Pembangunan Ekonomi Sistemis dan Komprehensif
PADA dekade 1960-an, Indonesia berada di garis yang sama dengan Korea Selatan (Korsel), Taiwan, dan Singapura. Kini, tiga negara tersebut sudah masuk kategori negara maju, sedangkan Indonesia masih terseok-seok dengan status 'negara berpendapatan menengah-bawah' dan terancam middle income trap. Tanpa ada bauran kebijakan yang strategis dan mumpuni di bidang ekonomi, pelan-pelan Indonesia tentu akan terperangkap di kelasnya sebagai negara berpendapatan menengah bawah dengan PDB per kapita di bawah US$4.000.
Pada 2017, PDB per kapita Indonesia berdasarkan harga berlaku Rp51,89 juta atau US$3.800 alias masih berada di kategori negara berpenghasilan menengah bawah. Pada saat yang sama, PDB per kapita Singapura sudah ada di level US$57.500, Taiwan US$24.600, dan Korsel US$30.000. Malaysia yang berpenduduk 32 juta sudah meraih PDB per kapita sekira US$9.800 dan berada di kelompok negara berpenghasilan menengah atas.
Negara-negara tersebut mampu mencapai kemajuan signifikan karena para pemangku kuasa di negaranya berhasil menelurkan bauran kebijakan yang pas. Meski berideologi komunis, misalnya, para pemimpin Tiongkok justru merupakan figur-figur yang sudah melewati seleksi ketat dan memiliki visi yang hebat. Di bidang ekonomi, mereka menerima ekonomi pasar dan meluncurkan kebijakan yang tepat, sehingga terjadi akselerasi pembangunan di berbagai sektor ekonomi. Sementara itu, sistem politik yang nondemokratik dimanfaatkan secara efektif untuk memudahkan berbagai macam izin usaha, memberikan pelayanan, dan memberikan kepastian hukum.
Mengapa ekonomi Indonesia terseok-seok, bahkan disalip negara lain seperti Vietnam? Sejak 2016, ekspor Vietnam sudah melampaui ekspor Indonesia. Banyak faktor penyebab. Namun, simpul utama ialah kebijakan ekonomi yang tidak tepat, rendahnya kualitas para penyelenggara negara, birokrasi yang lamban, korupsi, hukum yang tidak mendukung, dan politik yang dikuasai oligarki partai. Beberapa faktor tersebut berhubungan dan penyelesaiannya harus dilakukan secara bersama-sama pula.
Sebagian kalangan menyebut bahwa ekonomi Indonesia terjangkiti penyakit struktural. Fondasi tidak kuat dan tiang-tiangnya tidak kukuh. Ekonomi kita tidak ditopang infrastruktur yang memadai, rendahnya investasi, ekspor yang didominasi produk primer, minimnya industri manufaktur, pembangunan yang menumpuk di Jawa, bahkan Jabodetabek, rendahnya produktivitas pekerja, besarnya pekerja di sektor informal, minimnya jumlah wirausaha, serta terbatasnya instrumen sektor keuangan dan pasar modal.
Dengan kondisi itu, sedikit saja ada tekanan eksternal, berbagai indikator ekonomi langsung melemah. Rupiah terdepresiasi, impor membengkak, surplus neraca perdagangan menipis, bahkan terjadi defisit. Tekanan global juga acap membuat defisit neraca transaksi berjalan ikut membengkak, capital outflow meningkat, neraca pembayaran defisit, dan laju pertumbuhan ekonomi terhambat. Sementara itu, secara fiskal, perubahan eksternal memperbesar defisit akibat melonjaknya beban bunga dan cicilan utang dalam mata uang asing. Untuk megurangi defisit, pemerintah memangkas anggaran belanja, sebuah keputusan yang justru menyebabkan kontraksi ekonomi. Ketika belanja rumah tangga menurun, government spending biasanya menjadi harapan. Di sanalah terjadi kontradiksinya.
Di satu sisi, apresiasi tentu layak diberikan atas langkah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menekankan prioritas tinggi pada pembangunan infrastruktur, antara lain dengan meningkatkan anggaran infrastruktur setiap tahun. Jika pada tahun fiskal 2014 anggaran infrastruktur baru Rp154,7 triliun atau 8,7% dari total anggaran belanja, pada tahun anggaran 2019, anggaran infrastruktur mencapai Rp420,5 triliun atau 17,2% dari anggaran belanja.
Meski cukup memberatkan, pembangunan infrastruktur tentu penting untuk memperkuat fondasi ekonomi Indonesia. Terbukti, memang negeri ini tidak saja kekurangan di bidang infrastruktur transportasi--jalan raya, rel kereta, pelabuhan, dan bandara--pembangkit listrik, jaringan distribusi dan transmisi, serta telekomunikasi, tetapi juga di bidang infrastruktur pertanian dan infrastruktur dasar. Banyak wilayah di Indonesia masih kekurangan air bersih dan hidup dengan sanitasi yang buruk. Lebih jauh, tanpa ada kesiapan infrastruktur, investasi akan terhambat.
Namun, pembangunan infrastruktur tidak bisa dilakukan secara asal-asalan, apalagi hanya berdasar pada euforia politik semata. Kebijakan infrastruktur perlu memprioritaskan wilayah yang memiliki sumber daya ekonomi, misalnya. Kehadiran infrastruktur harus bisa menggerakkan roda ekonomi dan meningkatkan produktivitas guna mempercepat pengembalian modal. Selain itu, upaya mewujudkan keadilan sosial tetap perlu memperhatikan kekuatan pendanaan agar negara tidak terseret oleh beban utang.
Lantas bagaimana dengan sektor industri? Kontribusi industri manufaktur terhadap PDB tersisa 20,2% pada 2017 dan penyerapan tenaga kerja baru 14% dari total angkatan kerja. Untuk menurunkan angka pengangguran dan kemiskinan serta mendongkrak pendapatan rakyat, industri dan jasa harus dibangun. Di negara maju, kontribusi terbesar terhadap PDB ialah sektor jasa, perdagangan, diikuti sektor industri. Di negara maju, kontribusi pertanian terhadap penyerapan tenaga kerja kurang dari 5%.
Sementara itu, ekonomi Indonesia masih membebani sektor pertanian. Sekitar 31,9% tenaga kerja masih berada di sektor pertanian. Sebagian besar ialah petani dengan luas lahan kurang dari 0,5 hektare, bahkan ada yang hanya sebagai buruh tani. Dengan kontribusi terhadap PDB hanya sekitar 13%, sektor pertanian tidak lagi bisa diandalkan untuk menggerakkan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan petani. Apalagi, penduduk miskin di Indonesia umumnya bekerja di sektor pertanian.
Tidak bisa tidak, Indonesia harus terus mencari cara untuk membangun sektor industri secara menyeluruh, tidak cukup hanya dengan beretorika tentang ekonomi digital atau industri 4.0. Meski negara maju sudah memasuki revolusi industri keempat yang mengandalkan penggunaan internet dan digital, Indonesia dengan penduduk yang besar harus membangun industri dasar, industri barang modal, industri elektronik, dan otomotif, serta berbagai jenis industri pengolahan. Ekspor bahan mentah perlahan harus diganti dengan ekspor produk olahan, minimal barang setengah jadi.
Tiongkok mampu mengejar ketertinggalan dari negara maju di bidang industri berkat kebijakan yang tepat. Sejak awal revolusi industri, Tiongkok memperkuat pabrik baja dan berbagai jenis logam. Dengan industri dasar yang kuat, Tiongkok tidak lagi kesulitan mengembangkan industri barang modal, yakni berbagai jenis mesin dan komponen, dan selanjutnya membangun industri manufaktur. Setelah melewati revolusi industri pertama hingga ketiga, Tiongkok mudah memasuki revolusi industri keempat. Sementara itu, di Indonesia, para pengambil kebijakan dan tokoh intelektual langsung memprovokasi publik untuk melompat ke revolusi industri keempat.
Tiongkok menyadari bahwa penduduknya ialah yang terbesar di jagat. Oleh karena itu, mereka sejak awal sudah menganut sistem broad-based industries. Tiongkok tidak saja membangun satu jenis industri manufaktur, tetapi juga semua. Tidak berlebihan jika ada anekdot yang berbunyi, "Tuhan menciptakan alam semesta, Tiongkok mengisinya". Terbukti kemudian, produk industri Tiongkok membanjiri dunia, termasuk ke AS, sampai memicu perang dagang.
Secara struktural
Berkaca pada keberhasilan Tiongkok, perubahan ekonomi Indonesia tentu tidak bisa parsial, tetapi harus secara struktural. Indonesia harus memproduksi sebanyak-banyaknya produk industri, mulai dari industri makanan dan minuman, industri tekstil dan produk tekstil (TPT), industri alas kaki, industri elektronik, industri petrokimia, hingga industri otomotif. Produk kehutanan, perkebunan, dan pertanian harus diolah di dalam negeri sebelum diekspor. Sektor perikanan perlu perlakuan khusus, karena nilai tertinggi ialah ekspor ikan segar, bukan ikan olahan. Namun, untuk jenis tertentu, industri pengolahan ikan tetap harus dikembangkan.
Berkaca pada keberhasilan Tiongkok, perubahan ekonomi Indonesia tentu tidak bisa parsial, tetapi harus secara struktural. Indonesia harus memproduksi sebanyak-banyaknya produk industri, mulai dari industri makanan dan minuman, industri tekstil dan produk tekstil (TPT), industri alas kaki, industri elektronik, industri petrokimia, hingga industri otomotif. Produk kehutanan, perkebunan, dan pertanian harus diolah di dalam negeri sebelum diekspor. Sektor perikanan perlu perlakuan khusus, karena nilai tertinggi ialah ekspor ikan segar, bukan ikan olahan. Namun, untuk jenis tertentu, industri pengolahan ikan tetap harus dikembangkan.
Sejatinya Indonesia mampu menjadi kampiun di industri TPT, alas kaki, elektronik, otomotif, dan pengolahan sawit. Istilah sunset industry dan footloose industry bagi TPT dan alas kaki sebenarnya ialah sekadar istilah untuk memudahkan penjelasan ilmiah, bahwa industri yang menggunakan teknologi sederhana akan mudah berpindah ke negara yang belum maju. Namun, dalam kenyataan, manusia akan tetap membutuhkan pakaian dan alas kaki. Semakin maju sebuah masyarakat, permintaan akan pakaian dan alas kaki justru kian tinggi. Dengan logika bahwa kompetitif-tidaknya sebuah industri ditentukan oleh teknologi, maka dengan menggunakan teknologi yang lebih canggih dan desain yang sesuai dengan perkembangan, pakaian dan alas kaki akan tetap laris. Logika tersebutlah sebenarnya yang digunakan oleh negara maju, seperti Italia dan Prancis. Negara-negara itu tetap menjadi penghasil pakaian dan alas kaki yang hebat sampai hari ini.
Reformasi struktural juga mencakup peningkatan efisiensi. Selain pungli, ekonomi Indonesia berbiaya tinggi karena pengaturan kawasan industri yang tidak tepat. Berbagai produk baru akan efisien jika kawasan Industri dibangun terintegrasi dan menyatu dengan pelabuhan. Industri pengolahan, industri antara, dan industri dasar harus berada di satu kawasan. Saat ini, industri manufaktur di kawasan Cikarang yang berada di timur Jakarta harus mendatangkan baja dari Krakatau Steel dari Banten yang terletak di barat Jakarta. Untuk sampai ke Cikarang, truk pengangkut barang harus melewati Jakarta. Di samping macet, kondisi tersebut menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
Kawasan industri harus dekat dengan pelabuhan dan terkoneksi lewat jalur khusus, baik jalur berbasis rel maupun jalan raya. Industri yang terletak di kawasan Cikarang akan berkembang pesat jika Pelabuhan Patimban di Subang terealisasi dan bandara baru yang direncanakan di Karawang dapat dibangun dalam waktu dekat. Agar tidak ada hambatan, perlu ada akses jalan bagi truk dan kereta dari kawasan Cikarang, dan yang paling penting diingat, agar terjadi keseimbangan dan pemerataan, kawasan industri tidak menumpuk di dekat Jakarta, tetapi disebar ke berbagai provinsi, termasuk di luar Jawa. Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi perlu memiliki kawasan industri. Selain infrastruktur transportasi, di setiap kawasan industri semestinya tersedia infrastruktur energi dan telekomunikasi yang baik. Semua itu bukanlah pekerjaan ringan, tidak selesai dengan buih-buih liar di atas pentas atau di depan kamera saat kampanye. ***