Jumat 05 Juli 2019, 15:27 WIB
Kolom
Risiko Kesalehan Kita
Pada beberapa tahun terakhir ini, masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim sering digambarkan sebagai sedang religius-religiusnya. Fenomena ini tidak dapat dipisahkan dari konteks sosio-kultural dan politik bangsa ini. Ada masanya dulu ekspresi keberagamaan dibatasi, tetapi dengan dimulainya era Reformasi dan otoritarianisme Orde Baru berakhir, semua orang dapat bersuara dan mengekspresikan kesalehan dirinya.
Orang Islam yang mayoritas pun mendapatkan kesempatan dan momentumnya. Di Indonesia saat ini beragama sangat mudah dan difasilitasi oleh baik pemerintah maupun swasta. Produk-produk halal gencar, gaya hidup Islami populer, pelaksanaan ibadah dimudahkan, pendidikan agama dan dakwah Islam disiarkan di mana-mana. Agama menjadi inti kehidupan dan bahkan menjadi faktor yang sangat dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah.
Contoh yang paling mudah dan sangat jelas adalah pemilihan presiden lalu ketika praktik berpolitik yang religius menjadi corak baru kehidupan berbangsa bernegara. Dikapitalkan oleh media sosial, ada etika politik baru (disebut baru karena sebelumnya jarang didengar) yang berkembang di masyarakat bahwa kriteria utama pemimpin yang dipilih haruslah yang seagama. Kriteria ini menjadi utama dan menggeser ke bawah kriteria-kriteria "sekuler" seperti berkeahlian, berpengalaman, dan berintegritas yang sebetulnya krusial dalam kepemimpinan.
Setelah hal itu, muncul etika baru lainnya: pilihlah pemimpin yang dipilih para ulama atau merupakan hasil pemikiran atau ijtihad para ulama, meski definisi ulama di sini masih diperdebatkan. Ada kepercayaan yang semakin besar terhadap golongan guru-guru agama untuk mewakilkan umat memikirkan siapa yang pantas menjadi pemimpin. Sekalipun sulit diukur dan dibuktikan ketepatan pilihannya, sebagian umat percaya karena kesalehan para guru menjustifikasi siapa yang dipilih sehingga diyakini benar.
Tidak selesai di situ, untuk menguatkan keyakinan terhadap apa yang dipilih, muncul pula ajakan etis mengawali dan mengiringkan pilihan dengan doa dan ibadah kepada Tuhan semoga merestui dan mengabulkan harapan bahwa yang menang adalah yang diinginkan. Lebih lanjut, ketika ternyata yang ditetapkan menang bukan yang ditetapkan berdasarkan ijtihad para ulama, muncul kembali ajakan etis, kembali berdoa kepada Tuhan semoga menghukum siapa yang curang, karena Tuhan Maha Melihat dan mendukung siapa yang benar.
Dalam contoh dengan konteks politik di atas, sejak awal hingga akhir keputusan banyak orang disarati pertimbangan keagamaan. Dari sini muncul anggapan yang berpotensi mengeksklusifkan bahwa tidak dikatakan saleh seseorang sampai ia menyelesaikan persoalan-persoalannya dengan hukum agama; bahwa tidak dikatakan seseorang itu benar sampai ia melandaskan jawaban-jawaban atas pertanyaannya pada pengetahuan agama; bahwa tidak sah atau benar keputusan seseorang tanpa justifikasi agama atau tokoh agama.
Di sinilah dikhawatirkan akan terjadi eksklusivitas agama di atas sumber-sumber pengetahuan yang lain, yakni ilmu pengetahuan dan filsafat (berpikir dengan akal sehat), bersamaan dengan meningkatnya kesalehan masyarakat yang didefinisikan cukup sempit. Kekhawatiran ini cukup nyata melihat adanya fenomena yang beberapa kali diberitakan tentang kalangan terpelajar dan akademisi muslim yang terjebak dalam perilaku menyebarkan hoaks politik dan ujaran kebencian demi mendukung calon presiden tertentu yang disarankan oleh sejumlah ulama.
Meningkatnya kesalehan pribadi yang mengarahkan pada pola pikir dan pengambilan keputusan yang mengutamakan agama saja, sementara mengabaikan ilmu pengetahuan dan pemikiran dengan akal sehat, menyebabkan kontradiksi-kontradiksi dalam perilaku. Bahkan sebetulnya hal itu justru mengkerdilkan makna esensial agama yang bertujuan membimbing dan memperbaiki perilaku manusia secara utuh. Perilaku dengan niat yang lurus dan benar seharusnya menghasilkan buah yang bermanfaat, bukan kekacauan atau kerusakan di masyarakat.
Meningkatnya kesalehan pribadi yang mengarahkan pada pola pikir dan pengambilan keputusan yang mengutamakan agama saja, sementara mengabaikan ilmu pengetahuan dan pemikiran dengan akal sehat, menyebabkan kontradiksi-kontradiksi dalam perilaku. Bahkan sebetulnya hal itu justru mengkerdilkan makna esensial agama yang bertujuan membimbing dan memperbaiki perilaku manusia secara utuh. Perilaku dengan niat yang lurus dan benar seharusnya menghasilkan buah yang bermanfaat, bukan kekacauan atau kerusakan di masyarakat.
Seperti yang dikatakan oleh filsuf asal Belanda Van der Weij, "... seorang beragama yang sederhana mungkin hanya akan mencari (jawaban) dalam apa yang dikatakan oleh agamanya. Seorang beragama yang berpendidikan akan minta juga pandangan ilmu pengetahuan dan filsafat." Masyarakat yang saleh ini seharusnya diarahkan menuju beragama yang berpendidikan, bukan beragama yang sederhana saja tanpa pemikiran dan kehati-hati dalam menjalankan perintah dan larangan.
Beragama yang berpendidikan ini tercermin dalam satu ungkapan dalam Alquran, yakni "ulul albab" atau "orang yang berakal" dalam menjalankan tuntunan agamanya. Itulah yang sebetulnya dikehendaki dalam pengamalan agama, yakni beragama yang disertai dengan pemikiran yang cerdas dan ilmiah, pemahaman dan kebijaksanaan, sehingga dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah manfaat dapat dimaksimalkan dan mudarat dapat dicegah.
Integrasi kesadaran dan semangat beragama dengan pengetahuan yang ilmiah dan kebijaksanaan adalah kunci menjadikan agama sebagai tenaga penggerak menuju perbaikan kondisi-kondisi di masyarakat. Sementara itu, menceraikannya dengan ilmu pengetahuan dan pemikiran yang bijak dan hati-hati justru menghasilkan perilaku yang tak etis dan rusak dikarenakan agama berpotensi hanya menjadi alat menjustifikasi kepentingan-kepentingan manusia. ***