Terjebak Keruwetan Politik
Rupanya kalau kita amati, banyak yang masih belum paham bagaimana politik bekerja. Opini dan persepsi kita masih terombang-ambing ke kiri, kanan, ke atas, ke bawah dan hanyut sampai ke muara ketidakpastian. Pandangan kita yang umumnya masih awam dengan praktik politik praktis, apalagi tanpa disertai ilmu yang mumpuni tentang itu membuat kita saling sindir, meremehkan, meng-underestimate pihak lain yang masih dianggap lebih rendah daripada kita, baik dari segi pengetahuan, kemampuan, bahkan kepintaran, hanya karena fanatisme pandangan politik kita dan style yang berbeda dengan mereka.
Selayaknya kita melihat bahwa fenomena politik khususnya pemilu merupakan pentas elite untuk mengaduk-aduk emosi massa. Massa yang termasuk kita di dalamnya harus cerdas memilah dan memilih bagaimana yang sehat untuk kita. Ketika kita bertengkar satu sama lain untuk saling menjagokan pasangan calon yang kita usung, atau tokoh politik idola kita dengan mati-matian, maka tentu saja mereka akan tertawa --menertawakan keluguan kita mengimani politik sebagai jalan hidup yang seolah lurus itu.
Sejujurnya, politik di Indonesia itu sulit di tebak. Tatkala hari ini si A dan si B saling berkompetisi, pada saat yang lain mungkin mereka meraih jalan kompromi dan berkoalisi. Jungkir balik dalam politik di Indonesia ini seharusnya dilihat oleh kita supaya menjadi insan politik yang cerdas. Fanatisme yang kini muncul di time line media sosial dan juga pemberitaan media massa menandakan bahwa kita masih belum sepenuhnya meraih kecerdasan dalam mencerna berita, wacana, dan akrobat para aktor politik atau jajaran elite politik di negeri kita.
Dalam praktik politik seperti itu, wajar jika elite hanya menjadikan kita sebagai komoditas yang laku dijual ketika pemilu hendak berlangsung. Itu semua bukan salah mereka sepenuhnya karena kita sendirilah yang mengambil sikap terbuka untuk dimasuki roh jahat syahwat politik dari sikap fanatisme politik kita yang berlebihan.
Dalam dunia politik, rivalitas adalah semu, yang konkret adalah kepentingan. Akses terhadap keuntungan material dan non material itulah yang harus dipahami bersama oleh kita insan politik yang masih awam ini. Keterjebakan kita dalam permainan diksi para politisi membuat kita tersesat. Apalagi mayoritas kita tidak mampu mencerna dengan baik apa yang disampaikan, dan diperparah dengan literatur yang minim kita baca (kecuali teks di Whatsapp, time line media sosial, dan pembicaraan ngawur ala warung kopi). Praktik propaganda mereka yang kita telan bulat-bulat karena asyiknya kita mengkonsumsi bacaan yang belum tentu jelas sumbernya, khususnya dari media sosial, membuat kita masuk dalam labirin kesesatan yang nyata dalam narasi para aktor tersebut.
Kecerdasan harus kita miliki. Cerdas bukan arti dalam menanggapi kalah atau menang dalam kontestasi pemilu sesuai dengan selera kita dan junjungan kita. Namun kecerdasan yang paling utama dalam praktik berdemokrasi adalah mampunya kita mengontrol para aktor politik dalam mengambil kebijakan publik. Sikap pro dan kontra yang kita tunjukkan saat ini dalam proses kontestasi jangan diperpanjang menjadi sikap dukung-mendukung secara membabi buta dan fanatik, karena hal itu akan mematikan syaraf objektivitas kita sebagai insan politik.
Dukungan yang membabi buta dan fanatik itulah yang diharapkan oleh mereka para elite politik. Maka mereka tak segan untuk mengirimkan pesan melalui buzzer bayaran untuk mendulang opini dan juga simpati dari publik. Kenyataannya, tujuan yang lebih utama yang mereka incar adalah mencapai apa yang mereka inginkan dengan bermodalkan opini publik ini. Teranglah sekarang betapa berbahayanya fanatisme dukung mendukung pada aktor politik yang kita lakukan, jika itu didasarkan pada kacamata kuda yang membunuh nalar sehat kita tanpa sama sekali kita sadari.
Setelah perselisihan hasil pemilu (khususnya presiden) ini terlewati, maka akankah kita mau kembali bahu-membahu memperbaiki nalar kita yang telah menyimpang dan tersesat jauh? Kiranya hanya pertobatan politik yang sungguh-sungguh yang harus kita lakukan untuk mengakhiri fanatisme kita dalam dukung-mendukung ini. Sudahilah perselisihan yang hanya menunjukkan siapa yang menang dan kalah. Berhentilah untuk saling menyerang satu sama lain dengan didasarkan atas perbedaan pandangan politik. Mulailah dengan wacana dan pemahaman baru bahwa perbedaan itu jika dikelola dengan baik berbuntut maslahat dan kebaikan bagi semua.
Tingkatkanlah literasi kita, seperti halnya kita memanjat pohon. Semakin tinggi pohon itu kita panjat, maka kita akan semakin melihat luasnya latar di sekitar kita. Semakin tinggi semakin sejuk dan teduh, dan tidak ada lagi prasangka dan fanatisme. Berjuang boleh dengan langkah yang berbeda, dengan cara yang berbeda, dengan bendera kelompok atau pun partai yang berbeda, namun kita semua mesti ingat bahwa tujuan kita sama, yaitu konsensus dalam UUD 1945 yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa kita.
Percayalah, waktu yang akan membuktikan bahwa nalar politik yang sesungguhnya adalah asimetris tidak linier dalam praktiknya. Itu pulalah yang akan menyadarkan kita bahwa kita ini hanyalah butiran pasir yang dimanfaatkan oleh aktor politik, untuk memenuhi keinginannya dalam membangun tujuan kepentingan yang abadi, di sisi lain topeng yang tampak di depan mata kita. Semoga kita kembali sadar.
Arief Hidayat ; Mahasiswa Departemen Politik dan Pemerintahan UGM Yogyakarta