Rabu 03 Juli 2019, 11:30 WIB

Sesat Pikir Pemerintah dalam Kebijakan Tarif Pesawat


Fransiscus Pratikto - detikNews

Polemik soal kenaikan harga tiket pesawat memasuki babak baru. Setelah sebelumnya menetapkan tarif batas bawah (TBB) dan tarif batas atas (TBA) untuk angkutan penumpang berjadwal, sekarang pemerintah sebagai regulator memerintahkan maskapai low cost carrier (LCC) untuk menurunkan harga pada hari Selasa, Kamis, dan Sabtu. Perintah ini dibarengi dengan insentif yang akan menurunkan biaya operasi maskapai. 


Pemerintah berharap ini akan menurunkan harga tiket pesawat sampai 50% dari TBA. TBB sendiri awalnya diberlakukan untuk mencegah terjadinya perang tarif yang dikhawatirkan bisa mengabaikan aspek keselamatan. Ini kemudian disusul dengan mengaitkan (peg) TBA dengan TBB agar maskapai tidak seenaknya menaikkan harga.
Akankah intervensi ini efektif menghadirkan harga tiket pesawat murah? Jawabannya tergantung pada apa yang kita maknai sebagai harga tiket pesawat murah. Saya tidak tahu apa tujuan "sebenarnya" dari rangkaian kebijakan ini. Bahwa ini akan menurunkan harga rata-rata tiket pesawat dibandingkan sebelum ada kebijakan ini, tidak perlu dipertanyakan lagi. Namun, jika tujuannya untuk menurunkan harga tiket pesawat sehingga jumlah penumpang meningkat secara signifikan, maka ini adalah kebijakan yang naif dan absurd yang bersumber pada sesat pikir (fallacy) dalam memahami permasalahan.

Ini sama naif dan absurdnya dengan Dekrit 770-nya diktator Rumania Nicolae Ceaucescu yang bertujuan meningkatkan populasi Rumania, atau kebijakan pajak progresif untuk rokok berkadar tar dan nikotin tinggi yang bertujuan mengurangi tingkat kematian akibat rokok. Itu adalah dua contoh kebijakan yang gagal akibat sesat pikir dalam memahami permasalahan.
Diferensiasi Harga
Biaya penyelenggaraan angkutan penumpang pesawat tidak murah, sehingga tiketnya tidak mungkin dijual dengan harga murah. Jika sebagian seat dijual murah (sampai di bawah harga pokok), maka sebagian seat yang lain harus dijual dengan harga mahal (jauh di atas harga pokok) agar --secara rata-rata-- harga jual menghasilkan marjin keuntungan yang menjamin keselamatan penerbangan dan kelangsungan bisnis maskapai. Maskapai LCC sekalipun tidak menjual semua seat dengan harga murah.

Jadi, jika yang dimaksud dengan harga tiket pesawat murah adalah secara absolut atau rata-rata untuk semua seat, jawaban atas pertanyaan di atas adalah "tidak". Namun, jika yang dimaksud adalah sebagian seat dijual dengan harga murah sehingga terjangkau oleh sebagian besar orang sehingga jumlah penumpang meningkat, jawabannya adalah "mungkin". Ini akan sangat tergantung pada keleluasaan maskapai dalam melakukan diferensiasi harga.
Kebijakan diferensiasi harga adalah praktik umum di industri airline. Ini merupakan salah satu taktik dari inisiatif yang sering disebut sebagai revenue management. Dalam satu penerbangan kita biasa menjumpai puluhan harga berbeda untuk seating class yang sama. Kebijakan ini digunakan untuk mengeksploitasi kondisi di mana tidak semua orang memiliki kesediaan membayar (willingness-to-pay atau WTP) yang tinggi.

Terdapat orang yang memiliki WTP tinggi, biasanya yang bepergian untuk tujuan pekerjaan atau bisnis (business passenger). Istilah business di sini mengacu pada segmen penumpang, bukan seating class. Di sisi lain, ada jauh lebih banyak orang yang memiliki WTP rendah, yang umumnya untuk tujuan pribadi (leisure passenger). Dalam bahasa ekonomi, pelaku industri airlinemenghadapi kurva permintaan yang elastis pada harga rendah dan inelastis pada harga tinggi.
Dengan diferensiasi harga, maskapai menjual seat dengan harga tinggi (jauh di atas harga pokok) pada business passenger, dan harga murah (sampai di bawah harga pokok) untuk leisure passenger. Dalam praktiknya seat yang dijual tidak benar-benar sama. Seat yang dijual murah boleh jadi harus dipesan jauh-jauh hari sebelumnya, tidak bisa diubah dan dibatalkan, dan tidak termasuk bagasi. Sementara itu, seat yang dijual mahal mungkin bisa dipesan dekat dengan saat keberangkatan dengan disertai fleksibilitas untuk memilih nomor tempat duduk yang lebih nyaman, bisa diubah dan dibatalkan, termasuk bagasi, dan lain-lain.

Mengapa maskapai mau menjual sebagian seat di bawah harga pokok? Pesawat dengan kapasitas 250 penumpang akan menanggung biaya yang tidak jauh berbeda antara mengangkut 150 atau 200 penumpang. Menjual 50 seat tambahan di bawah harga pokok dan terbang dengan 50 seat kosong akan lebih menguntungkan dibanding terbang dengan 100 seat kosong. Jadi, kebijakan diferensiasi harga adalah win-win solution untuk maskapai dan penumpang.

Diferensiasi harga menciptakan mekanisme subsidi silang dari penumpang dengan WTP tinggi pada penumpang dengan WTP rendah. Dengan diferensiasi harga cakupan segmen penumpang yang diraih bisa lebih luas dan profitabilitas maskapai bisa meningkat. Kondisi ini sekarang "dirusak" oleh pemerintah dengan kebijakan pembatasan tarif. TBA membatasi keleluasaan maskapai menjual seat dengan harga mahal. Konsekuensinya, maskapai juga tidak bisa menjual tiket dengan harga murah karena subsidi silang tidak lagi terjadi, bahkan jika TBB tidak diberlakukan.

Memulihkan Kepercayaan
Pemerintah boleh jadi khawatir akan munculnya masalah keselamatan jika TBB dihilangkan. Ini dapat dipahami karena pengalaman menunjukkan bahwa konsekuensi masalah ini cukup mahal. Butuh waktu lama dan biaya yang tidak sedikit untuk memulihkan kepercayaan dunia internasional pasca rangkaian insiden dan kecelakaan yang menimpa dunia penerbangan kita pada masa lalu.

Kalau begitu, secara ekonomi bagaimana kemudian dampak kebijakan ini? Kita kembali ke pertanyaan paling mendasar dalam ekonomi: Who bear the costWho gain the benefit? Masyarakat dan industri airline yang menanggung biayanya, dan mereka juga yang merasakan manfaat layanan penerbangan yang aman. Apakah itu sepadan? Well, keselamatan tidak bisa di-trade-off-kan dengan apapun. Pertanyaan yang lebih tepat untuk ditanyakan adalah: Apakah ini satu-satunya cara untuk menjamin keselamatan penerbangan? Tentu saja tidak. Banyak negara lain berhasil menegakkan aspek keselamatan tanpa intervensi tarif.
Dari sudut pandang negatif, penggunaan tarif sebagai instrumen kebijakan keselamatan penerbangan menunjukkan "ketidakmampuan" atau "kemalasan" pemerintah dalam menegakkan aturan dan standar keselamatan. Dilihat dari sudut pandang yang lebih positif, boleh jadi pemerintah ingin memastikan upaya penegakan aturan dan standar keselamatan tidak membuat maskapai merugi. Pertanyaan yang relevan untuk ditanyakan kemudian adalah: Apakah tarif (dalam hal ini TBB) merupakan ukuran yang tepat untuk itu?
TBB ditentukan berdasarkan hitung-hitungan biaya. Penggunaan biaya sebagai titik tolak kebijakan keselamatan menunjukkan masih primitifnya pola pikir pemerintah dalam mengelola industri airline. Jika pemerintah ingin lebih progresif, alih-alih biaya, ukuran yang seharusnya digunakan adalah produktivitas. Dalam praktik revenue management di industri airline, ukuran yang biasa digunakan untuk mengukur produktivitas adalah revenue per available seat mile (RASM).

RASM adalah pendapatan operasi dibagi seat-mile yang dihasilkan. Penghapusan batasan tarif dan penggunaan RASM sebagai indikator produktivitas dan profitabilitas akan merangsang maskapai untuk mengeksploitasi inisiatif revenue management dalam operasinya. Pelaporan RASM secara periodik memungkinkan pemerintah untuk mengontrol dan memastikan maskapai tidak mengorbankan keselamatan demi meningkatkan penjualan. Pada akhirnya yang akan diuntungkan adalah masyarakat dan industri airline. Ini semua tentu harus terus dibarengi dengan kebijakan yang mendukung penurunan biaya operasi dan penciptaan iklim yang kompetitif di industri airline.
Melalui kebijakan terbarunya pemerintah berlaku layaknya operator dengan menetapkan kebijakan diferensiasi harga. Kebijakan diferensiasi harga sejatinya didasarkan pada mekanisme penawaran dan permintaan di pasar. Sejarah menunjukkan bahwa intervensi harga oleh pemerintah tidak pernah lebih baik dibandingkan jika itu diserahkan pada mekanisme pasar. Jadi, selama pemerintah belum menyadari kesalahannya kita masih harus bersabar menunggu kembalinya harga tiket pesawat murah.
Fransiscus Pratikto ; Pengajar dan peneliti Revenue Management, dosen di Universitas Katolik Parahyangan, Bandung

Subscribe to receive free email updates: