Pasalnya, kata dia, Sohibul bukannya menggalang persatuan di musim perang (menghadapi pilkada serentak dan Pemilu 2019 mendatang), malah menciptakan perpecahan dari dalam tubuh partai.
“Pimpinan seharusnya menggalang persatuan, bukan perpecahan, melakukan persekusi dan intimidasi. Aneh sekali. Mau ke mana kita?” tanya Fahri dalam pesan singkatnya yang diterima wartawan, Minggu (25/6).
Fahri yang juga Wakil Ketua DPR RI itu juga mendengar adanya rencana pemecatan beberapa kader senior di PKS, tanpa sebab yang jelas.
Padahal, seharusnya semua diselesaikan dengan dialog, bukan perintah diam dan taat.
”Entah apa sebabnya. Tapi dugaan saya sama, ini soal perbedaan pendapat tentang situasi,” kata Fahri seraya menegaskan bahwa partai institusi politik, bukan tarekat.
Padahal, pihaknya mengira kemarin Ramadhan 1439 H akan menjadi akhir konflik dalam tubuh PKS. Tapi ternyata, semua menjadi nampak rumit, bahkan tidak nampak ada gejala islah dan rekonsiliasi.
“Aneh memang, maksud baik tak selalu dianggap baik. Niat baik tak selalu ditangkap dengan baik. Maka, mungkin ini isyarat dalam perjuangan bahwa kadang keinginan baik kita mesti dinomorduakan oleh kebenaran. Kita harus selalu bersikap benar,” paparnya.
Ia berujar, nampaknya pimpinan akan melakukan eksekusi besar-besaran kepada yang berseberangan dan berbeda pandangan. Mestinya kata dia, di musim perang, situasi ini memerlukan konsolidasi dan menggalang mobilisasi.
“Padahal ini waktunya mengerahkan pasukan dan siapapun yang mau berperang. Tapi, malah di dalam ada yang memisahkan barisan dan mereka memproduksi istilah OSIN untuk orang sini dan OSAN untuk yang mereka yang dianggap melawan pimpinan partai. Orang sana,” sebut politisi asal Nusa Tenggara Barat (NTB) itu.
Sebagai kader, Fahri mengaku sangat mencemaskan kultur baru dalam tubuh PKS sekarang, yang tiba-tiba suasananya mencekam, tegang dan seperti ada permusuhan. Karena, pimpinan mengaktifkan patroli dan mengecek loyalitas setiap orang.
“Ini bukan kultur berpartai apalagi demokrasi. Yang bermasalah pimpinannya, partai hanya penanggung beban pimpinannya,” cetusnya.
Tapi, lanjut Fahri lagi, gara-gara pimpinannya gila hormat, lama-lama suatu partai bisa rusak. Apalagi dengan berkembangnya budaya feodal dan ABS (Asal Bapak senang), bisa bubar PKS oleh pemilu.
“Inikah sebab kita dijajah terlalu lama? Inikah sebab tirani merajalela? Entahlah. Tapi bagi kader partai yang mencintai kebenaran Ilahi? Cukuplah, enough is enough. Kita Akan melahirkan pejuang bukan pecundang. Kita akan menanam benih peradaban bukan ilalang,” tegasnya.
Politisi itu, kata Fahri, kerjanya setiap hari adalah menegakkan keadilan, membela kebenaran dan berjuang membela korban kezaliman tirani yang mengangkang. Jika rasa takut lebih kuat dalam diri, sehingga kita menerima kezaliman.
“Lalu, dengan apa kita berjuang? Apa modal kita? Lama saya memikirkan, kenapa saya tidak mengalah saja dengan kezaliman, dan mengutamakan kebersamaan. Bisikan itu sering datang. Tapi, ada pertanyaan kuat, ‘kalau kita membiarkan diri kita dizalimi maka apa kita bisa membela orang lain?’ bisikan ini yang saya benarkan,” ucapnya.
Kata Fahri, dirinya tidak tega melihat kader PKS berubah menjadi para penganut taqlid buta kepada sesuatu yang fana.
“Padahal, sikap penakut berlebihan kepada pimpinan dapat merusak keyakinan kita tentang kebenaran,” ujar Fahri.