Jumat 05 Juli 2019, 16:00 WIB
Agama dan Kebijakan (Instansi) Publik
SD Negeri Karangtengah III Gunungkidul dan RSUD Tangerang memberikan contoh buruk bagi nasib serta masa depan pluralisme di negeri ini. Betapa tidak, keduanya menelurkan aturan-aturan yang salah kaprah dan salah tempat.
SD Negeri Karangtengah III Gunungkidul mengeluarkan surat edaran yang mewajibkan (belakangan direvisi menjadi menganjurkan) setiap murid mengenakan seragam pakaian muslim. Sementara itu, RSUD Tangerang memasang papan pengumuman soal aturan pendamping pasien berdasarkan prinsip syariah. Dalam foto-foto yang beredar luas di dunia maya, aturan itu meminta supaya pendamping dan pasien sebaiknya tidak berlawanan jenis agar terhindar dari khalawat (berduaan selain dengan anggota keluarga inti) dan ikhtilath (pencampuran pria dan wanita).
Memang kedua aturan itu sudah dicopot karena gelombang protes dari masyarakat, tapi kita patut bertanya bagaimana bisa peraturan-peraturan seperti itu dikeluarkan? Padahal keduanya merupakan instansi pemerintah. Artinya, pembangunan SD Negeri Karangtengah III Gunungkidul dan RSUD Tangerang berasal dari uang pajak. Tata kelolanya juga bersumber dari uang pajak. Pajak sendiri merupakan kewajiban setiap warga negara tanpa memandang latar belakang keagamaan dan unsur-unsur SARA lainnya. Dengan demikian, kedua instansi ini adalah milik setiap individu.
Tentu aneh apabila ada dikeluarkan aturan-aturan yang notabene merupakan representasi satu agama sedangkan pada praktiknya kedua instansi itu akan berhadapan dengan masyarakat yang berbeda-beda agama. Para calon peserta didik yang beragama non-muslim akan merasakan ketidaknyamanan dan beban serta tekanan psikis dalam mengecap pendidikan di SD Negeri Karangtengah III Gunungkidul karena harus memakai seragam dengan atribut agama yang bukan mereka anut. Begitu juga dengan para pasien non-muslim di RSUD Tangerang, mereka akan rentan mengalami diskriminasi atau setidak-tidaknya perasaan tidak nyaman saat berobat di sana.
Beruntung karena dua polemik ini menyeruak ke permukaan dan menjadi viral di masyarakat. Jika tidak, bisa jadi aturan-aturan itu akan tetap diimplementasikan. Dan tidak menutup kemungkinan bagi instansi-instansi lain untuk melakukan hal serupa. Apa pun alasannya—termasuk karena daerah itu dihuni oleh mayoritas pemeluk agama tertentu, memberlakukan aturan-aturan yang menjadi domain ajaran satu agama di dalam sebuah instansi publik jelas sangat tidak masuk akal dan punya potensi menghadirkan sekat-sekat eksklusivisme.
Anehnya, terjadi inkonsistensi—untuk tidak menyebut tebang pilih—pada isu seperti ini ketika di beberapa waktu yang lalu di wilayah berbeda terjadi gelombang protes. Di Solo, ratusan orang mendesak pemerintah kota itu untuk mengubah ornamen yang dianggap berbentuk salib pada proyek pembangunan jalan di depan Balai Kota Solo. Juru bicara ormas dari Dewan Syariah Kota Solo, Endro Sudarsono saat itu menegaskan agar menghindari simbol keagamaan di ruang publik selain di tempat ibadah.
Jika di Solo ada penolakan eksistensi simbol atau atribut agama tertentu di ruang publik, seharusnya di tempat-tempat lain juga demikian bukan?
Jika di Solo ada penolakan eksistensi simbol atau atribut agama tertentu di ruang publik, seharusnya di tempat-tempat lain juga demikian bukan?
Fokus pada Kualitas
Ketimbang mengurusi pakaian seragam murid, akan jauh lebih elok apabila SD Negeri Karangtengah III Gunungkidul lebih memperhatikan hal-hal lain yang lebih substansial. Sekolah bisa memberikan teladan yang kuat kepada murid-muridnya. Misalnya tentang membiasakan sikap menghargai pemeluk agama yang berbeda, sopan santun terhadap sesama, dan belajar dengan giat dan bersungguh-sungguh. Atau pihak-pihak terkait di sekolah itu bisa lebih memfokuskan energi, waktu, dan pikiran guna menyusun program-program yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas keilmuan dan profesionalisme guru-gurunya.
Pun demikian dengan RSUD Tangerang. Alih-alih mengatur soal pasien dan pendampingnya selama menjalani pengobatan, akan jauh lebih bijak apabila rumah sakit memperbaiki kualitas pelayanan. Seperti yang kita ketahui, cukup banyak tren masyarakat yang memilih rumah sakit-rumah sakit di negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura untuk tujuan berobat.
Entah kebetulan atau tidak, standar pendidikan dan kesehatan di negara kita justru terbilang rendah. Data yang dikeluarkan Global Talent Competitiveness Index 2019 untuk kawasan ASEAN saja hanya menempatkan pendidikan Indonesia di posisi ke-6 dengan skor 38,61. Kita kalah dari Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, dan Thailand, atau hanya sedikit lebih baik dari Laos, Vietnam, dan Kamboja.
Sementara itu, menurut data, setiap tahunnya Indonesia kehilangan devisa sekitar Rp 100 triliun karena kecenderungan masyarakat berobat ke luar negeri. Tak hanya itu, rumah sakit terbaik di Indonesia berada di posisi nomor 3.858. Belum lagi, publikasi ilmiah rumah sakit di Indonesia yang kalah jauh bila dibandingkan dengan rumah sakit-rumah sakit di lain di Asia. Di Asia saja kita sangat tertinggal, apalagi di tingkat dunia.
Temuan Islamicity Foundation
Saya jadi teringat saat membuka laman Islamicity Foundation (IF), yang mempunyai misi untuk menstimulasi reformasi kedamaian di negara-negara muslim dengan memberdayakan lembaga-lembaga yang efektif. Di beranda web tersebut tertulis kalimat berikut: "I went to the West and saw Islam, but no Muslims; I got back to the East and saw Muslims, but no Islam. (Mohammad Abduh).
Ada yang menarik dari temuan IF pada 2018 lalu. Sepuluh negara teratas dari segi indeks Islamicity-nya justru diisi oleh negara-negara Barat, yakni Selandia Baru, Belanda, Swedia, Irlandia, Swiss, Denmark, Kanada, Australia, Luksemburg, dan Finlandia. Negara-negara dengan penduduk mayoritas Islam malah berada cukup jauh di bawah. Yang terdekat adalah Malaysia di urutan 43 dan Uni Emirat Arab di urutan 47. Sedangkan Indonesia, yang merupakan negara dengan populasi umat Muslim terbesar di dunia, hanya berada di peringkat 74. Arab Saudi, yang menjadi negara tujuan haji, hanya duduk di posisi ke-88.
Dalam menentukan indeks tersebut, IF mengkonversi nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam Alquran ke dalam indeks terukur pada kriteria-kriteria khusus seperti keadilan, kemakmuran, pemerintahan yang bersih dan penghormatan pada manusia. Dan, ketika kita mencoba melakukan komparasi dengan indeks kebahagiaan dunia atau World Happiness Index (WHI) temuan lembaga khusus PBB yang bernama UN Sustainable Development Network (SDSN), hasilnya tidak jauh beda. Negara-negara barat tadi tetap konsisten berada di urutan teratas, sementara negara-negara mayoritas Muslim berada di level menengah.
Saat ini, ada begitu banyak persoalan-persoalan lain yang mesti kita tuntaskan. Negara-negara maju sudah semakin berorientasi masa depan (future-oriented). Mereka mulai menggali ilmu sedalam-dalamnya guna mencari alternatif kehidupan yang lebih menjanjikan di planet lain. Mereka juga kian gencar mengembangkan teknologi-teknolgi canggih seperti human bionics, brain implants, biotech foods, biomimetics, dan lain-lain. Semua dilakukan demi peradaban kehidupan yang lebih baik untuk kehidupan anak-anak dan cucu-cucu mereka di masa mendatang. Kita pun harusnya seperti itu.
Intinya adalah mari kita membangun bangsa ini sebagai satu kesatuan yang utuh tanpa harus terganggu oleh perbedaan. Bukankah dulu para pejuang kita berhasil mengusir penjajah tanpa membeda-bedakan identitas primordial?
Deddy Kristian Aritonang ; Kolumnis lepas, guru SMP/SMA Sutomo 2 Medan dan dosen PTS