Infoteratas.com - Yerusalem terlalu sensitif untuk diklaim secara sepihak. Usai Trump mengumumkan secara resmi rencana pemindahan kedutaan besar Amerika Serikat dari Tel Aviv ke Yerusalem sekaligus pengakuan kota suci tiga agama itu sebagai ibu kota Israel, banyak petinggi negara dunia mengecamnya.
Faksi komunis Israel juga bersikap serupa, meski suara mereka barangkali kurang bergaung di panggung internasional.
Partai Komunis Israel atau yang dikenal dengan nama Maki mengutuk Trump karena pengakuan status Yerusalem berarti melancarkan serangan terhadap hak-hak rakyat Palestina serta mengacaukan proses perdamaian antara Israel-Palestina yang sudah berlangsung puluhan tahun.
“Sebuah perdamaian yang adil berdasarkan resolusi PBB yang diadopsi sebagian besar negara dan mayoritas masyarakat di seluruh dunia,” cantum Maki di laman resminya, Jumat (15/12/2017).
Trump, Maki mengingatkan, telah melanggar hukum internasional, resolusi Dewan Keamanan PBB, dan kebulatan suara komunitas-komunitas internasional bahwa Yerusalem kondisinya sedang diokupasi. Maki menyerukan komunitas internasional untuk menghadapi kebijakan Trump hingga benar-benar dicabut. Maki telah menggandeng Partai Komunis Palestina, dan berharap agar komunitas internasional juga turut memberikan tekanan yang sama.
“Pengumuman kebijakan baru Amerika terkait Yerusalem menjadikan AS terus menjadi bagian dari masalah alih-alih menjadi faktor positif untuk mencapai solusi. Tidak ada solusi untuk konflik selain mengakhiri pendudukan Israel dan memenuhi hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri dan mendirikan sebuah negara Palestina yang merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibukotanya serta menyelesaikan masalah pengungsi sesuai dengan resolusi Majelis Umum PBB nomor 194.”
Dalam buku Communism in Israel karya Fayez A. Sayegh, Maki yang orisinal terbentuk pada tahun 1948 yang menjadi pecahan dari Partai Komunis Palestina. Dua tokoh utama yang berperan dalam pendirian Maki adalah Shmuel Mikunis dan Moshe Sneh. Partai punya sikap paradoks: anti-Zionis tapi mengakui Israel. Namun sikap mereka terhadap Palestina jelas, yakni mendukung hak untuk mendirikan negara sendiri sesuai resolusi yang dikeluarkan PBB.
Sikap tersebut melahirkan pertentangan internal di tahun 1960-an. Ada faksi yang sepakat perihal eksistensi Israel, dan faksi yang lebih pro-Arab dan anti-Zionis keluar untuk membentuk Partai Rakah. Maki yang asli benar-benar kolaps pada tahun 1973, sehingga Rakah bisa memakai “Maki” sebagai nama resminya.
Nama itu terus melekat hingga kini. Maki pun menjelma menjadi faksi politik sayap kiri radikal dengan pendukung yang cukup signifikan. Kawan-kawannya adalah partai-partai kiri bercirikan sosialis dan varian kiri lain yang tak memiliki sikap setegas Maki untuk isu Palestina. Atau kata lainnya, lebih moderat.
Akibat menyadari bahwa kekuatan mereka akan punya pengaruh jelas di parlemen Israel, meski pun kecil, Maki membentuk koalisi kelompok-kelompok sayap kiri radikal bernama Hadash pada tahun 1977. Hadash adalah akronim yang dalam bahasa Indonesia berarti Front Demokrasi untuk Perdamaian dan Kesetaraan.
Dalam catatan Hareetz, Hadash mendukung kebijakan ekonomi bercirikan komunisme dan gigih memperjuangkan hak-hak pekerja. Khusus soal Palestina, akibat punya hubungan yang erat dengan politisi dunia Arab, jajaran elit Hadash tergolong sebagai yang pertama mendorong solusi dua negara yang independen, saling menghormati satu sama lain, dan menjalin hubungan yang damai dan setara.
Sejak mendeklarasikan diri sebagai negara berdaulat, Israel meluaskan teritorinya dengan berbagai cara. Salah satu yang paling efektif adalah membangun perumahan untuk warga Israel secara ilegal di sejumlah wilayah Palestina. Hal ini dipandang Hadash sebagai masalah krusial, sehingga mereka mendorong agar Israel angkat kaki dari wilayah pemukiman ilegalnya.
Baca juga: Fidel Castro, Komandan Merah Pembela Palestina
Perang Enam Hari pada tahun 1976 tergolong penting dalam sejarah wilayah yang kini disengketakan karena menjadi pondasi aneksasi Israel atas Palestina—dan yang berlangsung hingga hari ini. Dunia Arab kala itu terkejut dengan serangan tak terduga Israel sampai bisa menyelesaikan proses pendudukan atas wilayah Palestina yang tersisa.
Kemenangan militer Israel dari pihak Arab membuat Zionis juga mampu menduduki teritori Mesir di Jalur Gaza dan Semenanjung Sinai, teritori Suriah di Dataran Tinggi Golan, dan teritori Yordania yang meliputi Tepi Barat. Sementara itu warga Palestina yang sudah tinggal bertahun-tahun di dalamnya diusir hingga menimbulkan gelombang migrasi yang masif ke negara-negara tetangga.
Hadash mendukung penarikan Israel dari semua teritori negara lain yang dicaplok pasca Perang Enam Hari. Hadash sekaligus mendorong pendirian negara Palestina di teritori yang dianeksasi itu. Dengan demikian hak-hak pengungsi Palestina juga peru dipenuhi untuk bisa kembali ke tanah kelahirannya dengan selamat.
Agar punya efek di ranah ekonomi, pada tahun 2015 mereka menyerukan Boikot, Divestasi dan Sanksi Internasional (BDS) melawan perusahaan-perusahaan yang beroperasi di wilayah Palestina yang dianeksasi. Merujuk laporan Hareetz, Hadash kala itu juga didukung oleh United Arab List sebagai partai yang mewakili komunitas Arab di Israel dan Taal selaku partai Israel yang berkiblat pada nasionalisme Arab, sekuler, dan anti-Zionis.
Komunis di Israel punya cerita menarik mengapa memilih jalan yang tak dilampaui warga Israel kebanyakan. Baru-baru ini Hareetz menyajikan testimoni tersebut dengan mewawancarai aktivis komunis senior yang pernah menjadi saksi pergolakan politik sejak Israel merdeka. Hareetz juga bertemu dengan aktivis muda Israel yang meyakini komunisme bisa menjadi jalan untuk membebaskan Palestina sekaligus jalan menuju kesetaraan yang hakiki di berbagai ranah kehidupan.
Tamar Peleg-Sryck salah satunya. Perempuan berusia 91 tahun ini lahir pada saat Revolusi Oktober sedang menorehkan sejarahnya di Rusia. Ia selamat dari tragedi Holocaust karena dibawa dalam operasi penyelamatan ke Teheran, Iran, pada tahun 1943. Setelah tinggal beberapa lama di Kazakhtan ia pindah ke wilayah Palestina yang kemudian diduduki Israel. Kini ia tinggal di Tel Aviv, dan selama hidupnya ia aktif di organisasi berbasis komunis dan masih percaya ke depan komunisme akan tetap mendapat jalannya.
Lebih jauh lagi, Peleg-Sryck menemukan kaitan antara aktivismenya dengan perjuangan menegakkan kemanusiaan bagi rakyat Palestina. Prinsip-prinsip komunis dan gerakan hak-hak sipil, katanya, saling berkaitan. Ia mencontohkan terbentuknya Asosiasi untuk Hak Sipil di Israel tak akan terbentuk tanpa memasukkan hak-hak ekonomi para pekerja—sesuatu yang menjadi basis perjuangan golongan komunis di seluruh negara.
“Dan orang yang tumbuh dalam naungan komunisme tak mungkin jadi seorang rasis.”
Koalisi kiri radikal, Hadash, mengajak boikot perusahaan-perusahaan di daerah Palestina yang diduduki Israel (2015)
Komunis Israel minoritas di tubuh pemerintahan, tapi mereka konsisten perjuangkan hak rakyat Palestina.
tirto.id - Yerusalem terlalu sensitif untuk diklaim secara sepihak. Usai Trump mengumumkan secara resmi rencana pemindahan kedutaan besar Amerika Serikat dari Tel Aviv ke Yerusalem sekaligus pengakuan kota suci tiga agama itu sebagai ibu kota Israel, banyak petinggi negara dunia mengecamnya.
Faksi komunis Israel juga bersikap serupa, meski suara mereka barangkali kurang bergaung di panggung internasional.
Partai Komunis Israel atau yang dikenal dengan nama Maki mengutuk Trump karena pengakuan status Yerusalem berarti melancarkan serangan terhadap hak-hak rakyat Palestina serta mengacaukan proses perdamaian antara Israel-Palestina yang sudah berlangsung puluhan tahun.
“Sebuah perdamaian yang adil berdasarkan resolusi PBB yang diadopsi sebagian besar negara dan mayoritas masyarakat di seluruh dunia,” cantum Maki di laman resminya, Jumat (15/12/2017).
Trump, Maki mengingatkan, telah melanggar hukum internasional, resolusi Dewan Keamanan PBB, dan kebulatan suara komunitas-komunitas internasional bahwa Yerusalem kondisinya sedang diokupasi. Maki menyerukan komunitas internasional untuk menghadapi kebijakan Trump hingga benar-benar dicabut. Maki telah menggandeng Partai Komunis Palestina, dan berharap agar komunitas internasional juga turut memberikan tekanan yang sama.
“Pengumuman kebijakan baru Amerika terkait Yerusalem menjadikan AS terus menjadi bagian dari masalah alih-alih menjadi faktor positif untuk mencapai solusi. Tidak ada solusi untuk konflik selain mengakhiri pendudukan Israel dan memenuhi hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri dan mendirikan sebuah negara Palestina yang merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibukotanya serta menyelesaikan masalah pengungsi sesuai dengan resolusi Majelis Umum PBB nomor 194.”
Dalam buku Communism in Israel karya Fayez A. Sayegh, Maki yang orisinal terbentuk pada tahun 1948 yang menjadi pecahan dari Partai Komunis Palestina. Dua tokoh utama yang berperan dalam pendirian Maki adalah Shmuel Mikunis dan Moshe Sneh. Partai punya sikap paradoks: anti-Zionis tapi mengakui Israel. Namun sikap mereka terhadap Palestina jelas, yakni mendukung hak untuk mendirikan negara sendiri sesuai resolusi yang dikeluarkan PBB.
Sikap tersebut melahirkan pertentangan internal di tahun 1960-an. Ada faksi yang sepakat perihal eksistensi Israel, dan faksi yang lebih pro-Arab dan anti-Zionis keluar untuk membentuk Partai Rakah. Maki yang asli benar-benar kolaps pada tahun 1973, sehingga Rakah bisa memakai “Maki” sebagai nama resminya.
Nama itu terus melekat hingga kini. Maki pun menjelma menjadi faksi politik sayap kiri radikal dengan pendukung yang cukup signifikan. Kawan-kawannya adalah partai-partai kiri bercirikan sosialis dan varian kiri lain yang tak memiliki sikap setegas Maki untuk isu Palestina. Atau kata lainnya, lebih moderat.
Akibat menyadari bahwa kekuatan mereka akan punya pengaruh jelas di parlemen Israel, meski pun kecil, Maki membentuk koalisi kelompok-kelompok sayap kiri radikal bernama Hadash pada tahun 1977. Hadash adalah akronim yang dalam bahasa Indonesia berarti Front Demokrasi untuk Perdamaian dan Kesetaraan.
Dalam catatan Hareetz, Hadash mendukung kebijakan ekonomi bercirikan komunisme dan gigih memperjuangkan hak-hak pekerja. Khusus soal Palestina, akibat punya hubungan yang erat dengan politisi dunia Arab, jajaran elit Hadash tergolong sebagai yang pertama mendorong solusi dua negara yang independen, saling menghormati satu sama lain, dan menjalin hubungan yang damai dan setara.
Sejak mendeklarasikan diri sebagai negara berdaulat, Israel meluaskan teritorinya dengan berbagai cara. Salah satu yang paling efektif adalah membangun perumahan untuk warga Israel secara ilegal di sejumlah wilayah Palestina. Hal ini dipandang Hadash sebagai masalah krusial, sehingga mereka mendorong agar Israel angkat kaki dari wilayah pemukiman ilegalnya.
Perang Enam Hari pada tahun 1976 tergolong penting dalam sejarah wilayah yang kini disengketakan karena menjadi pondasi aneksasi Israel atas Palestina—dan yang berlangsung hingga hari ini. Dunia Arab kala itu terkejut dengan serangan tak terduga Israel sampai bisa menyelesaikan proses pendudukan atas wilayah Palestina yang tersisa.
Kemenangan militer Israel dari pihak Arab membuat Zionis juga mampu menduduki teritori Mesir di Jalur Gaza dan Semenanjung Sinai, teritori Suriah di Dataran Tinggi Golan, dan teritori Yordania yang meliputi Tepi Barat. Sementara itu warga Palestina yang sudah tinggal bertahun-tahun di dalamnya diusir hingga menimbulkan gelombang migrasi yang masif ke negara-negara tetangga.
Hadash mendukung penarikan Israel dari semua teritori negara lain yang dicaplok pasca Perang Enam Hari. Hadash sekaligus mendorong pendirian negara Palestina di teritori yang dianeksasi itu. Dengan demikian hak-hak pengungsi Palestina juga peru dipenuhi untuk bisa kembali ke tanah kelahirannya dengan selamat.
Agar punya efek di ranah ekonomi, pada tahun 2015 mereka menyerukan Boikot, Divestasi dan Sanksi Internasional (BDS) melawan perusahaan-perusahaan yang beroperasi di wilayah Palestina yang dianeksasi. Merujuk laporan Hareetz, Hadash kala itu juga didukung oleh United Arab List sebagai partai yang mewakili komunitas Arab di Israel dan Taal selaku partai Israel yang berkiblat pada nasionalisme Arab, sekuler, dan anti-Zionis.
Komunis di Israel punya cerita menarik mengapa memilih jalan yang tak dilampaui warga Israel kebanyakan. Baru-baru ini Hareetz menyajikan testimoni tersebut dengan mewawancarai aktivis komunis senior yang pernah menjadi saksi pergolakan politik sejak Israel merdeka. Hareetz juga bertemu dengan aktivis muda Israel yang meyakini komunisme bisa menjadi jalan untuk membebaskan Palestina sekaligus jalan menuju kesetaraan yang hakiki di berbagai ranah kehidupan.
Tamar Peleg-Sryck salah satunya. Perempuan berusia 91 tahun ini lahir pada saat Revolusi Oktober sedang menorehkan sejarahnya di Rusia. Ia selamat dari tragedi Holocaust karena dibawa dalam operasi penyelamatan ke Teheran, Iran, pada tahun 1943. Setelah tinggal beberapa lama di Kazakhtan ia pindah ke wilayah Palestina yang kemudian diduduki Israel. Kini ia tinggal di Tel Aviv, dan selama hidupnya ia aktif di organisasi berbasis komunis dan masih percaya ke depan komunisme akan tetap mendapat jalannya.
Lebih jauh lagi, Peleg-Sryck menemukan kaitan antara aktivismenya dengan perjuangan menegakkan kemanusiaan bagi rakyat Palestina. Prinsip-prinsip komunis dan gerakan hak-hak sipil, katanya, saling berkaitan. Ia mencontohkan terbentuknya Asosiasi untuk Hak Sipil di Israel tak akan terbentuk tanpa memasukkan hak-hak ekonomi para pekerja—sesuatu yang menjadi basis perjuangan golongan komunis di seluruh negara.
“Dan orang yang tumbuh dalam naungan komunisme tak mungkin jadi seorang rasis.”
Partai Komunis Israel Terus Membela Hak Rakyat Palestinashare infografik
Pendapat serupa dinyatakan oleh Fathia Sageer, usia 62 tahun, mantan pengajar dari Galilee, kota Israel dekat perbatasan Lebanon. Sageer adalah seorang feminis dari Gerakan Perempuan Demokratik sejak usia 19 tahun. Komunisme dan feminisme menurutnya berjalan beriringan, sebab teori komunisme tak mendiskriminasikan laki-laki maupun perempuan. Perjuangannya anti-penindasan, oleh sebab itu peduli dengan isu Palestina.
“Usai menamatkan sekolah menengah saya mencari studi lanjutan sekaligus pendanaannya. Saya terpikat dengan pertemuan komunis veteran. Saya senang mendengar mereka membicarakan hak-hak rakyat Palestina dan perjuangan untuk perdamaian."
"Komunisme sulit dicapai dalam situasi politik Israel, tapi saya mencoba menerapkan asas-asasnya dalam kehidupan sehari-hari, juga saya ajak untuk kelompok perempuan di mana saya bekerja dan di pendidikan anak saya,” pungkasnya. (tirto.id/Akhmad Muawal Hasan)