Kegusaran Pak Jokowi dan Kepastian Hukum

Penulis : Andy F Noya ; Jurnalis senior
MEDIA INDONESIA
Kamis, 27 Jun 2019, 01:20 WIB



BEBERAPA hari lalu, berbagai media massa memberitakan kegusaran Presiden Joko Widodo (Jokowi) di rapat terbatas (ratas) kabinet berkaitan dengan mandeknya investasi yang masuk ke Indonesia dan volume ekspor yang tidak kunjung bergerak naik.
Bahkan dalam ratas kabinet tersebut, Presiden Jokowi menggarisbawahi bahwa ratas tersebut merupakan rapat yang keenam, tanpa terlihat hasil yang nyata. Kegalauan Presiden Jokowi tentu menjadi kekhawatiran kita semua.
Itu karena masuknya investasi dan meningkatnya ekspor merupakan faktor penting untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di tengah kondisi pesimistis akibat berbagai faktor di dalam negeri, termasuk masalah politik yang berkepanjangan dan faktor eksternal. Utamanya dampak perang dagang Amerika Serikat dan Tiongkok yang berkelanjutan.
Kegelisahan Presiden Jokowi ini langsung mengingatkan kita pada lemahnya kepastian hukum di negeri ini. Padahal, kita semua tahu kepastian hukum inilah salah satu instrumen yang sangat dibutuhkan dunia usaha. Tanpa kepastian hukum, investor tentu akan ragu-ragu. Dalam kondisi tanpa kepastian, investor tidak akan berani mengambil risiko yang tidak terukur.
Tiadanya kepastian hukum ini juga bisa kita lihat dalam kasus reklamasi dan izin mendirikan bangunan (IMB) di pulau reklamasi di DKI Jakarta, yang sampai hari ini masih menjadi isu hangat di berbagai media massa.
Soal lemahnya kepastian hukum ini sangat terlihat dalam kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Persoalan yang sudah berlangsung 21 tahun ini terasa panjang dan melelahkan, seakan-akan tidak ada ujungnya.
Sejak kebijakan BLBI diambil akibat krisis ekonomi pada 1998, sampai hari ini, kasus tersebut tidak juga tuntas. Bagaikan kapal selam, kadang muncul kadang tenggelam.
Apalagi, banyak pihak yang memanfaatkan kasus ini dengan 'menggoreng' isu ini sesuai dengan tujuan dan kepentingan masing-masing. Padahal, sudah banyak telaah yang dituliskan atau disampaikan para pelaku bisnis, praktisi hukum, pengamat, bahkan politikus. Kasus ini juga menjadi isu yang ditinjau dari berbagai sudut pandang, terutama dari sudut pandang hukum dan ekonomi.
Begitu lamanya kasus ini bergulir dan tidak kunjung usai, membuat sebagian orang mengaku mulai bosan membicarakan kasus yang sebenarnya sudah harus berhenti. Itu karena sudah ada putusan hukum yang berkekuatan tetap. Mengungkit-ungkit kasus BLBI--terlepas dari kepentingan berbagai pihak yang memanfaatkan isu ini untuk keuntungan masing-masing--sungguh sangat menyita energi bangsa ini.
Kebijakan yang diambil pada situasi krisis pada waktu itu, tentu tidak bisa diukur dengan kondisi normal pada saat ini. Situasi dan kondisinya jelas sangat berbeda. Ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan, begitulah situasinya waktu itu. Ada harga yang harus dibayar. Akan tetapi, kondisi itu sifatnya situasional karena berkaitan dengan situasi yang dihadapi pemerintah waktu itu dan keputusan cepat yang harus diambil guna mengatasi krisis.
Kewajiban tuntas
Faktanya, dalam perjalanannya, kasus ini sudah melewati berbagai proses dan tahapan penyelesaian, baik secara hukum oleh pemerintah waktu itu maupun pemerintahan berikutnya. Ada penerima kucuran dana BLBI yang sudah menyelesaikan kewajibannya, ada pula yang belum diproses.
Mereka yang sudah menjalani kewajiban, ada yang dikenai hukuman ganti rugi dan ada pula yang menjalani hukuman penjara. Semua sesuai dengan tingkat kesalahan masing-masing.
Dalam Kasus BDNI, salah satu penerima dana BLBI, misalnya, seharusnya sudah dianggap selesai pada saat penandatanganan master settlement and acquisition agreement (MSAA) pada 25 Mei 1999, yakni dalam perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) itu, pemerintah mengeluarkan release and discharge. Dengan kata lain, saat itu pemerintah menjamin kepastian hukum tidak akan menuntut dan membebaskan pemegang saham dan direksi dari tanggung jawab.
Begitu juga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2002 dan 2006 sudah  mengeluarkan laporan audit investigasi yang isinya menyatakan PKPS sudah tidak ada masalah sehingga Surat Keterangan Lunas (SKL) yang diberikan juga sudah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Namun, pada 2017setelah sebelas tahun BPK mengeluarkan hasil audit yang berbeda untuk kasus yang sama. Keputusan terakhir BPK yang berbeda dari dua keputusan BPK sebelumnya inilah yang oleh berbagai kalangan juga dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum. Masih banyak cerita soal ketidakpastian hukum sebagaimana contoh di atas. Namun, terlalu banyak untuk dibeberkan satu per satu dalam tulisan ini.
Jika kebijakan ekonomi yang diputuskan pemerintahan dalam situasi yang tidak normal (kriris ekonomi 1998), kemudian dipersoalkan kembali menggunakan ukuran-ukuran keadaan normal, berapa banyak kasus kebijakan ekonomi dan hukum di masa lalu yang bisa diungkit dan dibuka kembali?
Jika itu terjadi, kepastian hukum di negeri ini akan semakin silang sengkarut dan menjadi pertanyaan besar bagi calon investor dan pelaku bisnis.
Begitu pula akan muncul pertanyaan, berapa lama rentang waktu yang menjadi ukuran suatu kasus yang sudah diputuskan di masa lalu dan sudah berkekuatan hukum tetap, bisa dibuka dan dipersoalkan kembali?
Tentu kita tidak menafikan dalam kasus yang berbeda, pelanggaran HAM, misalnya, ada persoalan yang masih gelap dan harus dituntaskan karena berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan.
Namun, dalam kasus kebijakan BLBI waktu itu, persoalannya sudah terang benderang dan sudah diselesaikan melalui berbagai proses dan langkah hukum, bahkan politik. Begitu pula dari aspek kerugian negara, jika ganti rugi dan pengambilalihan aset-aset para penerima dana BLBI sudah dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum. Selain itu, nilai kerugian negara yang sudah disepakati para pihak pada saat keputusan hukum itu diambil, maka keputusan itu harus dihormati dan menjadi pegangan semua pihak.
Bahkan untuk kasus BDNI, misalnya, sesuai amanat MPR melalui TAP MPR No X/2001, pemerintah sudah mengeluarkan SKL. Artinya, SKL tersebut merupakan produk hukum dan konstitusi yang harus dihormati dan ditaati.
Karena itu, kontroversi kasus BLBI selayaknya diakhiri. Jangan ada lagi pihak-pihak yang menjadikan masalah ini sebagai bahan 'gorengan' untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
Sebagai bangsa yang diprediksi akan mampu menjadi kekuatan keempat ekonomi dunia pada 2030, kita tentu tidak ingin menggunakan cara pandang 'kaca spion' dalam melihat kasus BLBI dan berbagai kasus lainnya di masa lampau yang sudah diputuskan dan berkekuatan hukum tetap. Jangan membuang energi sebagai bangsa untuk menengok ke belakang dan tersandera persoalan yang sudah selesai agar tidak menjadi beban untuk kita melangkah ke depan.
Di hadapan bangsa ini masih banyak tantangan yang harus menjadi prioritas dan perhatian kita bersama, juga menjadi pekerjaan rumah yang harus segera dikerjakan. Kita harus bangkit menyongsong masa depan yang lebih baik dengan semangat baru dan optimisme dengan adanya kepastian hukum di negeri ini. Dampaknya, investasi akan mengalir masuk dan ekspor kita akan bergerak naik.
Dengan demikian, perekonomian kita juga dapat tumbuh sehat, rakyat Indonesia akan lebih sejahtera, dan Pak Jokowi sebagai presiden tidak perlu lagi merasa gusar di dalam ratas kabinet pada hari-hari yang akan datang. ***

Subscribe to receive free email updates: