Terorisme Pasca-UU Nomor 5 Tahun 2018
Sangat tragis. Mungkin inilah kata yang bisa digunakan untuk menggambarkan persoalan terkait aksi penusukan terhadap Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto.
Disebut tragis karena korban aksi penusukan ini adalah seorang Menko Polhukam yang sejatinya mendapatkan informasi sangat cukup terkait isu keamanan, tidak hanya terkait dengan keamanan masyarakat, tetapi juga keamanan dirinya sendiri.Terlebih lagi aksi ini diduga dilakukan oleh anggota Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) atau Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) yang notabene organisasinya telah porak poranda seperti sekarang, baik di Timur Tengah sendiri (khususnya di Suriah dan sekitarnya) maupun di Indonesia sekalipun.
Penyerangan ini terjadi tak lama setelah Indonesia memiliki payung hukum baru dalam rangka menyelesaikan persoalan terorisme, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 yang disahkan pada 21 Juni 2018 (sebagai revisi atas UU No 15/2003). Dalam konteks negara besar seperti Indonesia dengan kebebasan masyarakat sipil yang sangat dijunjung tinggi, UU No 5/2018 bisa disebut sebagai ”yang terbaik”. Di satu sisi, kebebasan masyarakat sipil yang ditandai dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia tetap dijunjung tinggi dalam UU ini.
Namun, di sisi lain, UU ini juga memberikan wewenang yang kuat kepada aparat berwajib untuk melakukan penegakan hukum terhadap para pihak yang diduga terlibat dalam persoalan terorisme, khususnya dalam konteks pencegahan.
Dengan adanya UU tersebut, Indonesia sangat istimewa, tak hanya di kawasan, tetapi juga dalam konteks global. Hal itu mengingat tak sedikit negara yang kurang menemukan formula keseimbangan antara kebutuhan keamanan, kebebasan masyarakat, sekaligus penegakan hukum.
Pencegahan optimal
Dalam hemat penulis, setidaknya ada tiga hal dalam UU ini yang menjadi sebuah keistimewaan. Pertama, wewenang pencegahan ataupun upaya penggagalan rencana serangan yang sangat optimal. Sebagai contoh, Pasal 6 UU ini menegaskan: ”Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas…, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun…”.
Dalam hemat penulis, setidaknya ada tiga hal dalam UU ini yang menjadi sebuah keistimewaan. Pertama, wewenang pencegahan ataupun upaya penggagalan rencana serangan yang sangat optimal. Sebagai contoh, Pasal 6 UU ini menegaskan: ”Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas…, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun…”.
Ancaman hukuman lebih kurang sama juga diberikan bagi setiap orang yang memperdagangkan bahan berpotensi menjadi bahan peledak dan digunakan dalam aksi terorisme (2-10 tahun, Pasal 10A Ayat 2). Ancaman hukuman (dengan hukuman yang berbeda-beda) juga diberikan bagi mereka yang bergabung dengan kelompok teroris (Pasal 12A Ayat 2), mereka yang mengikuti pelatihan militer di luar maupun dalam negeri (Pasal 12B Ayat 1), mereka yang memiliki hubungan dengan kelompok teroris (13A), dan masih banyak ancaman hukuman yang bersifat pencegahan.
Apabila semua hal di atas dilakukan dengan tujuan aksi terorisme, ancaman hukuman yang ada bisa dijatuhkan. Penguatan aturan di ranah pencegahan atau upaya penggagalan rencana serangan seperti ini dilakukan untuk menutup kelemahan yang ada dalam UU sebelumnya, yaitu UU No 15/2003.
Karena kelemahan yang ada dalam UU ini (khususnya di ranah pencegahan ataupun upaya penggagalan rencana serangan), aparat keamanan selama ini acap kesulitan melakukan penegakan hukum kepada mereka yang bergabung dengan NIIS di Suriah. Sebab, UU tersebut belum mengatur tentang orang yang bergabung dengan kelompok teroris di luar negeri.
Dengan adanya wewenang yang cukup kuat di bidang pencegahan ataupun upaya penggagalan rencana serangan, sejatinya aksi terorisme bisa dicegah, baik yang menarget masyarakat sipil maupun yang menarget aparat negara (mulai dari aparat keamanan hingga aparatur sipil negara biasa).
Sebagaimana diketahui, kelompok teroris (khususnya kelompok Jamaah Ansharut Daulah/JAD atau NIIS) acap mengafirkan mereka yang menjadi aparat negara. Sementara pengafiran (bagi kelompok teroris seperti ISIS) adalah pintu bagi penghalalan darah. Dengan kata lain, mereka yang dinyatakan kafir boleh (bahkan dalam kondisi tertentu) dianggap wajib dijadikan sasaran target. Alih-alih, Menko Polhukam justru menjadi korban serangan terorisme.
Perlindungan HAM
Kedua, perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM). Di saat memberikan sejumlah kewenangan bagi aparat untuk melakukan penegakan hukum (khususnya dalam konteks pencegahan ataupun upaya penggagalan rencana serangan), UU ini juga mengikat upaya penegakan hukum yang ada dengan prinsip HAM. Bahkan, UU ini memberikan ancaman pidana kepada penegak hukum yang melakukan penegakan hukum tanpa memperhatikan prinsip hak asasi manusia.
Kedua, perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM). Di saat memberikan sejumlah kewenangan bagi aparat untuk melakukan penegakan hukum (khususnya dalam konteks pencegahan ataupun upaya penggagalan rencana serangan), UU ini juga mengikat upaya penegakan hukum yang ada dengan prinsip HAM. Bahkan, UU ini memberikan ancaman pidana kepada penegak hukum yang melakukan penegakan hukum tanpa memperhatikan prinsip hak asasi manusia.
Sebagai contoh, Pasal 25 yang banyak memberikan penguatan wewenang penahanan kepada penyidik dipungkasi dengan dua ayat terkait dengan hak asasi manusia, yaitu Ayat 7 yang berbunyi: ”Pelaksanaan penahanan tersangka tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) sampai dengan Ayat (6) harus dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip hak asasi manusia”. Bahkan, dalam Ayat 8 ditegaskan, ”Setiap penyidik yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (7) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Perlindungan lebih kurang sama terhadap hak asasi manusia juga terdapat dalam Pasal 28 terkait dengan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Ayat 3 dan 4 sebagai pamungkas pasal ini menegaskan bahwa pelaksanaan pasal ini harus mengacu pada prinsip hak asasi manusia dengan ancaman hukuman bagi penyidik yang tidak memperhatikan prinsip hak asasi.
Dengan adanya ketentuan penguatan di atas, sejatinya tak boleh ada upaya penegakan hukum yang justru mengorbankan hak asasi manusia. Dan apabila hal ini terjadi, hukum harus memproses pihak-pihak terkait sesuai dengan ketentuan yang ada.
Pemenuhan hak korban
Ketiga, pemenuhan hak korban terorisme. Ibarat perjalanan panjang, UU No 15/2018 hampir mengantarkan perjuangan pemenuhan hak korban terorisme pada tujuannya, yaitu terpenuhinya hak-hak korban terorisme (minimal secara normatif). Mengingat pada awalnya (khususnya sejak Bom Bali I tahun 2002) tak ada regulasi apa pun di Indonesia yang secara khusus memberikan hak bagi para korban terorisme.
Ketiga, pemenuhan hak korban terorisme. Ibarat perjalanan panjang, UU No 15/2018 hampir mengantarkan perjuangan pemenuhan hak korban terorisme pada tujuannya, yaitu terpenuhinya hak-hak korban terorisme (minimal secara normatif). Mengingat pada awalnya (khususnya sejak Bom Bali I tahun 2002) tak ada regulasi apa pun di Indonesia yang secara khusus memberikan hak bagi para korban terorisme.
Hak korban terorisme perdana yang diatur oleh negara untuk para korban adalah hak kompensasi dan restitusi yang dimuat dalam UU No 15/2003. Ironisnya, sejak Bom Bali I pada tahun 2002 tak ada pelayanan korban terorisme yang berkelanjutan sesuai ketentuan undang-undang (hak). Kalaupun ada layanan untuk para korban, hal itu bersifat sementara atas dasar kemanusiaan (bantuan atau santunan) dari pihak-pihak tertentu, khususnya sebagian pejabat.
Revisi UU Perlindungan Saksi dan Korban No 13/2006 menjadi UU No 31/2014 memperkuat regulasi hak korban terorisme di Indonesia. Dalam UU ini, selain mendapatkan kompensasi dan restitusi, para korban terorisme juga mendapatkan hak medis, psikologis, psikososial, dan hak-hak umum lainnya.
Dan UU No 5/2018 yang merupakan revisi atas UU No 15/2003 menyempurnakan ”kekurangan tersisa” dalam hak-hak korban yang ada. Dalam UU di atas, para korban tak hanya diberikan hak-hak seperti dalam UU No 31/2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, tetapi korban dinyatakan sebagai tanggung jawab negara (Pasal 35A Ayat 1).
Bahkan, para korban aksi terorisme yang terjadi sebelum UU ini disahkan juga diberikan hak kompensasi tanpa harus melalui putusan pengadilan. Inilah yang saat ini menjadi harapan besar bagi para korban bom terorisme lama beserta keluarganya.
Persoalannya adalah keistimewaan hak-hak korban dalam UU ini terancam menjadi ”norma mandul” tanpa adanya pelaksanaan mengingat sejumlah hak korban di atas masih membutuhkan aturan lebih rinci dalam bentuk peraturan pemerintah (Pasal 43L Ayat 7).
Bahkan, walaupun dalam ketentuan peralihan (Pasal 46B) dinyatakan bahwa peraturan pelaksanaan dari UU ini harus ditetapkan paling lambat satu tahun terhitung sejak UU ini diundangkan (22 Juni 2018), nyatanya peraturan pemerintah terkait hak-hak korban tak kunjung terbit hingga hari ini.
Dilihat dari perkembangan yang ada, yang terancam menjadi ”norma mandul” dari UU ini tampaknya bukan hanya dalam persoalan hak korban, melainkan juga dalam hal pencegahan ataupun upaya penggagalan rencana aksi terorisme.
Penyerangan terhadap Menko Polhukam menjadi contoh nyata betapa hal-hal yang sejatinya menjadi keistimewaan dari UU ini justru menjadi ketidakistimewaan. Semua pihak sejatinya bekerja keras untuk merealisasikan semua yang termaktub dalam UU ini. Tak hanya dalam rangka memberantas aksi terorisme ataupun ekstremisme, tetapi juga dalam rangka menyelesaikan persoalan ini.
Hingga tak ada lagi orang yang menjadi pelaku, tak ada lagi orang yang menjadi korban aksi terorisme, dan tak ada yang menjadi korban dari upaya penegakan hukum. Dan yang tidak kalah penting, tidak ada lagi hak-hak korban yang tidak diberikan oleh negara.
Hasibullah Satrawi, Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA)