KORAN SINDO Edisi 04-07-2019
Menteri Milenial dan Tantangan 4.0
ALI RIF’AN ; Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia
Presiden dan wakil presiden terpilih 2019-2024 sudah ditetapkan oleh KomisiPemilihanUmum(KPU). Jadwal pelantikan masih menunggu empat bulan lagi.
Sambil menunggu jadwal pelantikan 20 Oktober 2019 mendatang, pekerjaan rumah terdekat Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin adalah menyusun kabinet baru. Lobi-lobi dan negosiasi pun mulai terdengar. Termasuk wacana mendorong Jokowi membentuk zaken kabinet juga kian ramai.
Sambil menunggu jadwal pelantikan 20 Oktober 2019 mendatang, pekerjaan rumah terdekat Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin adalah menyusun kabinet baru. Lobi-lobi dan negosiasi pun mulai terdengar. Termasuk wacana mendorong Jokowi membentuk zaken kabinet juga kian ramai.
Kendati demikian, salah satu diskursus yang tak boleh luput dalam riuh-rendah pem - bahasan kabinet adalah soal pentingnya mengakomodasi generasi milenial. Pasalnya, tak sekadar jadi pemanis saat kampanye, pasca-17 April, isu menteri dari kaum muda kerap diutarakan Presiden Jokowi dalam sejumlah kesempatan.
Misalnya pada 18 April 2019 lalu saat menggelar syukuran hasil hitung cepat (quick count) bersama para pimpinan partai pendukung 01. Kemudian pada 28 April 2019 dalam pertemuan dengan Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Amin dan pada 29 April 2019 di hadapan sejumlah wartawan.
Ini artinya, secara pribadi, Jokowi sejatinya punya keter tarikan untuk mendapuk menteri dari kelompok milenial. Pertanyaannya, apakah menteri dari kelompok milenial memang diperlukan dalam pemerintahan Indonesia 2019- 2024? Ataukah itu sekadar lipstik politik? Setidaknya ada lima alasan mengapa keterlibatan figur-figur milenial penting untuk dipertimbangkan dalam konteks pembangunan Indonesia saat ini dan di masa mendatang.
Tantangan 4.0
Pertama, untuk merespons gelombang kepemimpinan milenial global. Harus diakui bahwa kepemimpinan generasi milenial kini mendapat momentum seiring dengan perkembangan new media dan tantangan inovasi.
Sekadar contoh, di Malaysia misalnya terdapat menteri berusia 25 tahun bernama Syed Saddiq Syed Abdul Rahman. Di Uni Emirat Arab (UEA) ada menteri berusia 22 tahun bernama Shamma bin Suhail bin Faris al-Mazrui. Di Irlandia ada menteri ber usia 29 tahun.
Di Austria ada menteri berusia 27 tahun (2013) yang kemudian jadi presiden di usia 31 tahun. Hal sama terjadi di Kanada. Justin Trudeau terpilih se bagai perdana men teri Kanada di usia 39 tahun. Tentu masih banyak yang lainnya.
Kepemimpinan milenial di butuhkan lantaran di era teknologi supercanggih se ka rang, mengutip Vijay Govindarajan dalam The Three- Box Solution: A Strategy for Leading Innovation, yang dibutuhkan negara/organi sasi tidak sekadar orang yang punya kompetensi, tetapi juga kaya dengan inovasi.
Kedua, untuk men jawab tantangan global seiring dengan perkembangan teknologi infor masi dan revo lusi industri 4.0.
Di sini keterlibatan menteri milenial diharapkan mam pu merespons secara adap tif per kembangan ekonomi digital. Tentu ekonomi digital menjadi prasyarat penting untuk mewujudkan mimpi Indonesia menjadi negara eko nomi terbesar keempat dunia tahun 2030, sesuai dengan pre diksi Standard Chartered (2019).
Ketiga, menjawab tantang an bonus demografi. Indonesia pada 2020-2035 akan meng hadapi bonus demografi dengan ledakan penduduk usia produktif (15- 64 tahun) akan mencapai 70%.
Di sisi lain Indonesia saat ini memiliki jumlah generasi milenial berlimpah (data Bappenas menyebutkan sekitar 90 juta penduduk Indonesia berkategori milenial). Situasi itu membuat skema pembangunan Indonesia tidak bisa lagi hanya bersandar kepada generasi lama (tua).
Anak muda, terutama generasi milenial, haruslah terlibat dalam pembangunan. Apalagi generasi milenial dinilai punya gaya kepemimpinan khas sehingga birokrasi yang sebelumnya terlihat kaku dan terkesan berbelit-belit akan menjadi lebih cair dan cepat.
Zaken Kabinet
Keempat, untuk menyiapkan zaken kabinet, yakni membentuk suatu kabinet yang menterinya berasal dari kalangan ahli.
Menurut wapres terpilih KH Maíruf Amin, zaken kabinet tidak kemudian dimaknai mayoritas menteri dari kalangan profesional, tetapi juga dari kalangan partai, apalagi di partai politik juga banyak orang-orang ahli. Tentu sebagai figur yang punya keahlian—ditambah lagi masih bersih dan fresh —, kehadiran generasi milenial dapat mendorong terbentuknya zaken kebinet.
Kelima, menjalankan kepem impinan 4.0. Artinya kabinet 2019-2024 sebagian perlu diisi figur-figur milenial yang mampu menjalankan model kepemimpinan 4.0.
Kepemimpinan model ini adalah kepemim pin an yang punya imajinasi tentang masa depan, mampu menyes uaikandiridenganperubahanglobal, menguasai berbagai teknik dan tools soft-skill yang dibutuhkan saat ini.
Hal itu sejalan dengan riset Harvard University, Carnegie Foundation dan Stanford Reseacrh Center yang mengata kan bahwa kesuksesan pekerja an era 4.0 sebanyak 85% diten tu kan dari soft skill yang di-develop de ngan baik dan kemampuan people skill, sedangkan 15% suk ses datang dari technical skill dan pengetahuan.
Pasalnya di era revolusi industri 4.0 (digital), pembacaan akan situasi makro dan mikro haruslah sangat cer mat karena perubahan global semakin sulit untuk diprediksi lantaran berlangsung dengan supercepat. Visi kepemimpinan yang kuat sesuai dengan konteks zaman dan penguasaan teknologi informasi yang cakap guna merespons setiap perubahan sangat dibutuhkan saat ini.
Termasuk di per lukan kreativi tas dan inovasi tingkat tinggi. Sebagaicontoh, rancangan peta jalan (road map) berjudul Making Indonesia 4.0 sebagai strategi Indonesia memasuki era digital, misalnya, akan sulit terealisasi manakala tidak diimbangi de ngan sumber daya yang punya nalar kepemimpinan 4.0.
Karenanya untuk menjawab tantangan era 4.0, kabinet 2019- 2024 perlu diisi oleh figur-figur milenial yang adaptif dengan perubahan global dan mampu menjalankan kepemimpinan 4.0. ***