Sunda dan Lelucon Politik

Sunda dan Lelucon Politik

Oleh : Asep Salahudin ; Wakil Rektor Bidang Akademik IAILM Suryalaya Tasikmalaya Ketua Lakpesdam Pimpinan Wilayah NU Jawa Barat
MEDIA INDONESIAPada: Sabtu, 06 Jul 2019, 01:20 WIB

"PADA akhirnya semua hanyalah lelucon." Ini ialah perkataan Charlie Chaplin. Akhirnya terpaksa kita, minimal saya, harus menyetujui pernyataan itu. Salahnya kita sering kali terlalu serius dalam melihat dan membaca peristiwa yang terjadi di sekeliling. Jangan-jangan sikap yang (sok) serius ini sesunguhnya yang menjadi asal-usul terciptanya kehidupan yang penuh ketegangan, baik dalam sektor politik, sosial, maupun keagamaan. 

Boleh jadi radikalisme juga berawal dari itu, yang akhirnya menimbulkan cara pandang hitam-putih. Politik menjadi bipolar kawan dan lawan, sedangkan kehidupan sosial terbentuk dalam sebuah relasi jejaring dikotomi antara 'aku' dan 'kamu'. Radikalisme yang membuat mata kita tertutup dari sebuah kenyataan hidup yang warna-warni, pelangi, dan penuh nuansa.
Akhirnya semua hanyalah lelucon. Antara tragedi dan komedi sering kali bertukar tempat. Ustaz dan penyebar hoaks kadang kala bergandengan tangan. Malah seorang mantan pelawak dan bekas anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) yang kebetulan bernama Komar serius memalsukan ijazah S-2 dan S-3 hanya karena ingin mencicipi jabatan rektor atau jangan-jangan rektor itu dianggap singkatan kerek di kantor (tidur di kantor).
Dalam politik, bahkan termaktub tesis bahwa tak ada kawan abadi, kecuali kepentingan. Ternyata oposisi dan koalisi bukan persoalan ideologi apalagi kebenaran agama, melainkan sepenuhnya soal kursi, ihwal dengan siapa berkongsi dan apa yang didapatkan dari persekutuan itu.
Dahulu kala ketika almukarrom Ulil Abshar Abdalla melontarkan gagasan keagamaan yang liberal, kelompok 'kanan' bukan hanya tak setuju, bahkan memuntahkan cacian dengan kata-kata yang tak beradab, tetapi manakala Rocky Gerung menyampaikan hal yang sama, bahkan mungkin lebih liberal terpaksa mereka harus mengucahnya mentah-mentah, bahkan Gerung diberi panggung.
Itu juga mungkin yang menjadi alasan pokok Presiden keempat KH Abdurrahman Wahid selalu menyampaikan dan menyelesaikan berbagai hal dengan lelucon, lewat kekuatan humor. Padahal, kalau menyimak tulisan-tulisannya yang tersebar di jurnal kebudayaan Prisma dan media bukan hanya mengandung bobot ilmiah yang kuat, tetapi refleksinya juga sangat kuat.
Ketika didesak siapa jenderal K yang menjadi dalang kerusuhan itu, dengan enteng Gus Dur menjawab, "Jenderal Kunyuk." Tatkala ditanya apa modal politik dan sosial yang mengantarkannya menjadi presiden, spontan beliau menjawab, "Modalnya dengkul. Itu pun dengkulnya Amien Rais!"
Ternyata Gus Dur tidak hanya 'mempermainkan' politik, tetapi juga di tangannya, ajaran keagaman 'dipermainkan' sehingga menjadi cair dan tampak tidak kaku apalagi menakutkan. Tatkala didatangi seorang kiai yang stres karena anak satu-satunya masuk Kristen, dan telah berdoa di mana-ana bahkan di tempat mustajab, padahal dia dikader sebagai pelanjut pesantrennya tetapi sang anak masih tetap dalam keyakinan pilihannya, Gus Dur menjawab, "Jangan berdoa pada Tuhan, Tuhan juga sama stres karena anak satu-satunya Yesus masuk Kristen!".
Ketika didesak untuk membuktikan bahwa jemaah NU itu populasinya terbanyak di dunia, beliau tangkas menjawab, "Ya, karena anggota NU bukan hanya yang masih hidup, yang sudah mati juga masih dihitung!"
Rekonsiliasi
