Menanti Palu Adil Hakim MK


Penulis : Lasarus Jehamat Dosen Sosiologi FISIP Undana Kupang
MEDIA INDONESIAPada: Kamis, 27 Jun 2019, 01:40 WIB


SIDANG sengketa hasil pemilu memasuki babak akhir. Sembilan hakim Mahkamah Konstitusi telah mendengarkan isi gugatan dari tim kuasa hukum pasangan Prabowo-Sandi. Demikian juga otoritas tertinggi yang mengadili hasil pemilu sudah menerima beragam sanggahan dari tim kuasa hukum KPU serta kuasa hukum pihak terkait. Hari ini, palu keadilan dinantikan masyarakat.
Editorial Media Indonesia, Sabtu (22/6), menyebut saat ini masyarakat Indonesia sedang menantikan ujian profesionalitas sembilan hakim MK. Alasannya, selama ini banyak pihak menaruh curiga kepada sang pemegang palu keadilan itu. Banyak tudingan miring dialamatkan kepada mereka.
Semua kecurigan tersebut tentu tetap menyimpan rasa skeptis bagi sekelompok orang sebab putusan tertinggi dari MK baru akan dibacakan 28 Juni. Namun, ternyata putusan akan dibacakan sehari lebih cepat dari jadwal.
Meski begitu, semua manusia Indonesia yang sehat dan waras tentu tidak bisa menutup mata melihat kinerja sembilan hakim konstitusi saat memeriksa perkara pemilu, minggu lalu. Tak sedikit pun ditunjukkan ke publik bahwa mereka tidak adil. Semua sudah dibuka ke publik. Aspek profesionalitas hakim telah ditunjukkan dengan sangat tuntas oleh hakim konstitusi.
Dari perspektif keadilan, sembilan hakim konstitusi telah menunjukkan keadilan. Aspek netralitas dijaga amat lugas. Terlihat jelas di sana, mereka tidak menggunakan pendekatan objektif. Mereka menerapkan dengan amat tinggi prinsip netralitas sebagai wasit.
Di situlah beda antara nilai objektivitas dan netralitas. Nilai objektivitas mengandaikan hakim memberikan perhatian ke pemohon atau termohon dengan skala lebih besar atau lebih kecil karena kepentingan.
Bisa 70% ke pemohon dan 30% ke termohon, bergantung kepentingan hakim. Sebaliknya, bisa 80% ke termohon dan 20% ke pemohon bergantung pada kepentingan hakim. Nilai netralitas mengusung motif sama-sama kuat. Jika kepada pemohon diberi perhatian 50%, kepada termohon pasti juga 50%.
Palu adil tentu tidak bisa didapat jika hakim tidak bebas. Dengan kata lain, keputusan yang keluar dari meja hakim MK baru disebut adil jika keputusan itu jauh dari kepentingan apa pun dari sembilan hakim.
Dua pendekatan
Sejatinya, terkait dengan keputusan hakim konstitusi, terdapat dua jenis pendekatan yang menjadi patokan utama. Yang pertama disebut pendekatan yuridis formal dan kedua disebut pendekatan sosiologis.
Mengutip Rawls, Zaini (2011) menyebutkan bahwa sebuah keadilan baru dapat disebut fairness jika semua elemen dapat menerima secara ikhlas semua keputusan. Karena penerima itulah, iklim dan tingkat kepercayaan kepada hukum semakin bertambah. Dengan demikian, tujuan utamanya ialah selain menciptakan suasana masyarakat lebih kondusif, setiap keputusan hakim harus dapat melembagakan kepercayaan publik pada aspek hukum.
Hukum sejatinya mengabdi tidak saja pada dalil-dalil yuridis formal, tetapi juga mesti memperhatikan suasana kebatinan masyarakat secara sosiologis. Karena itu, dibutuhkan hakim yang memiliki tidak saja integritas diri secara yuridis, tetapi juga integritas sosial di level masyarakat.
Dalam kerangka itu, hakim tidak saja harus menguasai dalil-dalil hukum formal secara komprehensif, tetapi juga bisa menangkap asa masyarakat secara sosial. Dalil hukum sangat ketat dan rigid, sifatnya sulit dibantah. Meski demikian, menjadi aneh ketika dalil hukum yang begitu lurus justru menjadi bengkok oleh karena ragam kepentingan sang pengadil. Situasi demikian tentu sangat tidak diharapkan masyarakat Indonesia.
Indonesia pascasidang
Membaca, melihat, dan mengamati proses sidang sengketa pemilu, kiranya semua pihak boleh mengandai dan bermimpi. Kubu Prabowo-Sandi dan Jokowi-Amin, dengan caranya masing-masing, boleh berharap dan tidak dilarang optimistis. Setiap pihak berhak menganalisis hasil akhir nanti berdasarkan proses persidangan.
Penilaiannya tentu mengarah pada pembuktian di pengadilan berbasiskan data dan fakta. Dengan kata lain, semua fakta yang terjadi dan telah diungkap di persidangan menjadi bahan pertimbangan semua orang untuk dapat menilai seperti apa hasil akhirnya.
Secara sosiologis, realitas seperti itu tidak ada yang larang. Yang tidak boleh ialah kesalahan mengestimasi hasil karena salah menilai proses dan gagal memahami fakta persidangan. Terutama jika putusan nanti tidak sesuai dengan harapan berdasarkan pemahaman pribadi tiap-tiap pihak.
Itu karena kesalahan membaca fakta persidangan pasti berbuntut pada mengentalnya optimisme diri dan kelompok. Jika itu terus dipelihara, harapan akan berakhirnya fragmentasi politik menjadi sulit terwujud. Selanjutnya, semangat untuk kembali merajut benang persatuan semakin jauh panggang dari api.
Palu adil
Kondisi Indonesia pascasidang pemilu tentu sangat bergantung pada kemurnian sembilan hakim konstitusi. Selain itu, semuanya berkaitan erat dengan pemahaman semua elemen bangsa akan dalil keputusan hakim konstitusi bersifat final dan mengikat. Final dan mengikat berarti persoalan selesai dan semua orang wajib menaati keputusan itu.
Dalam Intersectionality and Beyond: Law, power and the Politics of Location; Grabham, Cooper, Krishnadas, dan Herman (2009) menyebutkan bahwa secara sosial hukum harus berjalan dalam koridor interseksionalitas. Kuat berpegang pada dalil hukum, tetapi harus membaca realitas hasil secara sosial.
Postulat hukum yang telah didaraskan di saat sidang perselisihan jangan sampai melupakan kenyataan akan hasil pemilu yang telah diterima masyarakat sebelumnya. Interseksionalitas hukum ialah membaca dan mempraktikkan keadilan hukum secara yuridis dengan tetap cerdas membaca konsekuensi sosial di masyarakat atas semua putusan hukum.
Hukum dan penegak hukum harus menjaga serta memperhatikan tingkat kepercayaan publik pada lembaga hukum sebab eksistensi hukum terutama karena warga. Hukum ada karena warga dengan berbagai kompleksitas di dalamnya. Dengan demikian, setiap praksis hukum selalu kembali kepada warga sebagai pemilik sah aturan dan hukum tersebut.
Meski begitu, sebagai lokus tempat asal hukum, masyarakat didorong untuk tidak melakukan tindakan sesuka hati. Gerakan turun ke jalan, pengadilan jalanan, dan bentuk gerakan penolakan lainnya yang telah direncanakan beberapa pihak perlu dipikirkan kembali. Itu karena kita semua telah sepakat bahwa MK menjadi benteng terakhir perselisihan sengketa pemilu.
Dua hal yang harus diperhatikan di sana ialah pengambilan keputusan secara bebas tanpa tekanan dan komitmen masyarakat menjalankan hasil putusan MK itu secara empiris di lapangan. ***

Subscribe to receive free email updates: