Selasa 02 Juli 2019, 16:43 WIB
Nasib Anjing dalam Masyarakat Kita
Jakarta - Lini masa media sosial sedang diriuhkan oleh seorang perempuan yang membawa anjingnya masuk ke masjid. Banyak orang marah, banyak orang menyeret isu terlalu jauh sampai taraf nggak mutu, banyak juga yang berusaha memahami kondisi psikologis si perempuan.
Bagi saya pribadi, terlepas dari realitas kejiwaan si perempuan pembawa anjing, kemarahan spontan massa itu cukup bisa dimaklumi. Pada zaman ini, di negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, rasanya sudah menjadi pengetahuan publik bahwa air liur anjing diyakini najis oleh sebagian besar umat Islam. Konsekuensi sosialnya, membawa anjing masuk ke dalam masjid memang tindakan yang sangat tidak pantas. Sekali lagi: itu terlepas dari realitas kejiwaan si perempuan pembawa anjing.
Tapi, simpan dulu ketegangan Anda. Saya tidak sedang ingin membahas kasus tersebut lebih jauh lagi. Sudah terlalu banyak "pakar kebijakan publik" yang membahasnya di media sosial. Yang lebih seru adalah melihat bagaimana anjing mempengaruhi sosiologi masyarakat kita.
Satu hal yang paling menarik adalah bagaimana kata anjing tumbuh menjadi umpatan alias makian. Saya ingin membahasnya dengan terlebih dahulu meminta maaf kepada sidang pembaca, karena segenap kata-kata kasar yang akan saya bicarakan tidak akan saya sensor, atas nama objektivitas ilmiah (ehem!).
***
Budayawan Ajip Rosidi pernah menggambarkan bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa yang direkayasa dan dibentuk, dengan bahan dasar bahasa Melayu. Pembentukan bahasa Indonesia dijalankan lewat aktivitas pendidikan di sekolah-sekolah, bukan di lapangan pergaulan rakyat jelata. Walhasil, bahasa ini nyaris tidak punya khazanah kata-kata makian. Kalaulah seorang penutur bahasa Indonesia memaki, biasanya kata makian itu berasal dari bahasa ibu.
Untuk memaki yang kafah kita butuh letupan emosi maksimal. Sementara itu, emosi paling purba kita memang jauh lebih gampang diekspresikan dengan bahasa ibu yang kita pelajari sejak bayi, alih-alih dengan bahasa kedua.
Itu pernah saya rasakan sendiri ketika saya masih menjadi sopir truk di Australia. Jiwa jalanan saya waktu itu agak sulit saya salurkan, karena saat ribut dengan sesama sopir saya harus mengucapkan fuck you yang hambar itu alih-alih umpatan Jawa semacam asu atau matamu.
Dari situlah, kita mesti mendudukkan makian anjing yang cukup populer itu bukan sebagai bagian dari kekayaan perbendaharaan kata-kata kotor bahasa Indonesia.
Persebaran makian anjing agaknya berangkat dari masyarakat yang memosisikan anjing sebagai hewan rendahan. Masyarakat muslim jelas merupakan aktor dominan dalam peran tersebut. Bagi sebagian besar umat Islam di Indonesia yang bermazhab Syafii, anjing adalah hewan najis. Najisnya anjing membuat ia selalu dihindari, direndahkan, bahkan disingkirkan. Namun harap diingat, tidak semua masyarakat di Indonesia didominasi oleh tradisi Islam.
Maka, kita bisa menyebut orang Jawa yang memaki dengan kata asu. Artinya ya anjing. Meskipun orang Jawa relatif fleksibel dalam berkeyakinan, tak terbantahkan bahwa ada kelekatan yang sangat panjang antara Jawa dan Islam. Perjalanan kebudayaan itulah yang menempatkan anjing sebagai hewan kotor di tengah masyarakat Jawa. Hasilnya, makian asu pun muncul. Tidak mungkin kita memaki dengan kata yang berkonotasi bagus kan? "Dasar kamu perkutut!" rasanya tidak pas. Perkutut adalah burung mewah, piaraan aristokrat, tidak cocok untuk memaki.
Meski demikian, Jawa tidaklah monolitik. Jika Anda ke Jawa Timur, Surabaya misalnya, lalu Anda memaki dengan kata asu, orang sana akan tertawa. Itu umpatan yang "tipis" saja buat mereka. Orang Surabaya sangat kaya dengan umpatan, bahkan mereka terkenal membangun keakraban antarsahabat dengan kata-kata kasar. Kata anjing alias asu memang kasar, tapi masyarakat Surabaya punya stok umpatan yang jauh lebih kasar.
Jawa Barat lain lagi. Mereka Sunda, bukan Jawa. Sunda memiliki tradisi Islam yang sangat kental. Tak terelakkan, makian anjing pun sangat populer dalam masyarakat ini. Belakangan, karena saking halusnya perangai orang Sunda, terjadi gejala modifikasi yang memperhalus makian anjing ini menjadi lebih enak didengar dalam pergaulan. Hasilnya, muncullah kata anying, anjir, anjrit, juga anjay.
Masyarakat muslim terakhir yang kita ambil sebagai sampel adalah etnis Sasak di Nusa Tenggara Barat. Bagi para penggemar jalan-jalan, lazim beredar pesan: kalau mau berpesiar ke Lombok, semestinya menghindari kata-kata semacam godek, bawi, dan acong. Acong berarti anjing.
Situasi budaya semacam itu tidak dijumpai dalam masyarakat Kristen Nusantara. Tidak ada konsep najis liur anjing dalam agama Kristen. Maka, tidak ada pula makian anjing dalam bahasa Batak. Itu contoh pertama.
Saya mendapatkan kesaksian itu dari kawan saya Alex Sinaga, putra Siantar. "Nggak ada itu makian anjing buat orang Batak, Bang. Bagi kami anjing itu teman, meski beberapa orang menganggap mereka makanan hehehe."
Tolong jangan salah fokus dengan tema makanan, apalagi melakukan penghakiman. Setiap nilai etika tumbuh dalam kesepakatan sosial di lingkup tertentu, yang tidak dapat dinilai dengan ukuran di luar lingkup tersebut. Prinsip itu pula yang membuat kita masuk ke obrolan tentang makian ini.
Benar, kadang orang Batak pun memaki dengan kata anjing (dalam bahasa Indonesia). Tapi saya menduga kebiasaan itu hadir sebagai wujud pengaruh bahasa Indonesia, bukan bahasa Batak sendiri. Bahasa Indonesia mengakomodasi umpatan anjing semata karena pengaruh bahasa masyarakat muslim Nusantara.
Yang agak membingungkan adalah masyarakat Bali. Orang Bali mengenal umpatan cicing cai, yang artinya 'kamu anjing'. Padahal, masyarakat Bali akrab dengan anjing, memelihara anjing, menyayangi anjing. Mungkinkah umpatan itu muncul karena selain memelihara anjing mereka juga tidak menolak untuk menyantap dagingnya? Saya tidak tahu. Yang jelas saya tidak pernah menjumpai Jerinx SID (yang gemar mengumpat itu) menggunakan cicing caisebagai salah satu senjata andalannya.
***
Bahasa adalah cerminan alam pikiran masyarakat penuturnya. Munculnya makian anjing dan segenap varian lokalnya adalah bukti bahwa masyarakat yang mengucapkannya memang meletakkan anjing dalam posisi sangat inferior.
Saya pernah beberapa tahun tinggal di Australia, satu masyarakat pencinta anjing. Di sana belum pernah saya mendengar kata dog diucapkan sebagai makian. Kalaulah ada, maksimal kata slang yaitu DADS, akronim dari dumb as dog shit. Anjing disebut dalam kata umpatan bukan sebagai anjingnya sendiri, melainkan dari kotorannya.
Selebihnya, anjing mendapatkan penghormatan luar biasa sebagai bagian dari keluarga manusia. Anjing adalah sahabat setia bagi siapa pun, menjadi teman hidup para manula kesepian, menjadi pengganti anak, dan menjalankan peran yang jauh lebih tinggi kastanya daripada hewan-hewan lain.
Itulah sebabnya, meski sebagai muslim saya mengikuti Mazhab Majelis Tarjih Muhammadiyah yang tetap menajiskan liur anjing, saat di Australia saya selalu bersikap sebaik mungkin kepada anjing-anjing. Ini bentuk penghormatan kepada nilai lokal, yang juga saya ajarkan kepada anak saya.
"Nak, kalau ketemu anjing di sini, bersikaplah yang baik. Sapa dia, belai dia kalau diperbolehkan sama yang punya. Air liur anjing memang najis buat kita. Tapi itu liurnya, anjingnya sendiri tidak kita benci. Toh najis gampang sekali dicuci. Anjing itu makhluk Tuhan juga, Nak, dia bukan musuh Islam. Seringkali yang jadi musuh Islam itu malah orang-orang Islam sendiri yang membawa sikap buruk di tengah masyarakat dunia, sehingga nama Islam tercemar jadinya."
Tentu saja kalimat itu saya lebih-lebihkan, dan tidak benar-benar saya sampaikan kepada anak saya. Akan terlalu berat untuk dia hehehe. Namun, saya selalu ingin menekankan spirit semacam itu.
Dalam Islam sendiri, sebenarnya ada kisah-kisah tentang anjing yang terhormat. Anjing para pemuda Ashhabul Kahfi, misalnya. Juga riwayat israiliyat tentang pelacur yang diampuni semua dosanya karena memberikan minum kepada anjing yang kehausan. Lalu kenapa hanya karena najis masyarakat muslim Indonesia serta merta membenci anjing sampai segitunya?
Saya bergidik ketika mendengar cerita dari salah satu kampung muslim di Jogja, belasan tahun lalu. Kata kawan saya yang merupakan salah seorang penghuni di sana, kalau sampai ada anjing masuk ke kampung mereka, alamat tidak akan selamat. Bisa masuk kampung, tapi tidak akan keluar hidup-hidup.
Cerita lebih mengerikan datang dari sahabat saya orang Sumbawa. Saat dia masih SD sekitar dua dasawarsa silam, pada setiap hari tertentu guru agamanya menugasi para murid untuk berkeliling desa sambil membawa pentungan. Tugas mereka jelas: membunuh anjing-anjing yang berkeliaran. Jika ada yang berhasil membunuh anjing, maka dia mendapat poin.
Menyeramkan sekali. Tidak ada ayat Alquran atau hadis Nabi yang memerintahkan tindakan semacam itu. Memang pernah ada hadis yang membolehkan pembunuhan anjing, namun khusus untuk anjing-anjing yang membahayakan, misalnya anjing gila. Selebihnya, saya kira umat Islam Indonesia telah bersikap terlalu "kreatif" dalam memaknai najisnya liur anjing.
Entahlah, bagaimana para pemuka agama Islam menyikapi realitas demikian di tengah masyarakat. Saya sendiri selalu ingin menyampaikan bahwa Islam hanya menajiskan liur anjing. Islam tidak pernah membenci anjing habis-habisan, apalagi menyeru umat untuk membunuhinya.
Sayangnya, saya bukan pemuka agama.
Iqbal Aji Daryono ; Esais, tinggal di Bantul
Bagi saya pribadi, terlepas dari realitas kejiwaan si perempuan pembawa anjing, kemarahan spontan massa itu cukup bisa dimaklumi. Pada zaman ini, di negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, rasanya sudah menjadi pengetahuan publik bahwa air liur anjing diyakini najis oleh sebagian besar umat Islam. Konsekuensi sosialnya, membawa anjing masuk ke dalam masjid memang tindakan yang sangat tidak pantas. Sekali lagi: itu terlepas dari realitas kejiwaan si perempuan pembawa anjing.
Tapi, simpan dulu ketegangan Anda. Saya tidak sedang ingin membahas kasus tersebut lebih jauh lagi. Sudah terlalu banyak "pakar kebijakan publik" yang membahasnya di media sosial. Yang lebih seru adalah melihat bagaimana anjing mempengaruhi sosiologi masyarakat kita.
Satu hal yang paling menarik adalah bagaimana kata anjing tumbuh menjadi umpatan alias makian. Saya ingin membahasnya dengan terlebih dahulu meminta maaf kepada sidang pembaca, karena segenap kata-kata kasar yang akan saya bicarakan tidak akan saya sensor, atas nama objektivitas ilmiah (ehem!).
***
Budayawan Ajip Rosidi pernah menggambarkan bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa yang direkayasa dan dibentuk, dengan bahan dasar bahasa Melayu. Pembentukan bahasa Indonesia dijalankan lewat aktivitas pendidikan di sekolah-sekolah, bukan di lapangan pergaulan rakyat jelata. Walhasil, bahasa ini nyaris tidak punya khazanah kata-kata makian. Kalaulah seorang penutur bahasa Indonesia memaki, biasanya kata makian itu berasal dari bahasa ibu.
Untuk memaki yang kafah kita butuh letupan emosi maksimal. Sementara itu, emosi paling purba kita memang jauh lebih gampang diekspresikan dengan bahasa ibu yang kita pelajari sejak bayi, alih-alih dengan bahasa kedua.
Itu pernah saya rasakan sendiri ketika saya masih menjadi sopir truk di Australia. Jiwa jalanan saya waktu itu agak sulit saya salurkan, karena saat ribut dengan sesama sopir saya harus mengucapkan fuck you yang hambar itu alih-alih umpatan Jawa semacam asu atau matamu.
Dari situlah, kita mesti mendudukkan makian anjing yang cukup populer itu bukan sebagai bagian dari kekayaan perbendaharaan kata-kata kotor bahasa Indonesia.
Persebaran makian anjing agaknya berangkat dari masyarakat yang memosisikan anjing sebagai hewan rendahan. Masyarakat muslim jelas merupakan aktor dominan dalam peran tersebut. Bagi sebagian besar umat Islam di Indonesia yang bermazhab Syafii, anjing adalah hewan najis. Najisnya anjing membuat ia selalu dihindari, direndahkan, bahkan disingkirkan. Namun harap diingat, tidak semua masyarakat di Indonesia didominasi oleh tradisi Islam.
Maka, kita bisa menyebut orang Jawa yang memaki dengan kata asu. Artinya ya anjing. Meskipun orang Jawa relatif fleksibel dalam berkeyakinan, tak terbantahkan bahwa ada kelekatan yang sangat panjang antara Jawa dan Islam. Perjalanan kebudayaan itulah yang menempatkan anjing sebagai hewan kotor di tengah masyarakat Jawa. Hasilnya, makian asu pun muncul. Tidak mungkin kita memaki dengan kata yang berkonotasi bagus kan? "Dasar kamu perkutut!" rasanya tidak pas. Perkutut adalah burung mewah, piaraan aristokrat, tidak cocok untuk memaki.
Meski demikian, Jawa tidaklah monolitik. Jika Anda ke Jawa Timur, Surabaya misalnya, lalu Anda memaki dengan kata asu, orang sana akan tertawa. Itu umpatan yang "tipis" saja buat mereka. Orang Surabaya sangat kaya dengan umpatan, bahkan mereka terkenal membangun keakraban antarsahabat dengan kata-kata kasar. Kata anjing alias asu memang kasar, tapi masyarakat Surabaya punya stok umpatan yang jauh lebih kasar.
Jawa Barat lain lagi. Mereka Sunda, bukan Jawa. Sunda memiliki tradisi Islam yang sangat kental. Tak terelakkan, makian anjing pun sangat populer dalam masyarakat ini. Belakangan, karena saking halusnya perangai orang Sunda, terjadi gejala modifikasi yang memperhalus makian anjing ini menjadi lebih enak didengar dalam pergaulan. Hasilnya, muncullah kata anying, anjir, anjrit, juga anjay.
Masyarakat muslim terakhir yang kita ambil sebagai sampel adalah etnis Sasak di Nusa Tenggara Barat. Bagi para penggemar jalan-jalan, lazim beredar pesan: kalau mau berpesiar ke Lombok, semestinya menghindari kata-kata semacam godek, bawi, dan acong. Acong berarti anjing.
Situasi budaya semacam itu tidak dijumpai dalam masyarakat Kristen Nusantara. Tidak ada konsep najis liur anjing dalam agama Kristen. Maka, tidak ada pula makian anjing dalam bahasa Batak. Itu contoh pertama.
Saya mendapatkan kesaksian itu dari kawan saya Alex Sinaga, putra Siantar. "Nggak ada itu makian anjing buat orang Batak, Bang. Bagi kami anjing itu teman, meski beberapa orang menganggap mereka makanan hehehe."
Tolong jangan salah fokus dengan tema makanan, apalagi melakukan penghakiman. Setiap nilai etika tumbuh dalam kesepakatan sosial di lingkup tertentu, yang tidak dapat dinilai dengan ukuran di luar lingkup tersebut. Prinsip itu pula yang membuat kita masuk ke obrolan tentang makian ini.
Benar, kadang orang Batak pun memaki dengan kata anjing (dalam bahasa Indonesia). Tapi saya menduga kebiasaan itu hadir sebagai wujud pengaruh bahasa Indonesia, bukan bahasa Batak sendiri. Bahasa Indonesia mengakomodasi umpatan anjing semata karena pengaruh bahasa masyarakat muslim Nusantara.
Yang agak membingungkan adalah masyarakat Bali. Orang Bali mengenal umpatan cicing cai, yang artinya 'kamu anjing'. Padahal, masyarakat Bali akrab dengan anjing, memelihara anjing, menyayangi anjing. Mungkinkah umpatan itu muncul karena selain memelihara anjing mereka juga tidak menolak untuk menyantap dagingnya? Saya tidak tahu. Yang jelas saya tidak pernah menjumpai Jerinx SID (yang gemar mengumpat itu) menggunakan cicing caisebagai salah satu senjata andalannya.
***
Bahasa adalah cerminan alam pikiran masyarakat penuturnya. Munculnya makian anjing dan segenap varian lokalnya adalah bukti bahwa masyarakat yang mengucapkannya memang meletakkan anjing dalam posisi sangat inferior.
Saya pernah beberapa tahun tinggal di Australia, satu masyarakat pencinta anjing. Di sana belum pernah saya mendengar kata dog diucapkan sebagai makian. Kalaulah ada, maksimal kata slang yaitu DADS, akronim dari dumb as dog shit. Anjing disebut dalam kata umpatan bukan sebagai anjingnya sendiri, melainkan dari kotorannya.
Selebihnya, anjing mendapatkan penghormatan luar biasa sebagai bagian dari keluarga manusia. Anjing adalah sahabat setia bagi siapa pun, menjadi teman hidup para manula kesepian, menjadi pengganti anak, dan menjalankan peran yang jauh lebih tinggi kastanya daripada hewan-hewan lain.
Itulah sebabnya, meski sebagai muslim saya mengikuti Mazhab Majelis Tarjih Muhammadiyah yang tetap menajiskan liur anjing, saat di Australia saya selalu bersikap sebaik mungkin kepada anjing-anjing. Ini bentuk penghormatan kepada nilai lokal, yang juga saya ajarkan kepada anak saya.
"Nak, kalau ketemu anjing di sini, bersikaplah yang baik. Sapa dia, belai dia kalau diperbolehkan sama yang punya. Air liur anjing memang najis buat kita. Tapi itu liurnya, anjingnya sendiri tidak kita benci. Toh najis gampang sekali dicuci. Anjing itu makhluk Tuhan juga, Nak, dia bukan musuh Islam. Seringkali yang jadi musuh Islam itu malah orang-orang Islam sendiri yang membawa sikap buruk di tengah masyarakat dunia, sehingga nama Islam tercemar jadinya."
Tentu saja kalimat itu saya lebih-lebihkan, dan tidak benar-benar saya sampaikan kepada anak saya. Akan terlalu berat untuk dia hehehe. Namun, saya selalu ingin menekankan spirit semacam itu.
Dalam Islam sendiri, sebenarnya ada kisah-kisah tentang anjing yang terhormat. Anjing para pemuda Ashhabul Kahfi, misalnya. Juga riwayat israiliyat tentang pelacur yang diampuni semua dosanya karena memberikan minum kepada anjing yang kehausan. Lalu kenapa hanya karena najis masyarakat muslim Indonesia serta merta membenci anjing sampai segitunya?
Saya bergidik ketika mendengar cerita dari salah satu kampung muslim di Jogja, belasan tahun lalu. Kata kawan saya yang merupakan salah seorang penghuni di sana, kalau sampai ada anjing masuk ke kampung mereka, alamat tidak akan selamat. Bisa masuk kampung, tapi tidak akan keluar hidup-hidup.
Cerita lebih mengerikan datang dari sahabat saya orang Sumbawa. Saat dia masih SD sekitar dua dasawarsa silam, pada setiap hari tertentu guru agamanya menugasi para murid untuk berkeliling desa sambil membawa pentungan. Tugas mereka jelas: membunuh anjing-anjing yang berkeliaran. Jika ada yang berhasil membunuh anjing, maka dia mendapat poin.
Menyeramkan sekali. Tidak ada ayat Alquran atau hadis Nabi yang memerintahkan tindakan semacam itu. Memang pernah ada hadis yang membolehkan pembunuhan anjing, namun khusus untuk anjing-anjing yang membahayakan, misalnya anjing gila. Selebihnya, saya kira umat Islam Indonesia telah bersikap terlalu "kreatif" dalam memaknai najisnya liur anjing.
Entahlah, bagaimana para pemuka agama Islam menyikapi realitas demikian di tengah masyarakat. Saya sendiri selalu ingin menyampaikan bahwa Islam hanya menajiskan liur anjing. Islam tidak pernah membenci anjing habis-habisan, apalagi menyeru umat untuk membunuhinya.
Sayangnya, saya bukan pemuka agama.
Iqbal Aji Daryono ; Esais, tinggal di Bantul