Merevisi "Presidential Threshold"

Rabu 03 Juli 2019, 15:10 WIB

Merevisi "Presidential Threshold"

Nur Istiqomah - detikNews

Pada dasarnya pemilu merupakan salah satu instrumen penting dari pelaksanaan pemerintahan demokratis yang diatur oleh UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Pemilu juga dapat dimaknai sebagai proses pengisian jabatan politik ataupun proses di mana rakyat memilih wakil-wakilnya untuk mengelola negara. Proses pengisian jabatan (salah satunya jabatan presiden) bersifat terbuka bagi setiap warga negara, karena warga negara memiliki hak untuk dapat dipilih dalam kontestasi politik dan hal tersebut diatur dalam konstitusi. 


Undang-Undang Pemilu mengatur mengenai ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) pada Pasal 222 yang berbunyi, "Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya." Menurut para pengamat, besaran dari ambang batas tersebut dinilai terlalu besar, sehingga jumlah pasangan calon yang akan diusung hanya dua pasang, meskipun partai politik pada 2014 yang berhasil masuk parlemen berjumlah sepuluh partai.

Jika aturan mengenai presidential threshold tidak berubah, maka pada Pilpres 2024 dimungkinkan jumlah pasangan calon yang akan diusung juga hanya dua pasang. Hal tersebut didasari oleh hasil rekapitulasi Pileg 2019, di mana dari sembilan partai yang berhasil melampaui parliamentary threshold tidak ada satu pun yang mencapai perolehan 20%, sehingga sangat dimungkinkan setiap partai politik untuk membentuk sebuah koalisi guna mencapai presidential threshold 20% dan koalisi tersebut dimungkinkan hanya melahirkan dua pasang calon.
Secara sosiologis, jumlah pasangan calon presiden yang terbatas hanya dua dapat menciptakan polarisasi yang cukup signifikan di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat akan terpola menjadi dua kelompok yang didasari oleh preferensi politik. Menurut W.G Sumner dalam teorinya mengenai klasifikasi kelompok sosial, ia mengemukakan bahwa dalam masyarakat terdapat dua jenis kelompok yaitu kelompok kita (we-group) atau kelompok dalam (in-group) dan kelompok orang lain (others-group) atau kelompok luar (out-group).

Kelompok dalam (in-group) bercirikan persahabatan, keteraturan, dan kedamaian, sedangkan kelompok luar (out-group) bercirikan kebencian, permusuhan, ketidakteraturan, dan konflik. Setiap kelompok masyarakat (dengan preferensi politik tertentu) akan memposisikan dirinya sebagai in-group dan menganggap kelompok lainnya sebagai out-group. Jadi, status in-group dan pelabelan out-group tergantung pada subjektivitas setiap individu yang tergabung dalam kelompok-kelompok tertentu dengan dasar preferensi politik (dalam hal ini pasangan calon presiden dan wakil presiden).

Dalam kontestasi Pilpres 2019, setiap kelompok masyarakat yang memiliki preferensi maupun berafiliasi dengan paslon 01 (Joko Widodo-Maruf Amin) maupun paslon 02 (Prabowo Subianto-Sandiaga Uno) akan menganggap dan memposisikan dirinya sebagai in-groupIn-group ini akan menganggap bahwa paslon yang mereka dukung adalah paslon yang paling baik dan seharusnya dijadikan acuan publik, lalu dilanjutkan dengan narasi-narasi yang menjatuhkan out-group. Sikap ini yang disebut sebagai etnosentrisme. Jika dibiarkan, sikap semacam ini dapat menciptakan konflik horizontal maupun vertikal yang berujung pada tindak kekerasan.

Di beberapa kesempatan, pada masa kampanye Pilpres 2019 hal tersebut terlihat dengan sangat jelas, baik itu persekusi, fitnah, merajalelanya hoax, dan lain-lain. Deskripsi dari munculnya polarisasi masyarakat yang melahirkan sikap etnosentris dan mengakibatkan konflik yang berujung pada kekerasan sangat dimungkinkan terulang di Pilpres 2024 jika aturan mengenai ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) tidak direvisi.
Dikuranginya nilai persentase atau dihapuskannya aturan mengenai presidential threshold dapat menjadi salah satu jalan keluar guna mencegah polarisasi masyarakat. Jangan sampai pesta demokrasi yang seharusnya disikapi dengan kegembiraan justru menciptakan permusuhan yang berkepanjangan di antara anak bangsa.
Nur Fajar Istiqomah ; Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum Universitas Negeri Yogyakarta

Subscribe to receive free email updates: