”Buzzer” Media Sosial dan Kepercayaan Publik
Dua pekan terakhir pemberitaan media ramai dengan isu perang antar-buzzer di media sosial terkait dengan situasi politik saat ini, salah satunya terkait dengan pengesahan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Tahun ini juga tim peneliti dari Universitas Oxford merilis 2019 Global Inventory of Organized Social Media Manipulation yang di dalamnya menyebutkan tentang penggunaan pasukan media sosial di Indonesia. Sebagaimana judulnya, laporan tersebut membahas tentang fenomena global yang terorganisasi dalam memanfaatkan ”pasukan” di media sosial untuk memanipulasi percakapan.Di Indonesia, penggunaan pasukan media sosial ini sebenarnya bukan fenomena baru. Penelitian Lim (2017) saat Pilkada DKI Jakarta 2017 telah menyebutkan adanya upaya memanipulasi konten media sosial dengan menggunakan pasukan buzzer. Penelitian saya dan kolega saya Nuurrianti Jalli dari Universitas Teknologi Mara Malaysia juga menunjukkan bahwa strategi pengerahan pasukan media sosial terjadi pada Pemilu Raya Malaysia tahun 2018 dan Pemilihan Umum 2019 di Indonesia. Strategi ini tidak eksklusif hanya dilakukan oleh salah satu kubu.
Pengertian ”buzzer”
Lalu sebenarnya siapakah yang dimaksud dengan buzzer ini? Istilah buzzer awalnya dikenal dalam dunia pemasaran (marketing) karena adanya kebutuhan untuk mendapatkan perhatian audiens terkait pesan-pesan promosi.
Dengan besarnya produksi dan sirkulasi informasi yang ada di media sosial, dibutuhkan sebuah upaya agar sebuah pesan dapat menerpa sebanyak mungkin audiens. James Webster, Profesor Ilmu Komunikasi dari Northwestern University, AS, dalam bukunya The Marketplace of Attention, mengatakan bahwa perhatian audiens bisa didapatkan dari pesan dan dari struktur.
Di media sosial, pesan yang kuat saja tidak cukup untuk menarik perhatian audiens. Dibutuhkan struktur berupa jumlah pengikut yang mengeklik pesan, memberi likes, dan membagikannya kembali. Dengan begitu, algoritma media sosial akan membaca bahwa pesan tersebut disukai dan penting bagi orang lain.
Kehadiran pasukan media sosial digunakan untuk memanipulasi pesan agar seolah-olah disukai banyak orang dan akan terus muncul di lini masa. Karena tujuannya agar sebuah pesan menjadi viral, buzzer tidak lagi hanya semata manusia, tetapi bisa juga bots—program komputer yang memang dirancang untuk mengamplifikasi pesan. Hingga kini, buzzer dapat hadir dan bertambah jumlahnya karena memang platform media sosial memungkinkan adanya akun anonim atau akun palsu.
Dalam konteks Indonesia, pasukan media sosial kini tak semata hanya buzzer, tetapi juga ada pemimpin opini di media sosial (social media influencer). Teori two-step flow of communication mengatakan bahwa efek media massa terhadap publik bukanlah efek langsung, melainkan lebih dulu memengaruhi pemimpin opini seperti tokoh agama, tokoh masyarakat, pejabat publik, atau selebritas. Para pemimpin opini inilah yang kemudian memengaruhi para pengikutnya.
Di media sosial hari ini, pesan biasanya datang dari pemimpin opini dan lalu diamplifikasi oleh para buzzer agar sebuah pesan menjadi viral. Tujuan utama buzzer sebenarnya untuk membangun agenda publik, bahwa sebuah isu penting dan harus didiskusikan oleh publik. Memengaruhi agenda publik di media sebenarnya bukan hal baru. Sejarah perkembangan media mencatat bahwa setiap kali ada media baru—misalnya koran, radio, ataupun televisi pada masanya—maka setiap itu pula warga negara melihat adanya ruang publik baru (a new public sphere) di mana kita bisa berdiskusi dengan lebih bebas.
Oleh karena itu, menguasai setiap ruang baru ini juga sudah sejak lama menjadi tujuan para pemangku kepentingan, baik oleh pemerintah maupun pebisnis. Memengaruhi agenda publik penting untuk mendapatkan legitimasi atas sebuah kebijakan ataupun program. Selain tujuan utama tersebut, buzzer juga sering digunakan untuk ”menutup” kritik. Caranya adalah dengan ”menyerang” bersamaan sebuah kritik sehingga percakapan berhenti atau si penyampai kritik rusak reputasinya di mata publik. Penyampai kritik ini bisa warga negara biasa, pemimpin opini dari pihak oposisi, ataupun media massa.
Kepercayaan terhadap ”buzzer”
Pertanyaannya sekarang, masihkah kita percaya dengan informasi yang disampaikan dan diamplifikasi oleh para buzzer? Penelitian saya dan kolega saya, Profesor Laeeq Khan, Direktur Social Media Analytics Team Lab dari Ohio University, AS, menunjukkan bahwa pengguna media sosial saat ini sudah melek akan keberadaan buzzer dan mereka cenderung skeptis terhadap informasi yang disampaikan dan digaungkan para buzzer.
Penelitian yang berjudul ”Recognise Misinformation and Verify Before Sharing: A Reasoned Action and Information Literacy Perspective” ini dimuat Februari 2019 di jurnal Behavior and Information Technology terbitan Taylor & Francis. Responden dalam penelitian kami berjumlah 396 mahasiswa dan profesional dari industri media dari beberapa daerah di Indonesia.
Kami menanyakan dengan menggunakan skala 1 sampai 5 (1 = sangat tidak setuju, 2 = tidak setuju, 3 = agak setuju, 4 = setuju, dan 5 = sangat setuju) apakah responden dapat mengidentifikasi jika sebuah akun adalah buzzer. Rupanya rata-rata (mean) jawaban responden adalah 3,33 yang berarti agak setuju bahwa mereka bisa mengidentifikasi sebuah akun buzzer. Tepatnya, sebanyak 40,9 persen menjawab agak setuju, 36,1 persen setuju, 6,8 persen sangat setuju, 15,2 persen tidak setuju, dan 1 persen sangat tidak setuju.
Kami lalu menanyakan apakah responden dapat mengenali jika sebuah pesan di media sosial bertujuan untuk memberikan dukungan (endorsement). Ternyata, mayoritas responden mengatakan setuju (mean 4,05) dapat mengenali pesan endorsement. Hasil ini menunjukkan bahwa sebenarnya pengguna media sosial sudah bisa mengidentifikasi jika sebuah akun adalah buzzer. Pengguna media sosial dalam penelitian ini juga sudah tahu jika sebuah pesan di media sosial sebenarnya bukan semata ekspresi politik, melainkan telah sarat akan ”pesan sponsor”.
Lebih lanjut, penelitian kami menanyakan mengenai ketepercayaan informasi yang didapatkan dari setidaknya empat sumber, yakni media sosial, jaringan pertemanan, buzzer, dan akun media sosial pemerintah. Dengan masih menggunakan skala yang sama, tingkat rata-rata yang paling rendah adalah ketepercayaan informasi dari jaringan pertemanan (mean 2,20), lalu diikuti dengan ketepercayaan informasi dari buzzer (mean 2,54), dan informasi di media sosial (mean 2,91).
Nilai rata-rata ketepercayaan informasi yang paling tinggi rupanya yang didapatkan dari akun media sosial pemerintah (mean 3,48). Artinya, ketimbang informasi dari media sosial, dari jaringan pertemanan, atau dari buzzer sekalipun, informasi dari akun resmi instansi pemerintahlah yang paling dipercayai.
Terkait ketepercayaan informasi dari buzzer di media sosial, meski rata-ratanya adalah 2,54, nilai tengah (median) dan nilai terbanyak (modus) adalah 3. Artinya, responden sebenarnya cenderung agak percaya pada informasi yang disampaikan buzzer.
Tepatnya, sebanyak 41,4 persen menjawab agak setuju, 37,4 persen tidak setuju, 10,2 persen sangat tidak setuju, 9,6 persen setuju, dan hanya 1 persen sangat setuju. Lebih lanjut, mengenai ketepercayaan informasi dari akun media sosial resmi pemerintah, ternyata 44,9 persen menjawab setuju, 36,6 persen agak setuju, 7,3 persen sangat setuju, 9,8 persen tidak setuju, dan 0,8 persen sangat tidak setuju.
Kredibilitas informasi
Lalu apa yang menyebabkan seseorang masih percaya pada informasi yang disampaikan oleh buzzer? Penelitian Li dan Suh (2015) menemukan setidaknya ada tiga faktor yang memengaruhi kredibilitas informasi di media sosial, yakni interaktivitas, transparansi, dan kekuatan argumen. Buzzer media sosial masih agak dipercaya karena umumnya mereka bersedia untuk berinteraksi dengan pengikutnya, misalnya dengan membalas percakapan atau memberi ”likes”.
Selain itu, buzzer juga agak dipercaya karena mereka seolah transparan dalam menyebutkan sumber informasi mereka meski terkadang hanya menyebut bahwa sumbernya adalah ”orang dekat” pihak tertentu. Sering kita jumpai ada buzzer yang bahkan memaparkan bukti pendukung berupa foto ataupun video. Buzzer, terlebih para influencer, juga dapat merangkai pesannya dengan argumen yang logis, meyakinkan, dan dengan bukti-bukti yang bahkan belum diketahui oleh media massa.
Kehadiran buzzer saat adanya unjuk rasa yang mengekspresikan ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga eksekutif dan legislatif beberapa waktu lalu sebenarnya menjadi kontraproduktif. Alih-alih menggiring opini masyarakat untuk menerima dan bersimpati terhadap kedua lembaga negara, kehadiran buzzer malah mempercepat timbulnya rasa tidak percaya di masyarakat.
Untuk membangun informasi yang berkualitas dan bermanfaat bagi publik, sebaiknya pemerintah fokus pada penguatan kapasitas penyediaan dan pelayanan informasi publik, terutama melalui media sosial. Yang juga tak kalah penting, media sosial bukanlah semata alat diseminasi informasi atau membuat ”trending topic”, melainkan sebuah tempat di mana pemegang kebijakan dapat berdialog dengan publik, mencari solusi terbaik bagi permasalahan publik.
Ika Karlina Idris, Direktur Riset Paramadina Public Policy Institute