KEBIJAKAN SOSIAL
Menuju Kebijakan Sosial Progresif
Pemerintahan Jokowi periode kedua mengajak kita menciptakan manusia Indonesia unggul agar Indonesia menjadi negara berpenghasilan menengah tinggi. Saat ini yang kita hadapi kemiskinan absolut sekitar 25 juta orang. Bahkan, 40 persen penduduk atau 100 juta manusia Indonesia mudah jatuh miskin dan hidupnya tak stabil. Turbulensi politik, ekonomi dan bencana saat ini makin membuat kita masih dihantui kemiskinan.
Seruan Presiden untuk perkuat 1.000 hari kehidupan bukanlah pencitraan. Ini soal serius. WHO memperingatkan, 30 persen atau 7 juta anak Indonesia gagal tumbuh. Tertinggi di ASEAN. Gagalnya jutaan bayi tumbuh bukan soal gizi buruk belaka tetapi akibat hidup ibunya buruk, lingkungan tempat tinggal, pendidikan dan keadaan ekonomi juga buruk.Garis kemiskinan kita rendah hanya 1 dollar AS/hari (Rp 425.250/bulan), jauh dari standar kemiskinan negara maju 5,50 dollar AS/hari (Rp 2.310.000/bulan). Kaum muda kita yang 183 juta (2018), 14,4 persen tergolong miskin. Dengan rasio ketergantungan 45,56 persen, rata-rata 1 anak muda menanggung 46 orang. Sebenarnya kita bukan negara miskin. Dengan penduduk yang padat, pendapatan kita (PDB) urutan 11 dunia. Sayangnya, pendapatan/kapita kita rendah hanya 4.260 dollar AS/tahun, di bawah Meksiko, Rusia, dan Brasil yang di atas 10.000 dollar.
Dunia berubah cepat. Pemerataan kue pembangunan saja tak cukup berantas kemiskinan. Transfer dana daerah atau dana desa belum berefek ke penurunan kemiskinan. Dana khusus Papua dan Aceh belum lepaskan mereka dari status termiskin di Indonesia untuk Papua dan di Sumatera untuk Aceh.
Dengan tingginya angka bayi gagal tumbuh, tampaknya para ibu belum merasakan jatah kue otsus. Strategi bantuan sosial (bansos) pun begitu. Belum berdampak pada penurunan kemiskinan, meski sistem perlindungan sosial kita semakin baik sejak pertama dibuat 1997 lewat program jaring pengaman sosial, dan berkembang jadi program Bantuan Langsung Tunai (BLT), Beras Sejahtera (Rastra), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dan Program Keluarga Harapan (PKH). Program ini sudah jauh mengamalkan Pasal 34 UUD 45.
Jangankan fakir miskin dan anak terlantar, ibu hamil, lansia dan anak sekolah masuk skema PKH. Bahkan sistem ini jadi instrumen ekonomi, penggerak ekonomi nasional. Namun, penerima bansos baru dihitung sebagai konsumen berdaya beli. Padahal mereka membeli karena diberi, bukan karena mencipta. Kemiskinan turun tapi hantu kemiskinan bergentayangan.
Saatnya sistem perlindungan sosial beranjak dari model pemberian santunan. Sistem ini harus dalam satu tarikan napas dengan penciptaan lapangan kerja. Revolusi Industri 4.0 mengandalkan kepintaran manusia. Pembangunan ekonomi tanpa pembangunan sosial hampir mustahil. Kita inilah yang jadi sumber kemajuan bangsa. Bila jumlah kaum tak berdaya besar, otomatis daya ekonomi nasional berkurang. Tinggalkan pikiran lama: yang mampu ulurkan tangan pada yang lemah. Semua harus berdaya bila semua ingin survive.
Kementerian Sosial harus bergerak meninggalkan peran sekunder sebatas jawatan sosial yang mengurus tunawisma dan kaum marginal lain. Kemensos harus jadi inti (core) program pembangunan dengan tanggung jawab ekonomi dan motor penggerak tenaga kerja. Di satu sisi program sosial menyinergikan diri dengan pembentukan tenaga kerja aktif. Di lain sisi, ini yang terpenting, mampu ubah kegiatan sosial jadi pekerjaan baru.
Sumber manusia unggul
Untuk itu pertama, penerima bansos harus diarahkan masuk ke ruang kerja dan profesi. Program bansos PKH, BPNT, Rastra bersinergi dengan program pengembangan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) maupun program intensif tenaga kerja tingkat desa dan kabupaten. Kemensos harus bersinergi dengan Kementerian Desa. Sementara, 60 juta pekerja informal, yang selama ini terabaikan, harus dapat fasilitas bansos dan jaminan sosial. Jangan biarkan mereka jadi the middle missing karena tak didata pemerintah. Kemensos harus bersekutu dengan Kementerian Tenaga Kerja.
Kedua, sistem perlindungan sosial harus menciptakan kerja baru, yaitu kerja sosial yang selama ini dianggap bukan pekerjaan, salah satunya pengasuhan. Untuk mencegah jutaan bayi gagal tumbuh perlu program pengasuhan massal dan terorganisasi. Ini tak mungkin kita pasrahkan semata ke ibu bayi.
Pengasuhan bisa diubah jadi pekerjaan. Bila saat ini ada 23 juta bayi hingga usia 4 tahun, 5 juta ibu hamil dan 5 juta ibu bersalin (2018), maka setidaknya ada potensi kerja pengasuhan untuk sekitar 800 bayi setiap bulan. Di luar ini masih ada pengasuhan yang diperlukan bagi lansia, penderita sakit, dan kaum disabilitas. Untuk itu sasaran program bansos bisa diperluas. Bila sebelumnya mereka yang menerima asuhan (care receiver), yaitu keluarga miskin yang memiliki ibu hamil, balita, lansia, sekarang diarahkan juga ke yang mau bekerja memberi asuhan (care giver).
Selama ini pengasuhan bayi nyaris luput dari pengawasan. Puskesmas terbatas bantu kelahiran. Pengasuhan berikutnya umumnya dikerjakan secara tolong-menolong, oleh keluarga (keponakan, bibi, nenek) atau tetangga. Program pengasuhan berbentuk TPA, PAUD juga masih bersifat sukarela, belum berkembang meluas dengan tenaga terlatih, baik tenaga kebidanan, perawat, atau warga yang terbiasa membantu pengasuhan.
Pengasuhan juga diperlukan kaum lansia, penderita sakit rawat jalan dan disabilitas. Perawatannya masih ditanggung keluarga. Dengan berikan insentif, pemerintah telah memberikan pengakuan atas kerja para pengasuh. Jutaan orang yang terbiasa mengasuh bisa jadi tenaga profesional bila ditambah pengetahuannya. Strategi bansos berkembang dari bersifat menyantuni penerima asuhan menjadi bersifat memberdayakan pemberi asuhan.
Dengan berkembangnya paradigma kebijakan Care Receiver Policy dengan memasukkan Care Giver Policy, sistem perlindungan sosial akan keluar dari perannya sebatas sebagai pelampung yang mencegah orang tenggelam ke dasar laut kemiskinan. Kita akan jadi mesin motor boat yang melaju jauh dan bukan mengapung di lautan kemiskinan.
Kebijakan pengasuhan (Care Policy) sudah berkembang di banyak negara. Di Korsel ada Subsidi Pengasuhan Anak. Di Brasil dan Meksiko, subsidi pengasuhan anak diintegrasikan ke program bansos Bolsa Familia dan Prospera. Kolombia secara khusus mencanangkan program ibu-ibu komunitas. Di Uruguay program ini disusun dalam Sistem Perawatan Nasional Terintegrasi mencakup pengasuhan anak, orangtua dan disabilitas. Program ini menargetkan pengurangan pengangguran, perkuat peran perempuan, dan mengatasi kemiskinan.
Kian maju negara, kian besar anggaran program sosial. Perancis memiliki anggaran perlindungan sosial tertinggi sekitar 31,2 persen dari PDB pada 2018. Indonesia baru 1,4 persen PDB pada 2017, amat rendah bagi negara berpendapatan/kapita 4.000 dollar AS. Meski pemerintah berkomitmen meningkatkan anggaran perlindungan sosial 2020 tapi belum sampai menjadikan program sosial suatu investasi manusia Indonesia. Setidaknya, kita harus bisa sampai angka 6 persen seperti Meksiko atau Ukraina.
(Agung Putri Astrid ; Anggota DPR RI 2014-2019, Komisi VIII)