Fenomena tersebut mendapat sorotan dari ekonom senior Rizal Ramli. Menurut dia, telah terjadi penyalahgunaan quick count oleh lembaga-lembaga survei di Tanah Air sebagai alat untuk menyembunyikan kecurangan petahana.
“Di Filipina, quick count dimulai oleh kelompok oposisi NAMFREL, untuk melawan kecurangan diktator Ferdinand Marcos. Di Indonesia, quick count justru digunakan untuk membungkus kecurangan penguasa, karena perusahaan-perusahaan polling adalah ‘benalu demokrasi’,” ungkap Rizal Ramli di Jakarta, Kamis (18/4).
Mantan menteri Kabinet Kerja itu pun menaksir tingkat kesalahan (margin of error) yang dilakukan lembaga-lembaga survei Indonesia cukup besar. “Kesalahan perkiraan ‘Jokowi Effect’ 17%= 8,5 x margin of error,” ucapnya.
Sekitar jam 15.00 WIB kemarin, beberapa lembaga survei menempatkan pasangan Joko Widodo-Maruf Amin sebagai jawara Pilpres 2019 dengan perolehan sekira 54 persen suara. Sementara, pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mendapat 45 persen suara.
Menanggapi itu, Prabowo tetap optimistis menang dan menegaskan bahwa ada lembaga-lembaga survei yang memang sudah bekerja untuk satu pihak. Bersamaan dengan pernyataan tersebut, dia mengungkapkan bahwa hasil exit poll internalnya di 5.000 TPS menunjukkan Prabowo-Sandi menang 55,4 persen. Sementara, hasil quick count internalnya menang 52,2 persen. [ins]