Pada 30 Juni-1 Juli 2019 saya dan pendiri Jaka Tarub Dr Wawan Gunawan diminta Task Force Jawa Barat untuk berbicara pada acara Festival Rakyat Kebhinekaan, Halal Bihalal Kebangsaan dan Dalog Publik-Silaturahmi Naisonal: Merajut Indonesia dalam Perdamaian. Tema yang diajukan Humor: penawar racun radikalisme dan ekstremisme.  
Bagi saya sendiri, hasil penelitian yang sering menyebut Jawa Barat sebagai provinsi dengan tingkat radikalisme yang cukup tinggi seperti banyak disampaikan lembaga survei, tak perlu disikapi berlebihan dan sangat serius walaupun harus tetap diwaspadai. Begitu juga sikap dan pilihan politiknya musti dibaca dengan tenang dan tidak tergesa-gesa.
Di Jawa Barat itu tak ada orientasi keagamaan (keormasan) dan ideologi partai politik yang kuat dan menghunjam ke palung alam bawah sadar segenap warganya. Hidup dan kehidupannya selalu cair dan tidak mudah diterka ke mana arah angin itu tertiup. Sering kali berubah dalam sesaat. Si Kibayan mungkin bisa melambangkan konsep diri manusia Sunda, seperti Nasruddin Khaza di Timur Tengah.
Seorang yang menyelesaikan masalah tidak lewat rasio instrumental, tetapi melalui canda. Di tangannya hidup yang pelik menjadi mudah dan menggembirakan, masalah yang besar menjadi tampak ringan dan riang.
Di Jawa Barat tentu ada NU (Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah, tetapi fanatisme jemaah terhadap ormas itu tak sekuat di tempat kelahirannya. Bahkan dalam konteks NU, di Jawa Barat tak sedikit jemaah (bahkan jam'iyyah/pengurus) yang amaliahnya (ritus) NU, tetapi fantasi politik (siyasah) dan pemikirannya (fikrah) bertolak belakang dengan garis perjuangan yang diguratkan secara resmi oleh NU. Muncul juga Persis (Persatuan Islam) yang lahir di Pasundan, tetapi Persis juga berkembang tak sepesat yang dibayangkan kalau tidak bisa dikatakan stagnan.
Coba tengok saja, setiap pemilu partai pemenang selalu bergantian tak ubahnya sebuah arisan ibu-ibu yang diselenggarakan di balai RW. Partai Demokrat, PDIP, dan sekarang pemenangnya giliran Gerindra seiring dengan elektabilitas dan popularitas Prabowo di Pasundan. Zaman Orde Baru jangan direken karena dapat dipastikan Golkar (Golongan Karya) menjadi pemenang utamanya di mana-mana.
Itu juga yang menjadi alasan penting tempo hari Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo memprogandakan islamisme DI (Darul Islam)-nya di Priangan Timur dan sensitivitas politiknya sebagai tangan kanan Haji Omar Said Tjokroaminoto benar-benar teruji: Tidak sedikit masyarakat dan ajengan (kiai) yang tergoda tawaran ideologisnya. Walaupun Kartosoewirjo bukan orang Jawa Barat (beliau lahir di Cepu, Jawa Tengah, pada 1905).   
Simak juga sekian acara yang diselenggarakan Pengurus Besar Paguyuban Pasundan (berdiri 20 Juli 1913), sebagai serikat sosial berbasis etnik yang berdiri jauh sebelum Indonesia diproklamasikan dan lembaga pendidikannya tersebar di berbagai kabupaten kita, Ketua Umumnya Prof M Didi Turmudzi, selalu menyampaikan peristiwa politik nasional dan lokal dengan humor. Belum pernah saya mendengar sebuah orasi politik atau kebudayaan yang dikemas dengan paparan ketat dan argumentasi serius.
Ketika ada yang bertanya dalam sebuah obrolan ringan, kira-kira pilihan capres masyarakat Jawa Barat 2024 akan berlabuh kepada siapa? Ridwan Kamil? Ahok? Anies Baswedan? Ganjar Pranowo? Dedi Mulyadi? Risma Surabaya? Khofifah Indar Parawansa? Puan Maharani? Airlangga Hartarto?  Yenny Wahid? atau Tito Karnavian? Sungguh saya tak kuasa menjawab dan juga tak berminat menjadi konsultan dan dukun politik. Atau silakan saja Anda yang menjawab. Toh, antara konsultan dan dukun politik itu tak jauh berbeda. ***

Subscribe to receive free email updates: