Kemenangan Prabowo dan Skenario Pemilu Rusuh

Jiromedia.com -Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo mencium gelagat yang tidak beres tentang kelakuan para seniornya di pemerintahan atau setidak-tidaknya yang dekat dengan pusat kekuasaan. "Jangan lupakan sejarah dan jangan mau dipecah belah sama orang2 yang haus kekuasaan !!!!" cuit sang Jenderal melalui akun twitternya, Jum"at, 29 Maret 2019.
Sebelumnya, sejumlah media memberitakan pernyataan provokatif mantan Kepala BIN AM Hendropiyono yang menyebut Pilpres 2019 adalah pertarungan ideologi Pancasila dengan khilafah. 
Selanjutnya Jenderal Luhut Binsar Panjaitan juga mengirim pesan senada kepada para pensiunan tentara untuk mendukung Jokowi dengan embel-embel provokatif “ada kelompok-kelompok yang ingin mengganti Pancasila.” 
Provokasi kedua mantan jenderal ini berlanjut ke level di bawahnya. Di media sosial, Permadi Arya atau Abu Janda segera membuat framing dengan memosting video yang berisi pernyataan-pernyataan para tokoh HTI tentang keinginan mereka menegakkan sistem khilafah. Pernyataan-pernyataan lawas itu, dijadikan dasar bahwa “benar informasi intelejen yang disampaikan Bapak Hendropriyono sah dan valid,” simpul Abu Janda. 
Provokasi juga dilakukan di level akar rumput. Di sebuah video dua wanita tua pendukung paslon 02 diprovokasi oleh sejumlah pendukung paslon 01. Sampai terjadi dorong-dorongan dan umpatan yang tak pantas.
Gatot dalam twitnya juga melampirkan video provokasi dari pihak tertentu. Dalam video itu ada penyataan siap perang untuk menghadapi mereka yang mendukung khilafah.   
Video ini tampaknya sengaja diedarkan untuk memicu kemarahan.
Wartawan Senior, Hersubeno Arief, menduga keluarnya jenderal senior seperti Hendropriyono dari sarang menunjukkan situasi sangat genting. Dia harus terjun langsung ke gelanggang menyelamatkan Jokowi. Sayangnya mereka melakukan dengan cara tak terpuji. Menggunakan isu yang memecah belah. Isu agama.
Ya, situasi genting karena survei-survei yang mereka lakukan memenangkan pasangan 02, Prabowo-Sandi.  Kondisi di lapangan juga begitu. Memasuki kampanye terbuka hari ketujuh ini, publik sudah mendapat gambaran siapa yang akan menjadi pemenang Pilpres 2019. Jika situasinya terus berlanjut sampai dua pekan ke depan, hampir dapat dipastikan laju Prabowo-Sandi sepertinya tak terbendung lagi.
Pantas saja kondisi ini membuat tidak nyaman pendukung Jokowi. Dalam twit lanjutan, Jenderal Gatot melampirkan arsip pernyataan Jenderal Besar AH Nasution yang menegaskan pihak yang mempertentangkan Pancasila dan Islam adalah PKI. “Jangan lupakan sejarah, siapa sesungguhnya pihak yang suka memecah belah negara ini!” 
Gatot benar, sejarah mengajarkan kepada kita PKI mencoba meraih kekuasaan melalui cara-cara mengadu domba rakyat, dan umat beragama.
Lebih jauh lagi, Gatot sepertinya sedang mengirim pesan, ada skenario jahat dari pihak-pihak tertentu untuk membuat pemilu batal sehingga Prabowo gagal menjadi presiden. Itu sebabnya, jangan mau diadu-domba. 
Pilpres adalah ajang demokrasi. Kontestasi antar-putra-putri terbaik bangsa. Kontestasi dan ajang adu gagasan untuk mensejahterakan rakyat. Bukan perang total. Apalagi perang ideologi. Rakyat jangan terprovokasi. Jangan terpancing. Jangan tersulut dan masuk dalam skenario membuat kerusuhan. 
Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Prof. Dr. M. Din Syamsuddin, pun tampaknya menyadari apa yang terjadi dan bakal terjadi. Mendasarkan Taushiyah Dewan Pertimbangan MUI sebagai hasil Rapat Pleno Ke-37, 28 Maret 2019, ia mengeluarkan imbauan. “Sebaiknya kedua kubu Paslon Presiden-Wapres menghindari penggunaan isu keagamaan, seperti penyebutan khilafah, karena itu merupakan bentuk politisasi agama yg bersifat pejoratif (menjelekkan),” imbaunya.
Walaupun di Indonesia khilafah sebagai lembaga politik tidak diterima luas, namun khilafah yang disebut dalam Al-Qur"an adalah ajaran Islam yg mulia (manusia mengemban misi menjadi Wakil Tuhan di Bumi/ khalifatullah fil ardh).
Mempertentangkan  khilafah dengan Pancasila, menurut Din, adalah identik dengan mempertentangkan  Negara Islam dengan Negara Pancasila, yang sesungguhnya sudah lama selesai dengan penegasan Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi was Syahadah (Negara Kesepakatan dan Kesaksian). “Upaya mempertentangkannya merupakan upaya membuka luka lama dan dapat menyinggung perasaan umat Islam,” tulisnya.
Menisbatkan sesuatu yang dianggap Anti Pancasila terhadap suatu kelompok  adalah labelisasi dan generalisasi (mengebyah-uyah) yang berbahaya dan dapat menciptakan suasana perpecahan di tubuh bangsa.
Selanjutnya Din mengimbau segenap keluarga bangsa agar jangan terpengaruh apalagi terprovokasi dengan pikiran-pikiran yang tidak relevan dan kondusif bagi penciptaan Pemilu/Pilpres damai, berkualitas, berkeadilan, dan berkeadaban. (Ts)

Miftah H. Yusufpati (Wartawan Senior) 

Subscribe to receive free email updates: