Tantangan Periode Kedua Menangani Intoleransi

Tantangan Periode Kedua Menangani Intoleransi

Oleh : Alamsyah M Dja'far ; Manajer Program Wahid Foundation Jakarta
MEDIA INDONESIAPada: Selasa, 09 Jul 2019, 09:40 WIB


PERKARA toleransi dan intoleransi bukanlah semata-mata masalah hukum. Pantas dicatat negara-negara yang dianggap memiliki tradisi demokrasi yang kuat seperti sejumlah negara maju di benua Amerika dan Eropa, sekarang ini justru memampang paradoks tersebut; intoleransi makin menguat. Tampaknya Indonesia di bawah periode kedua Presiden Joko Widodo juga masih bakal menghadapi tantangan intoleransi seperti bisa terlihat jelang pemilihan presiden (pilpres), bukan hanya di lingkungan pemilih pesaingnya, melainkan juga di kalangan pendukungnya. 

Dengan argumen itu, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan kecurangan pemilu dan menentukan presiden dan wakil presiden terpilih 2019-2024 (semoga) memang dapat mengakhiri perdebatan hukum tersebut. Akan tetapi, belum bisa dipastikan akan mengurangi ketidakpuasaan, termasuk tindakan-tindakan intoleransi. Jadi, usaha-usaha memformulasikan masalah dan solusi-solusi strategis termasuk menyentuh faktor kunci lain, seperti problem kultur, politik, psikologi, dan ekonomi amat menentukan keberhasilan, termasuk kegagalan menangani intoleransi. Di sinilah pekerjaan berat presiden hasil Pemilu 2019.
Diawali kebencian
Sejumlah studi sering meyakinkan pembacanya jika kebencian (hatred) ialah pokok perkara intoleransi. Ia dianggap kunci yang memungkinkan sikap dan tindakan intoleransi meledak. Sementara itu, celah hukum dan narasi agama hanyalah 'alat' agar kebencian mendapatkan sasarannya. Ambil contoh sederhana, orang-orang bisa melakukan aksi-aksi intoleransi seperti ujaran kebencian, bahkan kekerasan kepada komunis, LGBT, Yahudi--tiga kelompok teratas yang paling tak disukai muslim Indonesia versi Survei Wahid Foundation 2017--jika disulut kebencian.
Mereka yang marah terhadap orang yang dituduh komunis, misalnya, tidak otomatis melakukan ujaran kebencian atau menghalang-halangi mereka untuk mendapat hak-hak lain seperti berkumpul atau berdiskusi. Kebencian tak lain bentuk ekstrem dari perasaan tak suka (dislike) yang terkait dengan keinginan mencelakakan kelompok di luar mereka dan dalam kasus-kasus ekstrem mendorong orang berkeinginan menghancurkan kelompok tersebut.
Mereka yang sudah di tahap kebencian dapat dikatakan sebagai kelompok dalam kategori 'stadium lanjut' di kalangan yang terpapar intoleransi. Sampai di sini kita bisa memahami, mengapa ada orang-orang yang tak mau menerima tumpukan penjelasan jika Jokowi bukan PKI dan menunjukkan kebencian yang berlebih. Sama halnya dengan kebencian terhadap komunitas Ahmadiyah meski mereka tak pernah berjumpa sama sekali.
Akan tetapi, kebencian bukan satu faktor emosi yang menyumbang intoleransi. Hal lain yang harus juga dipertimbangkan ialah perasan ketakutan (fear) dan terancam (threat) terhadap kelompok yang tak disukai dan dibenci. Situasi itu terjadi dan dapat dipahami lewat narasi yang dilempar pendukung fanatik kedua pasangan presiden. Misalnya, narasi tentang ancaman Tiongkok dan komunis, gerakan radikal dan teroris, termasuk tirani minoritas nonmuslim atas mayoritas muslim.
Menurut survei nasional Wahid Foundation 2017, umat Islam yang merasa ketakutan ini terbilang lumayan. Sebanyak sebanyak 14,8 % responden mengalami perasaan terdeprivasi dan teralienasi. Di kalangan umat Islam misalnya, perasaan ini bisa muncul dalam pandangan jika ekonomi orang Islam lebih buruk; muslim diperlakukan tak adil atau suara nonmuslim lebih berpengaruh jika dibandingkan dengan umat Islam.
Jika diproyeksikan dengan 164 juta pemilih muslim dewasa di Tanah Air, jumlahnya ada 24 juta muslim. Ini makin bertambah jika merujuk pada responden yang dikategorikan netral, artinya antara merasa terdeprivasi atau tidak sebanyak 57,5% atau sekitar 94 juta muslim. Data ini tidak berarti umat di luar Islam terbebas dari situasi ini. Kasus-kasus di Eropa dengan meningkatnya ketidaksukaan pada imigran membuktikan gejala serupa.
Mengapa faktor-faktor ini mewabah ke banyak orang dan menyumbang tindakan intoleransi? Biang keladinya tak lain praktik 'politisasi kebencian'. Ini dapat ditakrifkan sebagai upaya-upaya akuisisi kapital politik melalui berbagai aktivitas oleh kelompok atau institusi yang diarahkan mencapai kepentingan dalam mencapai atau mempertahankan kekuasaan. Kapital politik ini tak lain kebencian dan perasaan terancam terhadap kelompok lain yang tak disukai, bisa karena agama, keyakinan, etnik, orientasi seksual, pilihan politik, atau basis lainnya. Tergantung konteks.
Populisme
Politisasi kebencian sering pula disebabkan pengaruh politik populisme. Sebuah penanda penting dari gerakan ini ialah ideologi populisme yang hitam-putih. Populisme membagi masyarakat dalam dua kelompok yang seragam dan homogen. Hanya ada masyarakat yang murni berhadapan dengan elite yang korup, dan politik harus merupakan ekspresi dari kehendak umum masyarakat. Melalui populisme, perasaan terancam dan kebencian itu selalu 'diisi ulang'.
Untuk mengatasi kompleksitas masalah itu, Presiden dan pemerintahannya harus merumuskan langkah-langkah strategis mengurangi kebencian melalui saluran-saluran trategis, termasuk media sosial, dalam bentuk pencegahan atau penegakan hukum yang adil dan transparan. Cara-cara 'kultural' lewat dialog dan program-program kreatif tampaknya juga akan lebih bermakna. Cara-cara itu harus bisa dipastikan menyasar--khususnya kepada pihak yang kalah dan para pendukungnya--memberi pesan, bahwa pemerintah tidak memusuhi dan merampas hak-hak mereka, tetapi memastikan mereka terlindungi.
Pada saat bersamaan, pemerintah juga harus memberi perhatian para aktor praktik politisasi agama. Di sinilah pentingnya pemetaan berbasis data memahami keragaman kalangan yang terpapar intoleransi; antara masyarakat telah divonis 'sakit parah', mereka rentan, dan aktor yang sengaja menyebar virus. Jelas cara menanganinya perlu beragam. Riset-riset mengenai ini sudah cukup melimpah.
Untuk mengatasi perasaan terancam dan mengalami ketidakadilan, sepertinya pemerintah perlu menyusun komunikasi strategis berisi pesan apa, bagaimana, kapan, dan oleh siapa dilakukan. Bagaimanapun perasaan terancam dan dan tidak diperlakukan adil sering kali bersifat subjektif dan kurang faktual. Misalnya perasaan Islam dizalimi, kriminalisasi ulama, atau ekonomi umat Islam dikuasai asing. Dengan strategi komunikasi yang terarah, narasi-narasi semacam itu bisa 'dinetralisasi' dan 'berimbang', setidak bagi mereka yang rentan tadi.
Pada akhirnya usaha mengatasi politisasi kebencian ini usaha mendesak lantaran daya rusaknya. Ia mewariskan kecurigaan, perasaan tidak aman (insecure), segregasi sosial, dan meningkatkan risiko diskriminasi serta ancamana kekerasan. ***

Subscribe to receive free email updates: