Seiring desakan publik untuk reformasi tahun 1998, Panglima ABRI yang saat itu dijabat Jenderal TNI Wiranto (kini Menko Polhukam) dengan segera melakukan reformasi internal ABRI.
Kita bisa membayangkan apa yang bakal terjadi kalau saja Panglima ABRI saat itu mengambil sikap lain yang tidak sejalan dengan tuntutan rakyat, bukankah darah anak bangsa akan kembali membasahi Ibu Pertiwi seperti terjadi pasca-G30S/PKI yang berujung pada pergantian presiden dari Bung Karno kepada Pak Harto.
Melalui reformasi internalnya, penyelewengan dan penyimpangan jati diri serta nilai-nilai yang mengantar kelahiran TNI dan Polri dikoreksi. Dwi Fungsi ABRI diakhiri. TNI dan Polri secara kelembagaan dipisah. TNI kembali ke jati diri sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional, dengan core business di bidang pertahanan.
Sesuai tuntutan demokratisasi, TNI tak lagi terlibat politik praktis dan peran TNI kembali sebagai alat negara, bukan lagi alat kekuasaan. Dalam pengelolaan pertahanan negara, TNI menjunjung tinggi supremasi sipil (keberadaban) dengan kedudukan di bawah Dephan.
Sedang Polri kedudukannya dikembalikan sebagaimana niat para pendirinya, sebagai kepolisian negara. Polri diposisikan sebagai bagian dari Law and Justice System, dengan tugas pokok di bidang kamtibmas. Untuk sementara, Polri berada di bawah Dephan dan pada saatnya langsung di bawah Departemen Hukum dan Kehakiman atau di bawah Depdagri, sesuai kebutuhan lapangan.
Sementara, keamanan diposisikan sebagai output sistem sipil. Oleh karena itu, dalam menangani persoalan keamanan yang timbul, harus dengan cara-cara sipil atau supremasi sipil di mana hukum adalah panglima kehidupan dan oleh orang-orang sipil, termasuk di dalamnya oleh Polri.
Namun, dalam keadaan tertentu di mana cara-cara sipil dan oleh orang-orang sipil tak mungkin lagi dan atau dipastikan tak akan efektif — apalagi kalau secara terukur dapat dipastikan akan timbul korban biar satu orang sekalipun — maka saat itu pula wajib beralih menjadi porsi TNI dan dilakukan dengan cara-cara militer atau supremasi militer di mana perintah adalah hukum tertinggi dalam kehidupan.
Dinamika reformasi TNI dan Polri
Sangat disayangkan, sejak awal era Reformasi dalam membahas RUU Pertahanan Negara, TNI dan Polri, pembuat UU begitu saja memisah istilah Pertahanan dan Keamanan, di mana fungsi pertahanan jadi porsi TNI dan keamanan jadi porsi Polri. Mereka seolah tak paham bahwa istilah Hankam adalah dua senyawa yang mustahil bisa dipisahkan begitu saja satu dengan lainnya. Dalam praktiknya, di tengah jalan kedudukan Polri malah diubah jadi di bawah presiden. Secara sah Polri kemudian mengemban tugas yang tak didukung kompetensi di luar wilayah penegakan hukum dan kamtibmas.
Realitas ini membuat bangsa ini dalam menangani persoalan keamanan melakukan hal-hal “konyol”, seperti TNI diperbantukan ke Polri untuk menghadapi hakikat ancaman yang nyata-nyata berupa kombatan. Sebaliknya, untuk menumpas kelompok 2-3 teroris bersenjata, Polri menempuh cara layaknya perang konvensional. Lebih dari itu, di lapangan terjadi ketegangan dan juga perseteruan antara anggota TNI dan Polri karena model pelibatan ini, yang mau tak mau mengait jiwa korsa dan kebanggaan kesatuan. Belum lagi karena kesenjangan fasilitas yang mereka terima dan konflik kepentingan akibat rebutan sumber penghasilan sampingan, di luar gaji resminya yang kecil.
Yang pasti, secara perlahan dalam kaitan pembangunan demokrasi kini TNI sudah mulai kembali jadi tumpuan harapan rakyat, apalagi setelah pimpinan TNI beserta para Kas Angkatan dalam posisi kembali meneguhkan untuk tak lagi terlibat politik praktis.
Tapi tujuan reformasi internal ABRI untuk mewujudkan Polri sebagai bagian dari law and justice system telah kandas karena realitasnya kini Polri berubah jadi lembaga yang bukan militer, tapi juga bukan sipil yang dalam menjalankan profesinya hanya tunduk pada hukum. Akibatnya, tak jarang dalam penegakan hukum Polri dianggap sebagai “penyakit”, atau bahkan lebih ekstrem diposisikan sebagai musuh demokrasi.
Prioritas penuntasan reformasi
Berbeda dengan pendahulunya, kini sederet pendidikan tinggi dalam dan luar negeri telah dilalui perwira TNI dan Polri, terlebih elitenya. Tak sedikit menyandang gelar S-2 dan S-3. Begitu pula afeksi perwiranya terkhusus yang kini berpangkat kolonel/kombes ke atas, dalam menangani keamanan nasional dalam tatanan negara demokrasi, jauh lebih matang daripada perwira TNI dan Polri pendahulunya yang lebih menonjol di pengalaman perang dan kedaruratan.
Dengan merujuk kesungguhan pemerintah Jokowi menegakkan supremasi sipil lima tahun belakangan ini, maka pada lima tahun ke depan di periode kedua pemerintahan Jokowi, peluang menuntaskan reformasi TNI dan Polri jadi terbuka lebar.
Dengan kata lain, sepanjang elite TNI dan Polri yang berkuasa saat ini mampu melepas ego sektoral masing-masing, sesungguhnya mereka bisa duduk bersama merumuskan konsep tata kelola keamanan nasional dalam negara demokrasi, lengkap dengan mekanisme pelibatan TNI dan Polri, sebagai masukan bagi pembuat UU.
Khusus bagi elite Polri, tanpa harus menunggu banyak lagi kantor polisi dibakar massa, semestinya bersama elite lembaga pemerintahan sipil terkait lain juga segera melakukan hal serupa, terutama untuk merumuskan konsep “repositioning” Polri dan rancang bangun sistem hukum dalam sistem sipil yang mendasarkan pada asas chek and balance bagi semua lembaga, tak terkecuali Polri sendiri yang memang sejak awal kemerdekaan belum pernah dirancang para pendiri dan pendahulunya. Dengan demikian, ke depan, dalam membahas perubahan RUU terkait fungsi dan atau pelibatan TNI dan Polri, pembuat UU tidak menghadapi kendala psikologis.
Yang pasti, TNI perlu menuntaskan reformasi 1998 dengan melanjutkan program restrukturisasi sesuai tuntutan demokratisasi. Program redislokasi pasukan TNI sebagaimana disampaikan Presiden Jokowi kepada publik seusai Rapat Kabinet 12 Januari 2017 juga perlu segera dilaksanakan karena dislokasi pasukan model KNIL peninggalan Hindia Belanda tak layak lagi diteruskan.
Dengan model tukar guling, sehingga tak perlu menunggu kemampuan pemerintah dalam menyiapkan APBN, redislokasi sesungguhnya bisa segera dimulai dengan menyebar kesatuan yang tak ada kaitan dengan strategi pertahanan, seperti pusat kesenjataan dan kecabangan serta lembaga pendidikan TNI, secara merata di seluruh provinsi. Dengan begitu, TNI secara langsung bisa membantu pemerintah menumbuhkan sentra-sentra baru di pedalaman/perbatasan.
TNI secara sah sesungguhnya juga bisa membantu pemerintah “memerangi” penyakit sosial, seperti memberantas penyalahgunaan narkoba. Bukanlah TNI AL semestinya bisa berperan aktif dalam pemberantasan narkoba di tahap hulu, yaitu penyelundupan narkoba melalui laut, apalagi dengan didukung TNI AU. Sementara bagi TNI (AD) juga bisa membantu Polri dan BNN dalam memberantas perdagangan dan penggunaan narkoba secara ilegal. Bagi yang paham teknologi informasi (IT), apa yang sulit untuk memainkan peran tersebut.
Begitu juga Polri, perlu segera melakukan restrukturisasi dengan mengalihkan keberadaan kesatuan yang membidangi fungsi non organik Polri, seperti urusan lalu lintas dan SIM/STNK kepada kementerian terkait, dalam hal ini Kemenhub. Polri juga perlu segera mewujudkan transparansi dengan mengintegrasikan proses penyidikan dengan semua pihak yang terkait melalui IT.
Dengan begitu, praktik yang melibatkan oknum, seperti kriminalisasi, jual beli pasal KUHP, backing bisnis ilegal narkoba, pelindung mafia hukum, “centeng” pemegang kapital bermasalah, atau pungutan liar, tak ada lagi.
Reformasi pendidikan di lingkungan Polri untuk mengakhiri cara-cara militeristik warisan lama juga menjadi mendesak dilakukan. Dirgahayu TNI ke- 74, rakyat menunggu baktimu dalam menjaga NKRI dengan performa sesuai tuntutan zaman “now” di mana peran militer mulai bergeser sebagai “humanitarian forces”.
(Saurip Kadi ; Mayjen TNI (Purn), Wakil Ketua Tim Penyusun Konsep Reformasi Internal ABRI 1998)