Strategi Penguatan Auditor Internal Pemerintah

Rabu 10 Juli 2019, 15:18 WIB

Strategi Penguatan Auditor Internal Pemerintah

Saefudin Achada - detikNews

Ramainya pemberitaan atas operasi tangkap tangan KPK, penyalahgunaan wewenang oleh pejabat negara, pengabaian aturan oleh aparatur sipil negara, hingga masih banyaknya instansi yang mengabaikan transparansi penggunaan anggaran membuat peran auditor intern pemerintah menjadi dipertanyakan. Auditor intern seharusnya menjadi salah satu lapisan pertahanan yang mampu mencegah dan menindak penyimpangan-penyimpangan yang ada dalam tubuh instansi pemerintah.

Peran audit intern pada pemerintah saat ini dipegang oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) yakni inspektorat (dengan nama apa pun, semisal Inspektorat Jenderal, Inspektorat Utama, atau Inspektorat Daerah) serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Agar suatu unit audit intern pemerintah dapat bekerja secara sound tentu diperlukan terobosan dan strategi khusus untuk menghadapi permasalahan dan tantangan yang ada.
Permasalahan pertama muncul dari kedudukan APIP itu sendiri dalam sebuah instansi. Kedudukan APIP ini memegang peranan sangat penting karena terkait dengan independensi auditor. Bagi profesi audit, independensi merupakan hal yang mutlak dipegang oleh auditor. Audit/pengawasan yang dilakukan tidak akan mampu menyelesaikan problematika instansi pemerintah jika masih terdapat intervensi dari berbagai pihak.

Permasalahan terkait kedudukan APIP ini sangat jelas terutama jika kita melihat APIP daerah (Inspektorat provinsi/kabupaten/kota). Kedudukan APIP Daerah pada umumnya berada di bawah sekretaris daerah. Artinya, intervensi sekretaris daerah atau bahkan pemimpin tertinggi daerah sangat tinggi terhadap hasil pengawasan APIP. Intervensi yang sering terjadi adalah dalam hal pengangkatan atau mutasi pejabat atau pegawai pada unit audit intern untuk melemahkan pengawasan.

Mudahnya seseorang dipindahkan dari dan ke unit audit intern tentu menjadikan unit audit tersebut tidak stabil dan memberikan ketakutan dan bayang-bayang dipindahtugaskan bagi pegawai pada unit audit intern. Kualitas auditor juga dapat dipertanyakan, hal ini muncul karena seringnya pejabat/pegawai yang dimutasi ke APIP daerah merupakan orang buangan yang tidak disukai dari unit lain atau bisa saja merupakan orang titipan yang bertugas memata-matai APIP.

Intervensi juga dapat dilakukan melalui pembatasan anggaran untuk membatasi ruang gerak auditor. Tentu hal-hal tersebut sangat bertentangan dengan prinsip good governance. Beberapa strategi yang dapat dilakukan adalah memisahkan fungsi audit intern pemerintah menjadi unit yang langsung bertanggung jawab kepada pemimpin tertinggi instansi, membentuk Komite Audit yang independen, serta perbaikan pola pengangkatan dan mutasi pejabat/pegawai pada unit audit intern.

Pengangkatan atau pergantian pimpinan APIP dilakukan oleh pimpinan instansi dengan persetujuan Komite Audit, pegawai APIP didedikasikan pada unit APIP sehingga mengurangi intervensi pimpinan daerah untuk memutasi pegawai. Strategi lain yang dapat diterapkan terkait pengangkatan/mutasi pegawai adalah dengan menetapkan kewenangan pengangkatan/mutasi auditor intern dilakukan oleh pejabat yang setingkat lebih tinggi dari pimpinan daerah tersebut.

Strategi lain terkait dengan anggaran adalah dengan menerbitkan aturan yang mewajibkan persentase tertentu atas anggaran wajib digunakan untuk pengawasan. Tentu dengan formulasi yang mempertimbangkan anggaran untuk program utama instansi dan anggaran lain yang dipersyaratkan undang-undang harus tetap terlaksana.
Permasalahan kedua adalah kapabilitas APIP. Bahkan ketika suatu APIP telah memiliki unit yang terpisah dan independen, kapabilitas masih menjadi masalah utama. Salah satu cara mengukur kapasitas audit internal adalah melalui indeks Internal Audit Capability Model (IACM). Model tersebut dikembangkan oleh The Institute of Internal Auditor Research Foundation(IIARF) yang merupakan lembaga riset Asosiasi Auditor Internal (IIA) dan menggambarkan kapabilitas auditor internal ke dalam angka skala lima (1 s.d. 5, dengan level 5 adalah tertinggi). Model tersebut diadopsi oleh BPKP, selaku pembina APIP Indonesia, untuk mengukur level kapabilitas APIP.

Standar minimal yang ditargetkan BPKP atas kapabilitas APIP adalah minimal berada pada level 3. Data BPKP sampai dengan triwulan II tahun 2018 menunjukkan sebagian besar APIP masih berada di level 1 dan 2. Maka strategi yang harus dilakukan adalah mendorong peningkatan level IACM untuk seluruh APIP minimal pada level 3. Setiap APIP memiliki kelemahan yang berbeda, identifikasi kelemahan dan cara penanggulangannya tentu diperlukan oleh setiap APIP. Pemberian insentif untuk memacu semangat APIP memperbaiki dirinya dapat saja dilakukan melalui, misalnya, pemberian angka kredit khusus bagi auditor yang APIP-nya telah mencapai level 3, 4, atau 5.

Permasalahan ketiga ada pada paradigma yang dianut oleh auditor intern. Paradigma lama adalah auditor merupakan watchdog yang bertindak reaktif atas suatu permasalahan. Paradigma ini sering kali tidak melihat akar masalah yang sebenarnya ada dan hanya fokus pada pencarian findings (temuan). Paradigma ini harus diubah, auditor saat ini diharuskan tidak hanya mampu memberikan jaminan (asurans) bahwa fungsi pemerintahan telah berjalan dengan baik tetapi juga harus mampu bertindak proaktif dan preventif untuk mencegah masalah yang sama terulang serta mencegah potensi masalah yang mungkin akan muncul.

Auditor intern dituntut untuk dapat memberikan nilai tambah bagi instansi. Strategi yang dapat dilakukan adalah melalui peningkatan fungsi asuransberbasis risiko (risk-based) serta penguatan fungsi konsultasi (consulting). Beberapa instansi saat ini juga telah menerapkan three lines of defense, yakni sistem pengawasan melalui tiga lini pertahanan: manajemen, unit kepatuhan internal, dan auditor internal. Setiap APIP tentu dituntut harus mampu menilai sejauh mana kondisi instansi yang diawasi, dan seberapa besar persentase asurans serta konsultasi yang harus dilakukan. Pendekatan yang digunakan juga harus mempertimbangkan prinsip bahwa APIP merupakan katalis untuk mencapai tujuan organisasi. Tentu diperlukan pemikiran-pemikiran yang cerdas dan maju dari setiap auditor.
Tantangan ketiga adalah deteksi dan pencegahan fraud pada instansi yang diawasi. Aksioma fraud menyatakan bahwa fraud merupakan sesuatu yang tersembunyi. Pada umumnya, fraud tidak akan dengan mudah terdeteksi melalui audit biasa. Butuh ketajaman auditor serta informasi dari berbagai pihak di luar auditor untuk bisa mendeteksi fraud. Informasi dari luar APIP akan lebih mudah didapat jika APIP bersangkutan menerapkan whistleblowing system yang mana hal ini masih belum diterapkan oleh seluruh APIP. Maka strategi yang dapat dilakukan adalah membuat sarana whistleblowing systemyang terpercaya dan andal, mensosialisasikan sistem tersebut kepada masyarakat luas dan pegawai, dan mengelola aduan dengan baik dan tepat.

Kerja sama dengan KPK dan aparat penegak hukum lainnya juga mutlak diperlukan untuk penanganan fraud lebih lanjut. Strategi yang lain adalah melalui pencegahan dengan meminimalisasi penyebab fraud, yakni kesempatan, tekanan, dan rasionalisasi. Cara yang dapat dilakukan oleh APIP di antaranya memastikan Sistem Pengendalian Internal yang ada telah cukup untuk mencegah fraud di antaranya melalui pembatasan akses dan wewenang, pembagian tugas, penetapan aturan dan SOP yang tepat, dan pemanfaatan teknologi informasi serta memastikan pejabat/pegawai telah memiliki semangat yang sama untuk memberantas fraud di antaranya dengan mencanangkan instansi sebagai Wilayah Bebas Korupsi (WBK).
Tantangan keempat adalah sinergi antar-APIP untuk mendukung program pemerintah yang bersifat antar-lembaga. Sinergi diperlukan untuk mencapai tujuan bersama. Sebagai contoh, pada Mei 2018 telah terbit Instruksi Presiden Nomor 4 tahun 2018 tentang Peningkatan Pengawasan Penerimaan Pajak atas Belanja Pemerintah dan Penerimaan Negara Bukan Pajak. Instruksi tersebut berisi di antaranya bahwa APIP, baik pusat maupun daerah, agar memasukkan rencana pengawasan atas pelaksanaan kewajiban perpajakan bendahara atas belanja pemerintah pada Program Kerja Pengawasan Tahunan masing-masing APIP dan menyampaikan laporannya kepada Menteri Keuangan secara berkala. Tujuan atas instruksi tersebut jelas untuk mendorong penerimaan perpajakan, terutama yang berasal dari belanja pemerintah.

Strategi seperti ini, yakni memasukkan program strategis nasional ke dalam pengawasan yang wajib dilakukan oleh seluruh APIP terkait dan menjadikan salah satu APIP sebagai leader, sepertinya diperlukan pula untuk program-program pemerintah yang strategis lainnya, seperti misalnya pengawasan atas pemanfaatan Dana Desa.
Tantangan terakhir adalah era digital. Berbagai tugas dan fungsi yang dilakukan oleh suatu instansi saat ini telah mengadopsi sistem digital, hal ini turut mempengaruhi cara kerja APIP. Maka strategi yang harus dilakukan APIP adalah peningkatan kemampuan auditor melalui penguasaan teknologi dan kemampuan melakukan audit atas teknologi informasi. Penggunaan teknologi sebagai alat bantu audit juga diperlukan, di antaranya seperti penggunaan sistem audit elektronik yang paperless dan dapat diakses di mana saja (misal: kertas kerja elektronik) serta penggunaan teknik audit berbantuan komputer.

Di masa depan mungkin saja porsi auditor untuk turun ke lapangan dapat dikurangi dan sebagai gantinya auditor dapat mengembangkan dan memanfaatkan kecerdasan buatan untuk membantu melaksanakan pengawasan secara digital dan real time. ***

Subscribe to receive free email updates: