Rabu 26 Juni 2019, 11:50 WIB

Kolom

Menyambut Putusan Sengketa Pilpres 2019

Gerry Mahendra - detikNews

Jakarta -
Besok seluruh elemen bangsa akan mengetahui putusan perselisihan hasil Pemilu Presiden 2019 yang disidangkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan kali ini tentu akan menjadi salah satu keputusan bersejarah bagi bangsa Indonesia, akankah Jokowi melenggang menuju takhta kekuasaan periode kedua atau akankah Prabowo yang akan menuju takhta RI-1 untuk pertama kalinya sepanjang sejarah pencalonan dirinya sebagai capres.
Bagi pihak yang mengikuti jalannya sidang sengketa hasil Pilpres 2019 dari awal hingga akhir, mungkin mampu (minimal) menerka dengan berbagai sudut pandang siapa yang akan diputuskan sebagai pemenang. Namun, tulisan ini tidak akan menganalisis mengenai siapa yang memiliki peluang menang yang paling besar dalam putusan MK dan juga tidak akan menganalisis sejauh mana kekuatan argumentasi hukum dari pihak pemohon dan termohon yang bersengketa dalam sidang MK.

Jauh lebih penting dan menarik untuk melihat dan menganalisis apa yang akan terjadi setelah putusan MK dibacakan dan tentu saja harapan-harapan kita sebagai rakyat agar stabilitas dan kondusifitas negara tetap terjaga. Akan lebih arif dan bijaksana jika kita semua memaknai putusan sidang MK atas sengketa Pilpres 2019 sebagai suatu langkah awal, bukan sebagai langkah akhir dari berbagai manuver politik antara kedua belah pihak. Mengapa demikian? Sangat penting rasanya jika pascaputusan MK, kedua belah pihak tetap bermanuver politik, namun dengan catatan manuver yang dilakukan berorientasi positif untuk kepentingan negara.

Apakah hal tersebut mungkin terjadi setelah berbagai manuver "saling sikut" keduanya sebelum dan sesudah Pilpres 2019 yang lalu? Jawabannya, kenapa tidak? Terlepas dari siapa yang menang sengketa nantinya, sudah selayaknya pihak yang menang "merangkul" pihak yang kalah. Di sisi lain, sebaiknya pihak yang kalah juga mau mengakui kekalahannya secara ksatria dan mau mengambil peran dalam upaya memperbaiki dan memajukan pemerintahan yang akan datang.

Jalan Tengah Rekonsiliasi
Terlebih lagi sinyal persatuan tersebut sepertinya semakin kuat berembus melalui upaya rekonsiliasi. Dalam kajian teoritis, sebagaimana dinyatakan oleh Lederach (1999) rekonsiliasi merupakan upaya yang di dalamnya mengandung unsur kebenaran (truth), sifat welas asih manusia (mercy), keadilan (justice),dan damai (peace) dapat bertemu dan bersatu secara bersama.

Upaya rekonsiliasi yang sejati setidaknya akan tercapai jika mengandung syarat-syarat akan (1) kebenaran yang di dalamnya terdapat pengakuan, transparansi, pengungkapan, dan klarifikasi atas suatu kebenaran; (2) adanya sifat welas asih yang di dalamnya terdapat unsur penerimaan, pengampunan, dukungan, keharusan, dan penyembuhan; (3) perdamaian yang di dalamnya terdapat unsur harmoni, kesatuan, kesejahteraan, keamanan, dan penghargaan; (4) keadilan yang di dalamnya terdapat unsur kesetaraan, pemulihan hubungan atas dasar hak-hak yang dimiliki seseorang, memulihkan segala sesuatunya sesuai dengan hak-hak dan kewajibannya, dan adanya restitusi atau pengembalian hak-hak masing-masing individu.

Jika memang upaya rekonsiliasi nantinya didasari berbagai hal tersebut di atas, muncul keyakinan akan sinergi tata kelola pemerintahan yang lebih kuat demi kepentingan seluruh elemen bangsa. Sebagai contoh, upaya rekonsiliasi sebenarnya sudah mulai diwacanakan jelang dan pasca penetapan hasil Pilpres 2019 lalu, ketika muncul wacana untuk menjadikan Sandiaga Uno (cawapres nomor urut 02) sebagai salah satu kandidiat menteri dalam kepemimpinan pasangan nomor urut 01 (Jokowi-Maruf Amin) mendatang. Jokowi dan Prabowo juga pernah melakukan rekonsiliasi politik dengan menunggang kuda di kediaman Prabowo di Hambalang, Bogor pada 20 April 2019.

Contoh lainnya, upaya rekonsiliasi yang dilakukan oleh kedua kubu akhir-akhir ini juga menjadi angin segar dalam upaya membentuk tata kelola pemerintahan yang kuat di masa yang akan datang. Kabar terbaru menyebutkan bahwa di luar sidang MK yang saat ini memasuki tahapan keputusan final, sudah berembus wacana upaya rekonsiliasi yang akan dilakukan yang dilakukan oleh masing-masing utusan kedua belah pihak.

Terlepas dari pro-kontra publik dan partai pendukung terhadap upaya rekonsiliasi tersebut yang dianggap pragmatis dan transaksional (power sharing) karena disinyalir hanya fokus pada jatah kekuasaan menteri, parlemen, dan penasihat kepresidenan, namun dari sudut pandang lain dirasa justru berpotensi menurunkan tensi dan tempo ketegangan politik mulai dari kalangan elite hingga pendukung dalam tataran akar rumput.

Jika tensi ketegangan politik sudah mencair sembari tetap memperhatikan aspek pengawasan maksimal dari legislatif kepada eksekutif, bukankah akan lebih fokus dalam menjalankan tata kelola pemerintahan ke depan? Kondisi ini juga berlaku sebaliknya, jika nantinya putusan MK menyatakan pihak pemohon (tim pasangan capres-cawapres nomor urut 02) sebagai pemenang, juga sudah selayaknya mengedepankan upaya rekonsiliasi demi kepentingan bangsa dan negara.

Pada akhirnya, sekali lagi bahwa putusan sidang sengketa Pilpres 2019 mari kita maknai sebagai langkah awal yang positif dalam upaya membangun bangsa dan negara. Berbagai macam perselisihan yang terjadi baik secara langsung dan tidak langsung pada fase sebelumnya sudah saatnya dikonversi menjadi upaya dan kemampuan bersinergi antara kedua belah pihak dalam mengelola pemerintahan yang transparan, profesional, dan berorientasi kepada rakyat sehingga negara kita mampu bersaing, berkemajuan, dan semakin bermartabat.

Gerry Mahendra ;  Dosen Administrasi Publik Universitas Aisyiyah Yogyakarta

Subscribe to receive free email updates: