“Sebaiknya tidak perlu ada penolakan-penolakan seperti itu. Kalau ada kelompok Islam atau Ormas Islam kemudian mengembangkan satu wawasan tertentu seperti NU mengembangkan wawasan atau pikiran Islam Nusantara harus kita hargai,” ujar Din saat ditemui usai konferensi pers terkait acara World Peace Forum (WPF) ke-7di Kantor CDCC, Jakarta Selatan, Kamis (26/7).
Din mengatakan, Islam Nusantara merupakan pandangan ulama warga Nahdliyin. Jika tidak setuju tidak perlu melakukan penolakan karena bisa memicu adanya perpecahan antarumat Islam.
“Itulah pandangan NU. Itulah pendapat NU, tidak usahlah yang lain kemudian menolak. Kalau tidak setuju ya sudah silahkan, tapi gak usah pakek tolak menolak. Sebab kalau tolak menolak seperti ini nanti semua yang lain akan ada penolakan di sana, penolakan di sini,” jelas Mantan Ketua Umum MUI ini.
Namun, Din meyakini tidak semua ulama Sumbar yang melakukan penolakan terhadap Islam Nusantara. Karena budaya tolak menolak itu bukan lah watak wasathiyah, bukan watak jalan tengah yang sebenarnya diajarkan Islam.
“Watak wasathiyah yang diajarkan oleh Islam itu ya kalau dengan agama lain bagimu agamamu bagiku agamaku. Dan kalau sesama Muslim, ‘bagimu pendapatmu bagiku pendapatku’, tapi kita tepat bersaudara. Jadi mohon, dan saya kira itu tidak bisa diklaim itu seluruh kalangan ulama di Sumetara Barat,” kata Din.
Sebelumnya diberitakan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatra Barat tetap kukuh menolak penamaan ‘Islam Nusantara’. Ketetapan ini dituangkan melalui surat resmi tertanggal 21 Juli 2018 itu yang di dalamnya memuat pernyataan bahwa ‘Islam Nusantara’ tidak dibutuhkan di Tanah Minang.
MUI Pusat sempat merespons penolakan yang dirilis MUI Sumbar tersebut. Wakil Ketua Umum MUI Pusat, Zainut Tauhid, sempat menyatakan bahwa penolakan konsep ‘Islam Nusantara’ oleh MUI Sumbar justru menyalahi khittah dan jati diri MUI itu sendiri. Zainut mengatakan, MUI seharusnya menjadi wadah musyawarah dan silaturahim para ulama dan cendekiawan Muslim dari berbagai organisasi. ROL