Juru bicara MA Agung Suhadi mengatakan rilis 200 mubalig yang dikeluarkan Kemenag terlalu sedikit untuk memenuhi kebutuhan Muslim di Indonesia. Sehingga mubalig yang tidak terdaftar dalam rilis itu tidak serta bisa dianggap mubalig yang dilarang berdakwah.
“Kami hanya mencari ustaz yang disenangi masyarakat, yang diundang oleh masyarakat, kami coba hadirkan di Mahkamah Agung,” kata Suhadi saat dihubungi Tirto Kamis (24/5).
Suhadi mengatakan undangan untuk UAS berceramah di Masjid Al-Mahkamah diberikan sebelum Kemenag merilis 200 mubalig yang bisa dijadikan rujukan masyarakat. Ia mengatakan kewenangan mengundang tidak berada pada struktur MA melainkan pada pengurus Dewan Masjid Al-Mahkamah.
Sebelumnya, pihak dewan masjid juga pernah mengundang Adhyaksa Dault dan Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar untuk berceramah. “Untuk tahun ini yang memberikan ceramah di MA ustaz yang disenangi orang sekarang: Abdul Somad,” ujarnya.
Suhadi memastikan siapa pun mubalig yang berceramah di Masjid Al-Mahkamah mereka dilarang menyampaikan materi politik. Ia mengungkapkan dalam ceramahnya Somad hanya membahas tentang akidah dan tata cara ibadah.
“Akidah saja. Bagaimana cara sebagai muslim yang baik. Kalau salat itu bagaimana, kemudian puasa hikmahnya itu bagaimana itu saja seputar itu,” kata Suhadi.
Foto UAS berceramah di Masjid Al-Mahkamah beredar di media sosial Twitter. Salah satunya foto UAS bersama Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali yang dikirim pemilik akun @kenmiryam. “Mahkamah Agung abaikan rekomendasi 200 nama dari Kemenag & undang Ustadz Abdul Somad. Kemenag be like: “Gak kompakan kita? OK. Fayn. Cukstaw.”,” kicau @kenmiryam.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR Marwan Dasopang menilai rilis 200 mubalig yang dikeluarkan Kemenag langkah ceroboh dan berbahaya. Menurutnya rilis tersebut menimbulkan friksi baik di kalangan mubalig maupun masyarakat. Rasa curiga akan muncul terhadap mereka yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar.
“Kalau masuk daftar dicurigai disangoni pemerintah. Kalau tidak masuk daftar dianggap cenderung anti-NKRI,” katanya kepada Tirto. “Itu yang kami anggap berbahaya.”
Marwan juga menilai momentum perilisan 200 mubalig tidak tepat. Sebab rilis itu dikeluarkan tak lama setelah aksi terorisme di Surabaya yang menurut Marwan dikaitkan dengan kelompok Islam fundamentalis. Sehingga, para mubalig yang tidak masuk daftar Kemenag berpotensi diasosiasikan dengan kelompok fundamentalis. “Itu kan secara tidak langsung menyakitkan untuk mereka yang tidak masuk [daftar Kemenag],” katanya.
“Kami minta menag (Lukman Hakim Saifuddin) cabut dan meminta maaf kalau ada yang tersinggung.”
Muhammad Yamin, Direktur Jenderal Bina Masyarakat Kemenag menyebut 200 nama mubalig yang dirilis lembaganya tidak wajib diikuti masyarakat maupun lembaga pemerintah. Sehingga menurutnya, ceramah UAS di Mahkamah Agung tidak perlu dipersoalkan. “Tidak, itu tidak wajib,” ujarnya singkat saat dikonfirmasi Tirto.
Ketua Umum Ikatan Dai Indonesia (IKADI) Ahmad Satori Ismail menilai tidak tepat langkah Kemenag merilis 200 nama mubalig. Sebab menurutnya jumlah itu tidak sesuai dengan kebutuhan umat Islam di Indonesia.
“Kalau ada 200 juta Muslim, berarti kan membutuhkan puluhan ribu bahkan jutaan. Tidak mungkin di daerah-daerah Indonesia yang sangat luas itu cuma 200 itu sangat berat, kasihan,” ucapnya.
Sebaiknya, kata Satori, pemerintah hanya mengeluarkan nama-nama mubaligh yang dianggap tidak kompeten yang jumlahnya lebih sedikit. Dengan demikian, kata dia, pengawasan yang perlu dilakukan pemerintah juga akan lebih optimal. “Ya kita enggak tahulah, ya, kebijakan nya. Karena dalam Alquran itu barang yang dibolehkan, halal, itu kan enggak disebutkan. Hanya larangan-larangan saja. Karena kalau yang halal disebutkan banyak banget," ujarnya.
Meski keputusan pemerintah dapat dimaklumi, ia berharap agar pemerintah dapat lebih bijak dalam mengambil keputusan yang dampaknya akan langsung dirasakan oleh kalangan muslim. "Jadi kalau tadi itu kan cuma usul dari saya. Kalau kebijakan pemerintah mungkin dari sudut apa sampai dibikin itu, kan enggak tahu," tuturnya. [tirto]