Infoteratas.com - Mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok mendapat pengakuan dunia atas kinerjanya.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu disandingkan dengan nama-nama terkenal di dunia lainnya, mulai dari politisi hingga whistleblower.
Ada 48 tokoh dunia yang masuk dalam Global Rethinker Foreign Policy tahun ini. Menurut situsnya, penghargaan ini diberikan kepada semua orang yang dianggap tidak hanya membentuk, tapi juga memberikan pandangan baru tentang dunia. Mereka terdiri dari anggota parlemen, komedian, pengacara, pengusaha, presiden, hingga provokator.
Di antara yang berada di dalam daftar adalah Presiden Korea Selatan Moon Jae-in, Presiden Gambia Adama Barrow, Dubes AS untuk PBB, Nikki Haley, Presiden Prancis Emmanuel Macron, hingga Chelsea Manning, yang pernah membocorkan rahasia intelijen Amerika Serikat.
Lalu Bagaimana respons keluarga Ahok soal pengakuan ini?
Adik Ahok, Fifi Lety Indra, hanya memberi respons singkat soal ini.
"Maaf, no comment," ujar Fifi dalam pesan singkatnya kepada Liputan6.com, Jakarta, Rabu (6/12/2017).
Menurut dia, percuma memberikan komentar banyak soal ini. Terlebih, ketika sebagian warga Indonesia tidak mengakui kinerja Ahok. "Percuma juga kan di Indonesia dimasukkan ke penjara," kata Fifi.
Yang Menonjol soal Ahok
Mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok masuk dalam daftar Global reThinkers 2017.
Selain Ahok, sejumlah nama besar dunia masuk dalam daftar. Ada Presiden Korea Selatan Moon Jae-in, Presiden Prancis Emmanuel Macron, Presiden Gambia Adama Barrow, juga Dubes AS untuk PBB Nikki Haley.
Ada pula dalam daftar mantan tangan kanan Donald Trump, Steve Bannon; prajurit transgender yang membocorkan rahasia AS, Chelsea Manning; seniman Ai Wei Wei; juga Leila de Lima, senator Filipina yang menjadi pengkritik terdepan Presiden Rodrigo Duterte.
"Untuk tetap berdiri di tengah fundamentalisme yang sedang bertumbuh di Indonesia," demikian alasan Foreign Policy memilih Ahok.
Dalam narasinya, associate editor di Foreign Policy, Benjamin Soloway menyebut, saat terjun ke dunia politik di Jakarta pada 2012, Ahok tak sesuai dengan profil politikus pada umumnya.
"Ia bermulut tajam, keturunan Tionghoa, dan seorang Protestan di negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia," kata Soloway.
Pada awalnya, dia menambahkan, latar belakang Ahok tak menjadi masalah. Namun, situasi berbalik pada 2017.
Gara-gara sebuah pidatonya, Ahok dinyatakan bersalah dalam kasus penistaan agama, kalah dalam pilkada, dan akhirnya dipenjara.
Di sisi lain, Soloway menyoroti apa yang dilakukan dalam tiga tahun Ahok memerintah di Jakarta. Ia melawan korupsi, memperluas akses warga pada layanan kesehatan dan sosial lainnya, mengeruk kanal, memperbaiki transportasi publik, dan melakukan kampanye untuk membersihkan birokrasi yang membuatnya mendapatkan tingkat penerimaan publik yang tinggi.
Meski prestasinya diakui, kebiasaan memarahi birokrat yang tidak kompeten mendapat pujian luas, di sisi lain ia punya banyak musuh. Terutama mereka yang digusur untuk membuka jalan bagi reklamasi dan proyek pembangunan lain.
Soloway menambahkan, saat Ahok divonis pidana, para pendukungnya menggelar aksi protes, tak hanya di seluruh Indonesia, tapi juga di sejumlah titik dunia. PBB dan organisasi HAM Human Rights Watch juga mengutuk pemidanaan tersebut.
Mengutip perkataan Andreas Harsono dari Human Rights Watch, pemenjaraan Ahok dianggap sebagai seruan yang membangunkan (wakeup call) bagi rakyat Indonesia: bahwa ada masalah serius soal kebebasan beragama dan diskriminasi terhadap kaum minoritas di Tanah Air.
Dengan kehilangan kebebasannya, Ahok mungkin mendorong orang lain untuk mengarahkan negara kembali ke "jalan tengah".
Sebelumnya, pada 2013, Joko Widodo alias Jokowi juga masuk ke dalam daftar The Leading Global Thinkers of 2013 versi Foreign Policy.
Kala itu, Jokowi masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, dan Ahok menjadi wakilnya.(http://ift.tt/2Adwf9O)