Apa Kabar Reformasi SDM Polri
SEJUMLAH hasil survei tentang Polri dalam beberapa tahun belakangan ini menunjukkan performa cukup menggembirakan. Hasil survei Markplus yang dirilis awal Februari 2019, misalnya, menunjukkan indeks kepuasan dan kepercayaan terhadap institusi kepolisian mencapai masing-masing 74,46% dan 80,37%. Survei terhadap 34 kepolisian daerah (polda) dan 461 kepolisian resor (polres) selama September-November 2018 itu melibatkan 29.250 responden.
Kepuasan dan kepercayaan publik terhadap institusi Polri itu mencakup empat aspek, yakni; kultur, kinerja, penanganan isu terkini, dan manajemen media. Penilaian positif tersebut tentu tidak lepas dari pembenahan dan perbaikan internal Korps Bhayangkara itu, yang pada 1 Juli ini merayakan hari ulang tahun ke-73.
Namun, insiden kerusuhan 21-22 Mei lalu di tengah gelombang demonstrasi memprotes dugaan kecurangan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 memunculkan pertanyaan. Ada apa dengan polisi kita? Kenapa di lapangan nyata dan jagat maya polisi tampak menjadi sasaran kemurkaan masyarakat sehingga terkesan yang terjadi bukan kerusuhan massa pendemo, melainkan 'perang' antara polisi dan warga? Dalam insiden di Jakarta itu, sembilan orang tewas dan puluhan lainnya luka-luka.
Performa Polri melindungi dan mengayomi masyarakat yang hendak menggunakan hak mereka berdemokrasi menyampaikan pendapat pun dipertanyakan. Polri juga tampak kewalahan dalam penanganan isu terkini dan manajemen media, terutama di jejaring sosial. Para perusuh memang harus ditindak, tetapi tentu dengan tindakan yang terukur dalam koridor penegakan hukum.
Dalam demokrasi, demonstrasi merupakan hak warga negara. Tugas polisi ialah mengawal agar unjuk rasa berlangsung tertib dan aman. Itulah esensi dari democratic policing, perpolisian demokratis. Dalam menjalankan tugas menjamin kamtibmas dan melayani masyarakat, aparat kepolisian harus memperhatikan hak asasi manusia (HAM) dan partisipasi masyarakat madani (civil society), transparan, dan akuntabel.
Gary T Marx dalam artikelnya Police and Democracy (dalam M Amir & S Einstein, eds, Policing, Security and Democracy: Theory and Practice, Vol 2, 2005) menguraikan tiga elemen penting democratic policing. Pertama, bekerja dalam koridor norma dan aturan hukum. Kedua, penghormatan terhadap harkat kemanusiaan dan HAM. Ketiga, akuntabilitas publik.
Tulisan ini tidak membahas masalah kerusuhan tersebut, tetapi lebih menyoroti aspek pengelolaan sumber daya manusia (SDM) Polri yang menjadi titik pangkal krusial dalam mewujudkan visi Polri promoter, yakni; profesional, modern, dan tepercaya.
Pembenahan hulu-hilir
Di bawah kepemimpinan Jenderal M Tito Karnavian yang dilantik sebagai Kapolri oleh Presiden Jokowi Widodo (Jokowi) pada 13 Juli 2016, masyarakat menaruh harapan sekaligus kepercayaan besar. Publik berharap korps baju cokelat itu dapat menjalankan fungsi/perannya dalam menegakkan hukum-keadilan, mengayomi warga dari gangguan kamtibmas, dan melayani masyarakat secara profesional dan optimal. Untuk memenuhi harapan masyarakat yang tinggi itulah, Kapolri mengusung visi Polri promoter.
Di bawah kepemimpinan Jenderal M Tito Karnavian yang dilantik sebagai Kapolri oleh Presiden Jokowi Widodo (Jokowi) pada 13 Juli 2016, masyarakat menaruh harapan sekaligus kepercayaan besar. Publik berharap korps baju cokelat itu dapat menjalankan fungsi/perannya dalam menegakkan hukum-keadilan, mengayomi warga dari gangguan kamtibmas, dan melayani masyarakat secara profesional dan optimal. Untuk memenuhi harapan masyarakat yang tinggi itulah, Kapolri mengusung visi Polri promoter.
Kunci untuk mewujudkan visi tersebut ialah reformasi SDM Polri. Upaya menciptakan SDM Polri yang profesional, ditempuh dengan meningkatkan kompetensi para personelnya melalui pendidikan/pelatihan dan penerapan prosedur baku yang terukur dalam pelaksanaan tugas dan fungsi kepolisian.
SDM profesional Polri harus dituntut mampu mengoperasikan sistem layanan masyarakat dan penegakan hukum yang ditopang alat material khusus (almatsus) dan alat peralatan keamanan (alpakam) yang semakin modern dan canggih.
Pada akhirnya, untuk mewujudkan Polri yang tepercaya, diperlukan personel polisi yang punya integritas dan kredibilitas, baik di level para pemimpin maupun pelaksana di lapangan yang langsung berhadapan dengan masyarakat. Hal ini hanya dapat diwujudkan jika manajemen SDM Polri dari hulu hingga hilir dilaksanakan secara objektif, clear, dan clean. Tidak ada klik-klikan berdasarkan angkatan pendidikan, daerah, suku, atau semacamnya.
Hal itu dapat tercapai jika dan hanya jika rekrutmen calon anggota Polri dan proses pembinaan karier setelah mereka resmi bertugas dilaksanakan secara bersih, transparan, akuntabel, dan humanis (betah). Proses rekrutmen dan pembinaan karier (binkar) anggota Polri haruslah ditujukan semata-semata untuk menemukan bibit-bibit unggul yang tahan dari berbagai serangan penyakit. Selanjutnya, bibit unggul itu digembleng dalam sistem pendidikan yang juga ‘betah’.
Setelah lulus, seluruh proses binkar mulai penempatan hingga kenaikan/promosi pangkat/jabatan juga harus steril dari permainan 'jeruk makan jeruk', suap-menyuap, katebelece, atau sponsorship.
Mustahil mengharapkan hasil panen yang berkualitas jika benih yang disemai bukan jenis bibit unggul. Bahkan, bibit unggul kemudian memerlukan lahan persemaian yang subur dan iklim yang kondusif bagi tumbuh kembang tanaman varietas unggul sekalipun. Demikian pula dengan Polri. Polisi promoter tentu terlahir dari bibit unggul para calon siswa/i dan taruna/i. Bibit unggul itu akan dapat bertumbuh kembang secara optimal jika ada iklim kompetisi yang objektif, clear, dan clean dalam meniti jenjang karier.
Penempatan tugas baik di satuan kerja (satker), satuan wilayah (satwil), maupun satuan fungsional, dan pembinaan jenjang karier baik dalam kenaikan pangkat maupun promosi jabatan harus didasarkan pada prinsip the right person on the right place dan merit system.
Pembenahan atau reformasi SDM Polri dari hulu hingga hilir itu sesungguhnya pernah bergema dan nyatanya dapat diterapkan dengan baik. Itu terjadi pada kurun 2017-2018 semasa Asisten SDM Kapolri dijabat Irjen Arief Sulistyanto (kini Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri berpangkat Komisaris Jenderal). Pola rekrutmen dan binkar Polri yang clear and clean itu mendapat sambutan positif dari masyarakat, bahkan internal Polri juga antusias. Moral jajaran anggota Polri naik. Apresiasi dan harapan masyarakat terhadap Polri pun mencuat. Citra institusi Polri pun ikut terkerek.
Rekrutmen calon anggota Polri di semua tingkatan, baik tamtama, bintara, maupun perwira (Akpol dan Sekolah Inspektur Polisi Sumber Sarjana atau SIPSS) dilaksanakan secara 'betah', yakni berdasarkan prinsip bersih, transparan, akuntabel, dan humanis. Demikian pula proses pembinaan karier anggota, baik dalam penempatan tugas, pendidikan lanjutan (spesialisasi maupun kepemimpinan), dan promosi jabatan atau kenaikan pangkat.
Semua anggota punya peluang yang sama untuk sekolah, naik pangkat, dan menduduki suatu jabatan. Seluruh panitia seleksi calon siswa/taruna di semua level harus disumpah dan menandatangani pakta integritas. Para calon siswa/taruna dan orangtua/keluarga mereka juga terikat sumpah dan pakta integritas untuk tidak main uang, pakai katebelece, menggunakan dukungan sponsor, dan cara-cara tidak fair lainnya. Jika melanggar, sanksinya ialah otomatis gugur dari proses seleksi dan menghadapi ancaman proses pidana.
Sulit rasanya berharap polisi bisa menegakkan integritas dan kredibiltas di mata publik dalam menjalankan tugas penegakan hukum dan perlindungan kamtibmas, jika di internal saja gagal menerapkannya. ***