Tudingan itu diutarakannya dalam konferensi pers di Bogor, Jawa Barat, Sabtu (23/6/2018) akhir pekan lalu.
Menurut Ketua Umum Partai Demokrat itu, institusi negara yakni Polri, TNI dan BIN tidak netral dalam penyelenggaraan Pilkada Serentak 2018.
Menanggapi hal itu, Joko Widodo membantah keras dan menjamin netralitas ketiga institusi tersebut dalam pesta demokrasi lima tahunan itu.
Demikian ditegaskan mantan Gubernur DKI Jakarta itu di komplek Stadion Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, Senin (25/6/2018).
“Netralitas TNI, Polri, BIN itu bersifat mutlak dalam penyelenggaraan pemilu maupun pilkada,” tegas presiden.
Selain itu, ia juga mengaku sudah memerintahkan jajaran TNI, Polri dan BIN untuk bersikap netral pada pilkada yang berlangsung serentak di 171 daerah.
“Saya tegaskan untuk disampaikan ke jajaran yang ada di Polri TNI dan BIN,” lanjutnya.
Tak hanya itu, dirinya juga sudah mewanti-wanti Kepala BIN Budi Gunawan, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian.
Kepada ketiga pimpinan itu, Jokowi memerintahkan agar bisa menjaga netralitas anak buah masing-masing.
Orang nomor satu di Indonesia itu bahkan menyiratkan hukuman tegas bagi anak buahnya yang melanggar aturan, termasuk anggota TNI, Polri maupun BIN.
Selain itu, ia juga meminta kepada masyarakat, jika memang menemukan adanya kecurangan yang dilakukan aparat negraa, agar tak segan melaporkannya ke Bawaslu.
Karena itu, mantan Wali Kota Surakarta itu mengajak semua pihak ikut mengawasi kinerja BIN, TNI ataupun Polri.
“Jadi tidak usah ditanyakan lagi. Kita juga mengajak masyarakat untuk mengawasi. Mari kita sama-sama mengawasi,” tutupnya.
Sebelumnya, SBY mengungkapkan sejumlah dugaan ketidaknetralan yang dilakukan oknum BIN, Polri, dan TNI dalam Pilkada serentak di Indonesia.
Menurut dia, dugaan ketidaknetralan alat negara itu pernah terjadi dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu.
Saat itu, Polri beberapa kali memeriksa mantan calon wakil gubernur DKI Jakarta, yang diusung Demokrat, Sylviana Murni dan juga suaminya Gde Sardjana.
“Termasuk kurang sekian jam pemungutan suara, namanya Antasari keluarkan statmen yang merusak kredibilitas SBY,” kata dia dalam konferensi pers di Bogor, Jawa Barat, Sabtu (23/6/2018).
Bukan hanya di Jakarta, lanjut SBY, dugaan ketidaknetralan juga terjadi pada Pilgub Papua.
Di sana, calon gubernur Papua yang diusung Demokrat usung, Lukas Enembe diminta oleh petinggi Polri dan BIN melakukan sesuatu yang tidak sepatutnya.
“Seorang gubernur kebetulan ketua Partai Demokrat Papua diminta untuk menerima seorang jenderal polisi jadi wakilnya, cawagub dan memenangkan partai tertentu dan bukan partai Demokrat. Saya kira keterlaluan,” jelasnya.
SBY juga menerangkan bahwa Polri tidak netral dalam Pilgub Kalimantan Timur. Menurut SBY, calon yang diusung pihaknya hampir tak bisa maju karena diperkarakan oleh pihak kepolisian.
Masalah itu, masih menurut SBY terjadi karena adanya penolakan permintaan calon wakil gubernur dari kepolisian.
Tak hanya itu, ketidaknetralan juga terjadi dalam Pilgub Jawa Timur. Menurutnya, serikat pekerja yang ingin mendukung pasangan Khofifah Indar Parawansa-Emil Dardak, para koordinatornya dipanggil pihak kepolisian.
“Yang bersangkutan akan berkunjung ke suatu pabrik di wilayah Jawa Timur batal sesaat karena menurut info yang saya terima yang punya (pabrik) ditelepon oleh pihak kepolisian,” kata dia.
Dalam gelaran Pilgub Riau SBY juga mendapat laporan petinggi TNI diminta oleh petinggi BIN untuk memenangkan pasangan tertentu.
“Di Maluku kejadian, di Aru semua sudah mengikuti. Di Jawa Barat yang baru saja saya dengar, apa harus rumah dinas mantan wakil gubernur, harus digeledah,” jelas dia.
“Saya mohon dengan segala kerendahan hati, netral lah negara, netral lah pemerintah, netral lah BIN, Polri, dan TNI,” sambung Presiden keenam RI ini.[psid]