Mengendus Jejak Kebenaran di Persidangan MK

Penulis : FENS ALWINO ; Dosen Filsafat Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta
MEDIA INDONESIA, 26 Jun 2019, 04:20 WIB



PASCAPENGUMUMAN hasil pemilihan presiden (pilpres) oleh KPU pada 21 Mei 2019, pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno mendaftarkan gugatan hasil pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tuntutan mereka tidak main-main, yakni mendiskualifikasi kompetitor, Joko Widodo-Ma'ruf Amin. Mereka juga mendesak MK menetapkan Prabowo-Sandi sebagai pemenang pilpres. Petitum mereka berbanding terbalik dengan pengumuman KPU yang menetapkan Jokowi-Amin sebagai pemenang pilpres.
Intinya, Prabowo-Sandi menolak hasil real count KPU karena menurut mereka pemilu 'ditandai' dengan kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Benarkah ada kecurangan TSM? Pihak yang paling otoritatif menjawab pertanyaan tersebut ialah MK. Lembaga inilah yang berwewenang memutuskan sengketa pemilu dengan kekuatan keputusan yang bersifat final dan mengikat. Bagaimana cara MK memutuskan perkara? Langkah apa yang harus ditempuhnya sebelum menjatuhkan putusan? Metode apa yang digunakan MK untuk mendapatkan pengetahuan?
Tentunya MK tidak menggunakan metode deduktif dengan bertolak dari asumsi-asumsi untuk kemudian mencari pembenaran faktual. MK harus bergerak secara induktif, yakni bertolak dari fakta-fakta yang terungkap di persidangan sebelum akhirnya memutuskan perkara.
Sejauh ini MK telah selesai menggelar pemeriksaan perkara hasil pilpres melalui sidang terbuka untuk umum. Lembaga yang disebut-sebut sebagai the guardian of constitution itu menggelar sidang sebanyak lima kali. MK mengagendakan pembacaan dalil pemohon (pasangan Prabowo-Sandi), termohon (KPU), dan pihak terkait (pasangan Jokowi-Amin), serta memeriksa saksi mereka masing-masing. Tujuannya ialah untuk mencari dan menyingkapkan kebenaran.
Kebenaran
Akan tetapi, apa itu kebenaran? Jangan membayangkan definisi kebenaran dalam sidang MK itu seketat yang dikemukakan filsuf Yunani, Plato. Kebenaran tidak dimaksudkan sebagai ide abadi yang bersifat tetap, berdiri sendiri (substansi), dan tidak berubah. Namun, kebenaran yang dimaksud ialah persesuaian antara akal budi dan fakta.
Artinya, apa yang ada dalam akal budi saksi harus sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Ini ialah kebenaran logis. Kebenaran logis tersebut harus didukung oleh kebenaran ilmiah, yakni si saksi harus secara langsung terlibat dalam perkara yang kebenarannya sedang dinilai atau dipertaruhkan. Itu berarti si saksi harus mengatakan apa yang dia lihat, yang dia dengar, dan yang dia alami sendiri.
Saksi tidak boleh beropini, karena opini berhubungan dengan apa yang setengah benar dan setengah salah. Opini terletak antara ignorantia (ketidaktahuan) dan pengetahuan. Opini sudah bergerak dari ignorantia, tapi belum tiba pada pengetahuan. Dalam bahasa Plato kita menjelaskannya begini, 'opini itu lebih gelap daripada pengetahuan, sekalipun lebih terang dari ignorantia'. Artinya, pengetahuan merupakan tingkatan yang paling tinggi di antara ignorantia, opini, dan pengetahuan.
Opini dapat menyesatkan dan salah, sedangkan yang selalu benar ialah yang berhubungan dengan pengetahuan. Pengetahuan berarti mengetahui sesuatu yang sungguh-sungguh ada. Itu berarti semua pengalaman indriawi, peristiwa, dan fakta-fakta yang terjadi di tempat kejadian merupakan unsur primer ketika saksi meberikan keterangan.
Saksi dilarang memprodusir fakta. Saksi tidak boleh menggunakan unsur mimesis (tiruan) yang merupakan hasil produksi mesin pengedit bernama komputer, laptop, dan handphone Android untuk merekayasa informasi. Karena rekayasa mesin pengedit kadang-kadang mendorong pencitraan sehingga orang sulit membedakan antara realitas, simulasi, dan mimesis. Model rekayasa melalui 'mesin pengedit' tersebut berseliweran pada kampanye Pilpres 2019. Sekalipun itu dianggap sebagai strategi politik, dampak yang ditimbulkan sangat besar, yakni terdiskualifikasinya kebenaran.
Lantas, bagaimana caranya para hakim MK menggali dan menemukan kebenaran? Para hakim MK tidak mengendus kebenaran melalui metode konfirmasi (pembenaran). Cara yang digunakan MK itu lebih mendekati metode dialektika ala Socrates ketika membantu melahirkan kebenaran.
Dalam buku The Republic Socrates menjelaskan dua momen penting dalam dialektika, yaitu sangkalan-sangkalan (elenchoi) dan seni kebidanan (maieutika tekhne). Metode elenchoi dimulai dengan terlebih dahulu mengafirmasi pendapat lawan bicara, untuk kemudian membongkar sampai ke akar-akarnya, sehingga lawan bicara menyadari ketidaktahuannya.
Cara seperti ini dipraktikkan para hakim MK ketika memeriksa saksi-saksi di persidangan. Mereka bertanya dan terus-menerus bertanya sampai akhirnya para saksi menyadari ketidaktahuan (kebodohannya). Dengan metode seperti ini, para hakim membantu memurnikan para saksi (terutama saksi pemohon) dari pelbagai ilusi mereka.
Para hakim menghancurkan keterangan mereka yang mula-mula dianggap jelas, lalu ketika digali terus-menerus malah makin kabur dan inkonsisten. Gaya Socratik yang digunakan para hakim seharusnya menjadi pelajaran bagi saksi (pemohon) supaya menjadi orang yang bertanggung jawab.
Kita pun haqqul yaqin bahwa hakim MK tidak akan membenarkan keterangan-keterangan imajiner dari saksi yang integritasnya diragukan. Integritas hakim akan terjaga ketika dia tidak percaya begitu saja pada eksperimen yang terburu-buru atau pada keterangan dari sumber-sumber yang incredible.
Gugatan kesalahan
Metode lain yang digunakan para hakim MK ialah maieutika tekhne (seni kebidanan). Teknik ini bertolak dari pengandaian dasar bahwa saksi mengandung dalam dirinya benih kebenaran dan bahwa dia membutuhkan bantuan untuk melahirkan kebenaran itu.
Seperti seorang perempuan hamil yang membutuhkan seorang bidan untuk melahirkan bayinya, demikian pun saksi membutuhkan bantuan hakim untuk mengungkapkan pengetahuannya. Tugas seorang hakim ialah seperti seorang bidan, yang tidak sendiri melahirkan bayi, tetapi menolong orang lain untuk melahirkan 'bayinya' (pemikirannya).
Tugas hakim ialah membantu saksi untuk melahirkan kebenaran. Kata Yunani untuk kebenaran adalah aletheia. Martin Heidegger mengartikan aletheia sebagai penyingkapan ada atau ketidaktersembunyian (the disclosure of being).
Penggunaan dua metode di atas (elenchoi dan maieutika tekhne) sudah cukup bagi MK untuk menyingkapkan kebenaran. MK yang memiliki wewenang untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir, harus cermat dan kritis sebelum menjatuhkan putusan final. Tidak 'haram' apabila MK juga mengacu pada putusan Bawaslu yang sebelumnya telah menolak gugatan Prabowo-Sandi terkait adanya kecurangan TSM.
Bawaslu menganggap bukti laporan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, terkait dugaan kecurangan TSM, tidaklah kuat, lantaran bukti-buktinya hanya copy dan link berita media. Untuk 'bukti' seperti ini MK bisa menggunakan pasal 36 (3) UU No 24 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa dalam hal alat bukti yang tidak dapat dipertanggungjawabkan perolehannya secara hukum, tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah.
Artinya, kalau yang dicari adalah kebenaran, sumber-sumbernya harus valid dan bisa diandalkan. Ini termasuk juga gugatan kesalahan penghitungan suara yang diumumkan KPU. Kalau memang ada kesalahan perhitungan suara, pihak pemohon harus menyampaikan penghitungan suara yang benar menurut pemohon.
Pemohon harus bisa menjelaskan secara rinci, detail, dan tuntas mengenai locus dan tempus delicti (tempat dan waktu terjadinya tindak pidana), bagaimana prosesnya, serta pengaruhnya bagi perolehan suara pemohon. Jika pemohon tidak memiliki data-data demikian, kebenaran sebagaimana yang dikemukakan Heidegger, yakni penilaian (judgment) terhadap pernyataan kebenaran (truth proposition), tidak akan tercapai. Pernyataan-pernyataan yang disampaikan tidak koresponden dengan fakta-fakta. Lain gatal, lain yang digaruk. ***

Subscribe to receive free email updates: