sarana-prasarana, dan energi yang harus dikeluarkan untuk menjaganya. Oleh karena itu akan lebih bijaksana kalau dibuatkan join bisnis lobster dengan negara-negara tetangga yang bergerak di bidang lobster, misalnya dengan Singapura dan Vietnam. Dalam kerja sama itu, harus ditetapkan jual-beli benih lobster dan lobster konsumsi secara legal dan terbuka, dengan kuota dan harga yang jelas serta reward dan punishmentyang tegas. Join bisnis ini untuk mengatur ekspor-impor benih lobster dan lobster sehingga menjadi legal dan menguntungkan semua pihak. Seperti join bisnis salmon yang dilakukan Norwegia dengan negara-negara tetangganya.
Keenam, road map lobster. Oleh karena lobster merupakan komoditas ekspor yang menjanjikan, maka pemerintah harus berani menata kembali tentang perlobsteran ini, dengan mengubah dari lobster sebagai barang selundupan menjadi lobster sebagai penghasil devisa nomor dua setelah tuna. Untuk mewujudkan hal ini, tentunya harus dimulai dari membuat road map lobster dari hulu ke hilir, memperhatikan faktor internal dalam negeri serta faktor eksternal luar negeri, sehingga jadilah road map yang komprehensif dan holistik untuk mewujudkan Indonesia sebagai penghasil lobster nomor satu di dunia.
Pada akhirnya panjang pantai, luas laut dan keanekaan hayati yang dimiliki Indonesia tidak saja membuat kagum dunia dan euforia jargon semata, tetapi harus diiringi dengan kemampuan mewujudkan negara Indonesia sebagai penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar di dunia. Lobster adalah salah satu anugerah Tuhan sebagai komoditas yang dapat mewujudkan itu semua, tinggal tergantung kemauan kita mau sampai ke sana atau tidak. Jangan sampai kufur nikmat!
Dedy Heryadi Sutisna ; Dosen sekolah Tinggi Perikanan