Minggu 23 Juni 2019, 12:20 WIB
Jeda
Setelah Jakarta Punya MRT
Tak ada pohon lontar dan rumput liar di ujung Jalan Sudirman yang bersih dan lebar. Tapi, buah-buah siwalan bergelantungan dalam plastik bening, berkilau menjelang malam, putih seperti neon di trotoar, berjajar di atas gerobak, menjadi pemandangan yang ajaib di kota seglamor Jakarta. Orang-orang kantoran melintas tak peduli, menyumpal telinga mereka dengan headphone, melangkah bergegas sambil sesekali menghindari gesekan dengan pundak orang lain yang berjalan dari arah berlawanan, tanpa mengalihkan sedikit pun tatapan mata dari layar handphone di genggaman.
Sebagian dari mereka buru-buru pulang setelah seharian bekerja di kantor, dan tak sabar ingin cepat sampai di rumah, bertemu dengan keluarga, dan beristirahat. Sebagian yang lain hendak memulai aktivitas baru, menunda pulang, menghabiskan waktu yang tersisa --duduk-duduk minum kopi di kafe, yoga, atau belanja di mall-- sebelum malam benar-benar menelan kota dan jiwa-jiwa yang lelah dalam kesenyapan.
Seorang pria kurus, berkulit gelap dan kotor, duduk bersandar di dinding pagar gedung perkantoran yang menjulang, dengan wajah sedih mendekap karung sampah untuk menutupi perutnya yang lapar, adalah pemandangan lain yang tak asing bagi orang-orang yang berlalu lalang di Tosari, satu sisi paling sibuk dari Jakarta, pada jam pulang kerja. Tak jauh dari situ, Patung "Selamat Datang" tegak menjulang di tengah Bundaran HI, dikelilingi air mancur yang menari. Sebelum naik tangga menuju halte busway, perempuan-perempuan dan lelaki-lelaki muda mengerumuni gerobak-gerobak siomai, cilok, otak-otak, dan tahu krispi, membeli jajanan-jajajan itu dalam plastik, dimakan dengan ditusuk batang lidi, saos kacang belepotan di mulut, kontras dengan penampilan mereka yang rapi dan menguarkan aroma wangi. Sebagian yang lain memesan mie ayam, nasi goreng, atau nasi bebek madura, dimakan di tempat, duduk di atas kursi-kursi plastik merah yang ditata di trotoar tanpa atap, ataupun dibungkus untuk dibawa pulang ke kosan atau rumah kontrakan di Setiabudi.
Seiring dengan selesainya pembangunan jalur MRT, dan moda transportasi baru impian warga kota itu resmi beroperasi, jembatan yang menghubungkan pejalan kaki menuju halte busway dihancurkan, diganti dengan akses langsung melalui pelican cross. Untuk sesaat, para pedagang kaki lima yang dulu ada di sekitar bawah jembatan penyeberangan itu menghilang, namun belakang situasinya sudah kembali lagi seperti semula. Pedagang kaki lima di antara gedung-gedung pencakar langit adalah keajaiban lain di Jakarta, seperti rumput liar yang bisa tumbuh kapan saja, dan memang selalu ada yang "membutuhkan kehijauannya".
Namun harus diakui, Jakarta belakangan ini memang sudah terlihat berbeda, walaupun tak banyak. Kalau ukurannya Jalan Sudirman-Thamrin, tak dipungkiri, Jakarta semakin cantik dan manusiawi. Trotoar yang lebar dan bersih, dengan akses-akses ke Stasiun MRT di sejumlah titik, menjadi pemandangan baru yang rasanya dulu hanyalah sebuah impian yang muncul ketika kita kebetulan jalan-jalan ke kota-kota di luar negeri. Naiklah bus Transjakarta pada sore hari di jalur yang melewati Sudirman-Thamrin, maka akan terlihat orang-orang --turis lokal-- berfoto-foto di trotoar.
Tiga jembatan penyeberangan yang ada di antara Bundaran Senayan dan Semanggi bahkan dipoles dan dipermak menjadi sangat indah, dan juga menjadi "objek wisata" baru kota Jakarta. Gubernur Anies Baswedan pernah berfoto di salah satu jembatan itu, dan menjadi viral. Perubahan memang belum menyeluruh sampai ke pinggir-pinggir kota, namun trotoar yang layak untuk pejalan kaki telah merambah sampai sepanjang Jalan Fatmawati dan Buncit Raya di Jakarta Selatan. Artinya, sekali lagi, memang ada "progres" yang harus diakui. Bahwa Jakarta semakin "berjiwa" dan manusiawi, tidak seperti tahun-tahun lalu yang seolah kota ini diciptakan bukan untuk manusia, melainkan untuk mesin-mesin.
Pemotor egois dan serampangan yang naik trotoar tentu saja masih tetap ada, tapi jumlahnya "hanya" satu-dua. Secara umum, warga kota mulai belajar untuk tertib, dan malu jika melanggar peraturan. Bagaimana pun, kota sepadat Jakarta memang akan sangat sulit mencapai kondisi ideal yang diinginkan oleh semua orang. Satu-dua mobil juga masih saja berusaha menyerobot di pelican cross, karena tak sabar dan "tak rela" memberi waktu beberapa detik saja untuk pejalan kaki yang hendak menyeberang jalan. Sepertinya penghuni kota ini memang sedang dalam proses pembelajaran, penyesuaian dengan perubahan-perubahan, menuju ke kondisi yang semakin baik.
Yang juga perlu mendapat catatan dengan nada pujian, angkutan umum sudah jauh lebih baik. Bukan hanya karena kini ada MRT, melainkan bus Transjakarta terus meningkatkan pelayanannya dengan armada-armada pengumpan yang menjangkau hingga ke hampir seluruh pelosok Jakarta. Dari Pondok Labu atau Ragunan mau berwisata ke kawasan Kota Tua? Cukup dengan sekali bayar Rp 3500, naik bus pengumpan ke Blok M dan lanjut ke tujuan, tanpa harus membayar lagi. Jalur-jalur busway terhubung dengan halte-halte transit, juga Stasiun MRT, dan kita bisa melenggang ke mana saja dengan biaya murah, nyaman, dan aman.
Lebih daripada itu, setelah kini Jakarta punya MRT, dan trotoar di sejumlah lokasi diperbaiki, secara umum wajah kota menjadi tak sama lagi. Dan, cara kita menatap Jakarta pun seakan juga ikut berubah. Kita kini bisa memandang Jakarta dari sudut-sudut yang sebelumnya tak pernah terbayangkan, dan menyaksikan pemandangan kota yang dulu tak bisa kita lihat. Sekadar menyaksikan orang berlari sore atau remaja-remaja bermain skateboard di trotoar yang lapang, rasanya memberikan perasaan hangat dan menyenangkan bagi warga kota yang ingin bahagia dengan hal-hal yang mendasar dan sederhana.
Beberapa orang berkisah di media sosial, bagaimana antusiasnya mereka menyambut kehadiran MRT pada awal beroperasi April lalu. Cerita-cerita tentang anak-anak muda yang mengajak orangtuanya merasakan naik kereta yang menembus lorong bawah tanah itu, dan betapa bahagianya para orangtua tersebut masih bisa mengalami zaman yang berubah ini, memberikan warna lain yang memperlihatkan kehidupan masyarakat Jakarta yang tak lagi sama. Mungkin inilah pesta terbaik dari perayaan ulang tahun Jakarta, pada usianya yang ke-492 ini. Dirgahayu!
Mumu Aloha wartawan, penulis, editor
Sebagian dari mereka buru-buru pulang setelah seharian bekerja di kantor, dan tak sabar ingin cepat sampai di rumah, bertemu dengan keluarga, dan beristirahat. Sebagian yang lain hendak memulai aktivitas baru, menunda pulang, menghabiskan waktu yang tersisa --duduk-duduk minum kopi di kafe, yoga, atau belanja di mall-- sebelum malam benar-benar menelan kota dan jiwa-jiwa yang lelah dalam kesenyapan.
Seorang pria kurus, berkulit gelap dan kotor, duduk bersandar di dinding pagar gedung perkantoran yang menjulang, dengan wajah sedih mendekap karung sampah untuk menutupi perutnya yang lapar, adalah pemandangan lain yang tak asing bagi orang-orang yang berlalu lalang di Tosari, satu sisi paling sibuk dari Jakarta, pada jam pulang kerja. Tak jauh dari situ, Patung "Selamat Datang" tegak menjulang di tengah Bundaran HI, dikelilingi air mancur yang menari. Sebelum naik tangga menuju halte busway, perempuan-perempuan dan lelaki-lelaki muda mengerumuni gerobak-gerobak siomai, cilok, otak-otak, dan tahu krispi, membeli jajanan-jajajan itu dalam plastik, dimakan dengan ditusuk batang lidi, saos kacang belepotan di mulut, kontras dengan penampilan mereka yang rapi dan menguarkan aroma wangi. Sebagian yang lain memesan mie ayam, nasi goreng, atau nasi bebek madura, dimakan di tempat, duduk di atas kursi-kursi plastik merah yang ditata di trotoar tanpa atap, ataupun dibungkus untuk dibawa pulang ke kosan atau rumah kontrakan di Setiabudi.
Seiring dengan selesainya pembangunan jalur MRT, dan moda transportasi baru impian warga kota itu resmi beroperasi, jembatan yang menghubungkan pejalan kaki menuju halte busway dihancurkan, diganti dengan akses langsung melalui pelican cross. Untuk sesaat, para pedagang kaki lima yang dulu ada di sekitar bawah jembatan penyeberangan itu menghilang, namun belakang situasinya sudah kembali lagi seperti semula. Pedagang kaki lima di antara gedung-gedung pencakar langit adalah keajaiban lain di Jakarta, seperti rumput liar yang bisa tumbuh kapan saja, dan memang selalu ada yang "membutuhkan kehijauannya".
Namun harus diakui, Jakarta belakangan ini memang sudah terlihat berbeda, walaupun tak banyak. Kalau ukurannya Jalan Sudirman-Thamrin, tak dipungkiri, Jakarta semakin cantik dan manusiawi. Trotoar yang lebar dan bersih, dengan akses-akses ke Stasiun MRT di sejumlah titik, menjadi pemandangan baru yang rasanya dulu hanyalah sebuah impian yang muncul ketika kita kebetulan jalan-jalan ke kota-kota di luar negeri. Naiklah bus Transjakarta pada sore hari di jalur yang melewati Sudirman-Thamrin, maka akan terlihat orang-orang --turis lokal-- berfoto-foto di trotoar.
Tiga jembatan penyeberangan yang ada di antara Bundaran Senayan dan Semanggi bahkan dipoles dan dipermak menjadi sangat indah, dan juga menjadi "objek wisata" baru kota Jakarta. Gubernur Anies Baswedan pernah berfoto di salah satu jembatan itu, dan menjadi viral. Perubahan memang belum menyeluruh sampai ke pinggir-pinggir kota, namun trotoar yang layak untuk pejalan kaki telah merambah sampai sepanjang Jalan Fatmawati dan Buncit Raya di Jakarta Selatan. Artinya, sekali lagi, memang ada "progres" yang harus diakui. Bahwa Jakarta semakin "berjiwa" dan manusiawi, tidak seperti tahun-tahun lalu yang seolah kota ini diciptakan bukan untuk manusia, melainkan untuk mesin-mesin.
Pemotor egois dan serampangan yang naik trotoar tentu saja masih tetap ada, tapi jumlahnya "hanya" satu-dua. Secara umum, warga kota mulai belajar untuk tertib, dan malu jika melanggar peraturan. Bagaimana pun, kota sepadat Jakarta memang akan sangat sulit mencapai kondisi ideal yang diinginkan oleh semua orang. Satu-dua mobil juga masih saja berusaha menyerobot di pelican cross, karena tak sabar dan "tak rela" memberi waktu beberapa detik saja untuk pejalan kaki yang hendak menyeberang jalan. Sepertinya penghuni kota ini memang sedang dalam proses pembelajaran, penyesuaian dengan perubahan-perubahan, menuju ke kondisi yang semakin baik.
Yang juga perlu mendapat catatan dengan nada pujian, angkutan umum sudah jauh lebih baik. Bukan hanya karena kini ada MRT, melainkan bus Transjakarta terus meningkatkan pelayanannya dengan armada-armada pengumpan yang menjangkau hingga ke hampir seluruh pelosok Jakarta. Dari Pondok Labu atau Ragunan mau berwisata ke kawasan Kota Tua? Cukup dengan sekali bayar Rp 3500, naik bus pengumpan ke Blok M dan lanjut ke tujuan, tanpa harus membayar lagi. Jalur-jalur busway terhubung dengan halte-halte transit, juga Stasiun MRT, dan kita bisa melenggang ke mana saja dengan biaya murah, nyaman, dan aman.
Lebih daripada itu, setelah kini Jakarta punya MRT, dan trotoar di sejumlah lokasi diperbaiki, secara umum wajah kota menjadi tak sama lagi. Dan, cara kita menatap Jakarta pun seakan juga ikut berubah. Kita kini bisa memandang Jakarta dari sudut-sudut yang sebelumnya tak pernah terbayangkan, dan menyaksikan pemandangan kota yang dulu tak bisa kita lihat. Sekadar menyaksikan orang berlari sore atau remaja-remaja bermain skateboard di trotoar yang lapang, rasanya memberikan perasaan hangat dan menyenangkan bagi warga kota yang ingin bahagia dengan hal-hal yang mendasar dan sederhana.
Beberapa orang berkisah di media sosial, bagaimana antusiasnya mereka menyambut kehadiran MRT pada awal beroperasi April lalu. Cerita-cerita tentang anak-anak muda yang mengajak orangtuanya merasakan naik kereta yang menembus lorong bawah tanah itu, dan betapa bahagianya para orangtua tersebut masih bisa mengalami zaman yang berubah ini, memberikan warna lain yang memperlihatkan kehidupan masyarakat Jakarta yang tak lagi sama. Mungkin inilah pesta terbaik dari perayaan ulang tahun Jakarta, pada usianya yang ke-492 ini. Dirgahayu!
Mumu Aloha wartawan, penulis, editor